Jika menyukai diam-diam adalah lebih baik daripada menghadapi kecanggungan setelah menyatakan perasaan, maka aku lebih memilih untuk memendam saja rasa ini. Mungkin bagi sebagian orang sikapku tak jantan. Namun, mulutku tak pernah mampu menyatakan perasaan jika teringat nantinya Runa akan menjauh karena merasa tidak nyaman dengan pernyataanku.
Dari awal mengenalnya, rasa itu tak pernah berubah. Masih sama, bahkan makin bertambah besar. Kalau dulu aku tak berani menyatakan, karena aku cukup tau diri dengan penampilanku yang cupu dan masih cengeng. Namun, kini keberanianku masih saja belum ada.
"Tangan Lo kenapa keringetan, Jun? Santai aja," hibur gadis itu menarik tangan ku, ketika gugup disaat pertama kali ikut latihan taekwondo.
"Gue takut keramaian, Run," sahutku makin gugup sambil menaikkan kacamata yang makin melorot.
Aku yang mengidap Agoraphobia, memang paling takut dengan keramaian. Suara-suara yang saling tumpang tindih di sekitarku membuat jantungku berdetak lebih kencang, menimbulkan rasa tertekan yang teramat sangat. Fobia ini mulai muncul setelah berkali-kali menjadi korban bully ketika di sekolah dasar. Bagiku, suara riuh mereka saat bergembira melihatku tersiksa hampir mirip dengan suara riuh keramaian.
"Yaudah, Lo pelan-pelan tenangin diri dulu, engga usah maksa." Suara lembut Runa begitu terasa menyejukkan. Tak ada nada merendahkan yang terdengar dari bibirnya.
Hari pertama ikut latihan taekwondo, aku hanya memperhatikan dari pinggir lapangan, mencoba melakukan latihan pernafasan seperti yang diajarkan oleh psikolog-ku ketika serangan panik mulai mendera. Sesekali Runa menghampiri untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Lo yakin bakal terus lanjut latihan, Jun?" tanyanya ketika di jalan pulang.
"I-iya ... Gue engga boleh nyerah," sahutku.
Kulirik wajah manis di sampingku. Senyumnya kembali terkembang.
"Tapi jangan maksain diri juga."
"Kata psikolog gue, ketakutan itu harus gue hadapin, engga boleh di hindari."
"Oo ... Terus, Lo masih suka terapi?"
"Masih, cuma sekarang jadwal nya udah engga sesering setahun yang lalu."
"Coba dulu adek gue ketauan lebih cepat kalau dia korban bully, pasti sekarang bisa kenal ama Lo, Jun." Wajah Runa yang biasa selalu cerah berubah murung, seperti awan menutupi cahaya mentari.
"Emang adek Lo sekarang dimana?"
Runa menarik nafas agak berat, melepaskannya perlahan. Selaput bening mengambang di kelopak mata jernihnya.
"Dia memilih mengakhiri hidupnya karena engga tahan jadi korban bully. Nyokap sempat stress karena menyesal, selama ini beliau tak begitu menghiraukan perubahan sikap adek gue. Gue juga sampai sekarang masih belum mampu memaafkan diri gue, kenapa dulu gue ga perhatian sama adek gue."
"Gue turut berduka, Run. Sorry kalau jadi ingetin ama kesedihan, Lo."
"Ah, engga apa-apa. Sorry malah jadi curhat," kekehnya dengan senyum yang kembali menghiasi bibir mungilnya, memamerkan sepasang lesung pipi.
Dari cerita itu aku baru sadar, kehadiranku ternyata mengingatkan Runa pada adiknya. Ia tak mau ada yang bernasib sama dengan Anton—adiknya. Hampir sama dengan mama, Runa juga sedikit protektif. Terkadang ada rasa malu, ketika Runa selalu mengkhawatirkan diriku. Bagaimana tidak, biasanya cowok yang melindungi cewek, kalau pada kasusku, malah sebaliknya.
Mungkin bagi sebagian orang menyukai diam-diam itu menyesakkan, tapi tidak bagiku. Karena selama ini Runa juga tak berniat menjalin hubungan serius dengan cowok yang mendekatinya. Jadi bagiku status bukan masalah besar, asal berada di dekatnya saja sudah cukup.
***
Aku tak mau merusak hubungan persahabatan dengan Arjun yang sudah terjalin beberapa tahun ini hanya karena masalah perasaan. Apa aku terlalu egois jika selama ini Arjun hampir setiap saat selalu bersama ku, tetapi aku masih berharap hubungan yang lebih.
Memang benar kata orang, jarang ada persahabatan berlawanan jenis yang tak akan melibatkan hati. Pada akhirnya akan tumbuh rasa yang lebih kuat dari rasa persahabatan itu sendiri dari salah satu diantara mereka. Namun, tak sedikit akhirnya hubungan persahabatan itu malah kandas karena perasaan nyaman yang selama ini mereka rasakan pada saat berstatus sahabat, hilang begitu saja karena perasaan yang menuntut dari salah satu pasangan setelah mereka menjalin hubungan yang serius. Aku tak mau itu terjadi. Lebih baik begini saja, diam-diam menikmati perasaan nyaman ketika bersamanya. Aku tak boleh serakah. Bukankah tujuan menjalin hubungan itu agar mendapatkan kenyamanan, apalagi yang ku cari.
Setelah beberapa hari menghindari Arjun, akhirnya aku memutuskan untuk kembali bareng dengan si pangeran yang fobia keramaian itu. Berasa ada yang kurang dalam hidup ku ketika beberapa hari terus menghindar darinya. Mungkin seperti es teler yang kurang di kasih susu, kurang legit.
"Run, Lo kenapa beberapa hari ini bengong aja sih." Suara Arjun membuyarkan lamunanku, menyeretku kembali ke dalam mobil SUV yang dikendarainya.
"Biasa Lo kalau PMS doyan makan, sekarang malah doyan diem," kembali ia melanjutkan kalimatnya.
"Jun, Lo ga bosen apa tiap hari bareng gue terus?" Aku menjawab pertanyaan Arjun dengan pertanyaan.
"Lo engga lagi sakit kan, Run?" ia balik bertanya dengan menempelkan punggung tangannya di keningku.
"Apaan, sih ... Gue nanya serius," sungutku menarik telapak tangannya yang kokoh dari keningku. Dulu telapak tangan itu begitu kecil ketika ku genggam, sekarang malah telapak tangan ku yang terlihat mungil dalam genggamannya.
"Yang ada gue yang nanya gitu, selama ini gue yang selalu ngikutin Lo. Apa jangan-jangan Lo yang udah bosen bareng gue terus?" selidiknya, menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan.
"Engga lah, mana mungkin gue bosen, kan gue sering di traktir," seringaiku mencoba menepiskan segala perasaan tak nyaman yang beberapa hari menghinggapi.
"Yee ... Bilang aja minta di traktir lagi," ledeknya dengan seringai jenaka, memamerkan sederet gigi rapi yang sudah tidak lagi terpasang kawat seperti lima tahun lalu.
"Ke Zoe aja yuk," ajakku.
Tempat itu adalah tempat penyewaan komik favorit kami. Walaupun di rumahnya, koleksi komik Arjun hampir sama banyak dengan tempat penyewaan komik, tetapi ada daya tarik tersendiri buat nongkrong disana.
Terlebih Arjun yang selama ini mengidap Agoraphobia, dia tak begitu suka dengan tempat keramaian, di tempat itu walaupun tidak terlalu sepi, tapi adanya buku-buku bacaan membuat Arjun bisa sedikit menghilangkan kepanikannya di tengah orang ramai.
Zoe tak begitu ramai ketika kami sampai disana. Tempat itu tak lagi seramai pada masa kami masih memakai seragam putih-biru. Mungkin karena remaja sekarang lebih memilih bermain game pada gawai mereka daripada berlama-lama menghabiskan waktu untuk membaca buku, sehingga tempat ini tak begitu diminati oleh remaja seperti pada masa kami dulu.
"Mau makan dulu ga?" tanya Arjun ketika aku baru turun dari mobil.
"Engga ah, gue mau nyari buku aja," tolakku. Sebenarnya aku masih berusaha untuk mengelak agar tak terlalu lama berdekatan dengan Arjun.
Bagaimana pun juga aku berusaha menetralkan perasaan, hati ini masih saja tak mau dibujuk untuk sedikit berdamai ketika berada dekatnya. Entah sampai kapan aku akan bertahan menyukainya diam-diam seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🌸
2020-10-28
0
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
lanjutttt..
semangat kak😊
2020-08-16
1
Rena Karisma
Yes,ini cwo yg disuka Aruna..
2020-08-13
0