Pernyataan

Suasana ruang sekretariat klub literasi begitu lengang siang ini. Hanya ada aku dan Riko yang masih setia setiap hari nongkrong di sini. Tempat ini yang membuatku merasa lebih tenang, jauh dari keramaian. Iseng, terpikir untuk menanyakan Riko pendapatnya tentang perasaanku terhadap Runa.

"Ko, pernah suka sama sahabat sendiri enggak?"

"Kenapa? Lo mulai suka sama Runa?" tembak cowok berkaca mata itu dengan seringai jahil.

"Jawab pernah apa enggak-nya aja napa sih, malah nanya balik."

"Yee ... Dia sewot," gelak Riko makin jadi.

Ah, ternyata suatu kebodohan menanyakan hal ini pada Riko. Tadinya berharap bisa sedikit mengurangi rasa yang makin tidak nyaman ini. Makin hari, aku makin menginginkan hubungan yang lebih dari sekedar status sahabat dengan Runa. Apalagi semenjak beberapa minggu terakhir ini Runa tampak mulai menjauh, semakin membuatku merasa kehilangan.

Selalu ada saja alasan gadis itu untuk menghindar, padahal biasanya juga sesibuk apapun dia, masih menyempatkan diri untuk sekedar ngobrol ngalor-ngidul disela-sela pergantian jam kuliah. Bahkan sekarang ia juga mulai jarang mengabariku.

"Muram amat itu muka." Suara Riko terdengar serius kali ini.

"Kasih tau aja sih, kalau suka. Perkara diterima apa enggak urusan belakangan. Masa laki cemen." Kembali dia terkekeh.

"Gue takut hubungan baik selama ini malah jadi kaku."

"Gini aja deh ...." Riko mengambil posisi duduk berseberangan denganku, memasang wajah serius.

"Kalau pun, elo enggak menyatakan perasaan ke dia, cepat atau lambat dia akan menemukan orang lain yang bakal bikin dia nyaman, terus lo bakal di tinggal juga, sama aja kan? Setidaknya lo tau perasaan dia ke lo gimana. Biar ga kesiksa sendiri kayak gini."

Mencoba meresapi kalimat yang disampaikan Riko, menimbang-nimbang kembali apakah memang sebaiknya menyatakan terus terang pada Runa apa yang terasa selama ini. Kalau pun nanti dia menjauh, aku akan belajar untuk menjalani hidup tanpa si gadis mentari itu. Karena memang matahari tak akan selalu bersinar, ada kalanya aku harus siap menatap kegelapan sebelum esok dia terbit kembali.

Sejujurnya ada setitik rasa gamang yang mulai timbul, jika nanti Runa tak menyambut perasaanku. Aku telah terbiasa dengan kehadirannya, kehangatannya, dan keceriaannya. Aku telah dapat membayangkan bagaimana nanti suramnya hari ketika dia tak lagi di sisiku.

"Udah, jangan kelamaan mikir. Sikat aja bro!" Riko bangkit dari duduknya, menepuk penuh semangat bahuku, meninggalkanku seorang diri.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Ruangan sekretariat yang sepi cukup membantu sedikit menjernihkan pikiran. Kelebat bayangan semua peristiwa yang telah aku dan Runa lalui selama sewindu membuatku makin memantapkan hati untuk menyatakan saja perasaan ini padanya.

Kulirik jam di pergelangan tangan, lima menit lagi mata kuliah dengan dosen killer, setengah tergesa aku meninggalkan ruangan sekretariat menuju kelas, meredam perasaan tak menentu yang makin mengusik.

***

[Run, pulang sesuai jadwal kan?] tanyaku melalui pesan singkat.

Bahkan jadwal kuliahnya pun aku telah hapal. Karena duniaku seolah hanya berputar mengelilinginya.

Seperti dua minggu terakhir, Runa tak langsung membalas pesanku. Lelah menunggu balasannya, ku langkahkan kakiku menuju gedung jurusannya. Antara gedung jurusanku dan Runa dipisah oleh taman kecil yang biasa digunakan oleh mahasiswa untuk melakukan berbagai kegiatan.

Siang ini cukup banyak mahasiswa yang berkumpul di sana, ada yang berkelompok dan ada yang hanya duduk berpasangan. Mataku tertumbuk pada dua sosok pasangan yang sedang duduk tak jauh dari gedung utama, terhalang rimbun bunga geranium yang sedang bermekaran. Tampak Indah, andai gadis itu tak bersama cowok lain.

Runa, gadis itu tampak sedang serius mendengarkan lawan bicaranya, sesosok cowok berambut cepak bertubuh jangkung. Aku tak begitu mengenali wajah lawan bicaranya, karena dia berdiri memunggungiku.

Ada perasaan yang tak mampu aku gambarkan, menyesak begitu saja seolah berlomba untuk berlompatan keluar dari rongga dada. Tiba-tiba saja kaki ini melangkah begitu saja ke arah mereka. Menghiraukan rasa sungkan yang biasa bersarang di hati. Aku bukan orang yang tak mengerti tata krama, yang akan mengganggu orang lain yang sedang berbicara, namun desakan di hati membuatku tak mampu menahan langkah ini untuk tak berjalan mendekati dua orang itu.

"Hai, Run. Udah enggak ada jadwal lagi kan? Pulang yuk," ajakku tanpa menghiraukan lawan bicaranya yang berbalik menatap, tampak gusar dengan kehadiran ku.

"Bentar, Bro. Masih ada yang mau gue omongin dengan dia," sergah cowok itu dengan wajah kesal.

"Kan udah gue bilang, enggak ada lagi yang perlu dibicarakan," sahut Runa melangkah meninggalkan lawan bicaranya dan menyelipkan tangannya di lenganku.

Walaupun secara kasat mata Runa terlihat santai, namun aku yang telah mengenal gadis ini, merasakan ada yang berbeda dari caranya menggandeng tanganku. Ada kecanggungan yang terasa pada sentuhannya.

"Itu Jody bukan?" tanyaku untuk mengenyahkan sedikit rasa canggung yang membuat jeda.

"Iya," sahutnya singkat, tak seperti biasa yang langsung berceloteh riang.

Bungkam, otakku seolah kehabisan kata. Membiarkan hening menjeda sampai ke tempat parkir.

"Pulang duluan aja, Jun." Runa menghentikan langkahnya beberapa meter dari tempat ku memarkirkan mobil.

"Run, ada yang mau gue omongin. Jadi, please kali ini jangan menghindar lagi," pintaku lebih kepada memohon.

"Gue enggak menghindar, hanya memberi ruang saja ke elo, Jun. Gue enggak mau dimusuhin cewek-cewek yang naksir lo."

"Lo kenapa sih Run? Akhir-akhir ini gue ngerasa asing sama lo."

"Hanya perasaan lo aja kali, gue masih seperti biasa." Dia memaksakan senyumnya.

"Kita bicarain entar sambil jalan aja, ya. Setelah ini, gue enggak akan ganggu elo lagi." ku pasang tampang memelas, biasanya selalu berhasil.

"Ya udah deh," sahutnya.

Nah! Benar kan? Berhasil.

Runa kembali bungkam ketika berada di dalam mobil. Biasanya dia akan menyalakan radio begitu masuk, tapi tidak kali ini. Ia hanya menunduk, memainkan gawainya. Aku membiarkan ia sibuk dengan pikirannya.

Ku arahkan mobil ke arah Dago atas. Macet di perempatan Dago membuat perjalanan sedikit terhambat. Keheningan yang tercipta terasa menyesakkan. Ku nyala kan radio untuk sekedar pengusir sepi, tepat menyala pada bagian reff lagu group band Drive—Akulah Dia.

🎶

Sesungguhnya dia ada di dekatmu

Tapi kau tak pernah menyadari itu

Dia s'lalu menunggumu

Untuk nyatakan cinta

🎶🎶

"Sesungguhnya dia adalah diri ku ... Lebih dari sekedar teman dekatmu ...Berhentilah mencari ... Karna kau t'lah menemukannya." aku mengikuti liriknya dengan penuh penghayatan, sambil melirik gadis yang duduk di sampingku, tepat ketika dia juga menatapku dengan mata beningnya. Getaran yang dulu masih terasa halus setiap kali mata itu menatap ku, kali ini terasa begitu kuat seolah melompat-lompat tak berirama.

Setelah menembus kemacetan di simpang Dago, aku memberhentikan mobil di pekarangan salah satu kafe yang terkenal dengan pemandangan kota Bandung yang cukup memukau. Aku dan Runa memilih tempat yang bersisian dengan tebing dengan pemandangan kota Bandung yang terlihat begitu jelas dari tempat duduknya.

"Lagi ada perayaan apaan, Jun? Tumben bawa gue ke sini?" Akhirnya setelah dari tadi berdiam diri, Runa membuka suara.

"Ehm ... Ga ada sih. Cuma pengen ngobrol aja ...." sahutku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Tiba-tiba saja tekad yang tadi sudah bulat untuk mengungkapkan perasaan, melumer begitu saja. Ku hirup aroma pegunungan yang menyejukkan agar sedikit mendapatkan kekuatan dari alam.

"Elo kenapa sih, Jun?" Runa menatapku sekilas, lalu mengalihkan tatapannya ke gelas minuman yang baru saja datang.

Kutarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. Kalau tak sekarang, tak tau kapan lagi bisa menculik gadis ini untuk bisa diajak berbicara.

"Run ..." aku berdeham untuk sedikit melegakan tenggorokan yang terasa tercekat.

"Uhm?" kali ini dia menatapku dengan tatapan heran.

"Aku tak tau setelah ini lo masih akan tetap bersikap sama ke gue atau enggak, cuma gue mau ngasih tau ke elo biar lega aja. Karena semenjak lo mulai menghindari gue, perasaan gue makin kacau ...."

"Lo mau ngomongin apa sih Jun?" potongnya.

"Gue suka sama elo ...." akhirnya kalimat itu meloncat begitu saja dari bibirku.

Runa ternganga. Wajahnya menyiratkan ketidak percayaan atas apa yang aku sampaikan barusan. Sama sepertiku, aku pun tak mampu mempercayai apa yang telah terucap begitu saja dengan mudahnya.

"Sorry, gue enggak minta elo terima sih Run. Gue cuma mau nyampein aja biar lega," ucapku menghalau kegugupan yang tiba-tiba saja menyerang.

"Sejak kapan?" tanya nya pelan, tapi jelas.

Aku menatapnya lekat. Mencoba membaca arti dari tatapannya. Kali ini dia pun tak mengalihkan tatapannya.

"Dari awal lo ngebelain gue," jawabku jujur.

"Ah ... Ha ha ha ...." tiba-tiba saja tawanya pecah. Kedua telapak tangannya ditangkupkan menutupi wajahnya.

"Ada yang lucu dari kalimat gue?" tanyaku heran bercampur khawatir jika dia menganggap ini lelucon.

"Sorry ... Gue enggak ngetawain lo, Jun. Gue cuma ngetawain diri sendiri."

Makin tak mengerti kenapa Runa tertawa lepas seperti itu.

"Gue juga suka lo, Jun," sahutnya di sela tawa.

"Hei, jangan ngetawain gue. Gue serius," sungutku agak sedikit kesal, entah bagian mana dari pengakuanku yang dia anggap lucu.

"Gue juga serius," sahutnya dengan senyum dikulum.

"Loe tau enggak, kenapa akhir-akhir ini gue selalu ngehindar? Karena gue enggak mau kayak orang bodoh, menyukai sahabat sendiri," kekehnya.

"Loe serius?" ku coba memastikan kembali apa yang telinga ku tangkap dari bibir gadis itu.

"Iya, gue serius. Kalau lo tanya semenjak kapan, gue juga enggak ngerti. Maaf jika gue telat nyadar," sahutnya dengan mimik serius sambil menyelipkan helaian rambut yang ditarik angin, ke belakang telinganya

"Gue enggak mimpi, kan?" kembali mencoba memastikan jawabannya.

"Entah, gue juga enggak tau. Gue juga berasa mimpi," gelaknya memamerkan segaris lesung pipi yang menjejak dalam pada pipinya, sedikit salah tingkah.

Ya, terasa mimpi. Aku tak mengira akan semudah ini untuk mengungkapkan perasaan pada gadis pujaanku. Tau begitu dari kemarin tak perlu galau.

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" suara lembut Runa seolah membelai gendang telingaku.

"Ahaha... Namanya juga orang Bahagia, Run," gelakku agak sedikit gugup.

"Terus, kalau udah nyadar dari dulu suka ke gue, kenapa ga nembak dari dulu?" selidiknya masih dengan senyum simpul yang menghiasi bibirnya.

Ah, Run ... Senyum itu membuatku seolah tersihir pada pesonamu. Cahaya mentari yang belakangan sempat redup, terlihat bersinar terang kembali. Entah karena hatiku sedang bahagia, atau juga karena kebahagiaannya yang terpancar, membuat pesonanya makin menyilaukan.

"Gue takut kehilangan, lo. Takut loe enggak nyaman, terus ninggalin gue," jawabku jujur.

"Haha ... Gue juga merasakan hal yang sama. Berusaha mempertahankan hubungan sahabat, hanya karena tak ingin hubungan ini rusak karena perasaan gue." Dia kembali terkekeh.

Terasa ringan sekaligus penuh, itulah yang aku rasakan. Sapuan sejuk angin Dago Pakar serta semburat jingga di ujung langit sore, terasa bagai paduan yang sempurna untuk hati yang sedang bahagia. Sungguh, aku tak mampu menyandingkan dengan kata-kata untuk menggambarkan perasaan bahagia yang membuncah.

Terpopuler

Comments

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

🌸🌸🌸🌸

2020-10-28

0

Fita Gray

Fita Gray

ueuwuwuwuwuwu

2020-08-13

0

Rena Karisma

Rena Karisma

Arjun berubah jadi idola cewek nih!!seru kak..

2020-08-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!