Sheila menatap canggung ke arah pelayanan yang memberi hormat kepadanya di depan pintu masuk.
"Selamat datang Nyonya Sheila," ucap semua pelayan memberi salam.
"Cukup Sheila saja," balas Sheila canggung.
Bagaimana tidak canggung jika mereka memanggilnya seformal ini. Padahal dirumahnya dia hanya dipanggil 'mbak' atau 'non'. Nyonya terlalu berlebihan untuknya.
Beberapa dari mereka menatap ke arah Bima dengan wajah keberatan dengan permintaan Sheila.
"Mereka memanggilku Tuan, maka berlaku juga denganmu," jelas Bima tegas membuat Sheila merasa sedikit takut? Mungkin.
Karena Sheila tak pernah dihadapkan dengan pria seperti Bima. Satu-satunya pria yang Sheila hadapi adalah Papanya. Dan Papanya tak pernah marah kepadanya. Beliau terlalu sering memperlihatkan keramahan dan kasih sayang dari orang tua kepada anaknya.
Dengan pacar? Sheila bahkan belum pernah berpacaran. Dia juga tak memiliki teman laki-laki. Jadi Sheila tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang.
"Ta-pi.. saya belum terbiasa dengan ini."
"Kamu akan terbiasa. Dan kenapa memanggilku seformal itu? Aku tidak suka dengan kata 'saya'. Kamu istriku."
"Maafkan sa.. maksudnya a-ku. Tapi aku benar-benar merasa aneh dengan panggilan Nyonya," kata Sheila penuh dengan kata permohonan. Berharap Bima sedikit melunakan hati dengan wajah memelesnya.
Sebenarnya dia sedikit takut jika Bima marah dengan permintaannya. Pria ini terlalu mengintimidasinya. Sheila bahkan terkejut pada dirinya sendiri untuk bisa mengatakan rasa keberatannya.
"Lakukan apa yang dia mau," ucap Bima sambil berlalu dan membuat para pelayan itu mengangguk paham.
Sheila membuang nafas lega karena masalahnya tak harus berlarut lama. Ternyata tidak begitu sulit.
Sheila tahu bahwa keluarga Rahadi sangat kaya, tapi dia tidak menyangka bahwa kekayaan yang dimiliki mereka bahkan berbeda jauh dari keluarganya.
Mungkin inilah yang disebut bilioner sebenarnya. Bahkan rumah ini sendiri sudah seperti kastil di tengah kota.
Sheila bahkan ragu jika sekarang dia benar-benar ada wilayah Indonesia.
"Oh, ternyata menantu Oma sudah datang."
Sheila terperangah menatap seseorang di lantai kedua yang berjalan anggun ke arahnya.
"Dia Omaku, Diana." bisik Bima di dekat telinga Sheila, membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
Sheila melirik Bima sebentar. Terkejut saat mendengar suara rendah tiba-tiba saja di dekat telinganya.
Selama sepersekian detik Sheila terpaku dan akhirnya berusaha mengendalikan kesadarannya kembali. Bisakah Sheila meminta Bima untuk berhenti melakukan hal itu? Mungkin dia akan membahas hal itu lain kali. Sheila berusaha memfokuskan dirinya pada nenek Bima lagi.
Kini Diana sudah berada di lantai yang sama dengannya. Sheila lebih bisa melihat dengan jelas bagaimana sosok nenek Bima ini.
Walaupun keriput sudah banyak terlihat di area matanya, tapi hal itu tak menyembunyikan kecantikannya.
Sheila membayangkan bagaimana cantiknya Diana pada masa mudanya dulu. Pasti sangat mengagumkan. Apa suatu saat Sheila juga bisa seperti Diana?
"Oma ingin berbicara dengan istrimu, apa boleh?" tanya Diana pada Bima tentu dengan senyum ramah yang sepertinya sudah menjadi kebiasaannya dan bukan hanya formalitas.
"Tentu jika dia bersedia," balas Bima sambil menatap ke arah Sheila.
"Tentu saja. Dengan senang hati," balas Sheila. Lagipula dia tak memiliki alasan untuk menolak.
Mereka seperti sangat menghargai waktu satu sama lain sampai mengobrol pun harus meminta izin.
#
Di sinilah Sheila sekarang. Duduk dihalaman belakang rumah sambil minum teh menikmati suasana sore angin sepoi.
Sheila tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya. Meminum teh di halaman luas dengan background rumah megah bak istana, jelas hal ini hanya terjadi pada komik bertema kerajaan. Bisa-bisanya dia melakukan hal itu sekarang.
Masalahnya hanya satu. Sheila tak bisa menikmati suasana bak kerajaan ini. Tempat, orang dan bahkan makanan membuat Sheila merasa terintimidasi.
Tak masuk akal memang merasa terintimidasi oleh makanan, tapi itulah yang dirasakan oleh Sheila sekarang.
"Oma sangat senang akhirnya anak itu menikah juga. Apalagi dia menikahi wanita secantik dirimu," ucap Diana sambil mengusap sebelah tangan Dinda lembut dengan kedua tangannya.
Sheila tersenyum malu mendengar pujian dari wanita yang bahkan lebih cantik dan anggun darinya. Apalagi Sheila tak pernah dipuji cantik yang terasa setulus ini.
"Tapi Nyonya..."
"Cukup panggil Oma." Intrupsi Diana saat melihat Sheila akan memanggilnya secara formal.
Sheila mengangguk pelan, "iya Oma, tapi maaf jika Mas Bima harus menikah dengan saya," ucapnya merasa bersalah karena seharusnya Bima menikah dengan Keyra yang mungkin bisa sebanding bersanding dengan cucunya.
"Kenapa kamu meminta maaf? Apa yang perlu dimaafkan disini?" tanya Diana tak paham.
Tentu Diana tahu bahwa gadis malang ini harus menikah untuk menggantikan saudara perempuannya. Bagaimana bisa dia meminta maaf untuk hal yang bukan kesalahannya.
Bahkan Diana merasa sangat berterimakasih karena Sheila mau menerima cucunya itu.
"Jika Mas Bima menikah dengan Kak Keyra, pasti Oma bisa dapat cucu yang lebih cantik dan pintar."
"Oma tak akan membicarakan perihal kakakmu. Oma hanya ingin berterimakasih karena kamu bersedia menikah dengan cucu Oma. Kamu tahu betapa khawatirnya Oma melihat anak itu tak kunjung menikah. Mengingat umurnya juga tak lagi muda, tapi dia tetap bersikeras keberatan untuk menikah."
Benar juga. Sheila baru ingat bahwa dia tak tahu apapun soal Bima. Bahkan dia tak tahu berapa umurnya. Sheila hanya menebak mungkin Bima berumur 1 atau 2 tahun di atas kakak perempuannya.
"Mungkin Oma terlalu memikirkannya. Mas Bima masih cukup muda untuk usia pria menikah. Mungkin dia masih mau fokus dibisnisnya."
"Bisnis apalagi yang mau difokuskan. Dia hampir sudah punya segalanya. Tidak akan ada habisnya jika tak ingin sedikit mengurangi jam kerjanya."
Sheila mengangguk kecil. Benar juga, Bima sudah sangat sukses sekarang.
"Dan bagaimana bisa 34 tahun dibilang muda. Oma benar-benar tak pernah mengerti jalan pikiran anak jaman sekarang."
Sheila terbelalak kaget. "Apa Oma?! Mas Bima 34 tahun?!" Tanyanya kaget dengan umur Bima dan kaget juga dengan nada suaranya yang ikut meninggi. Sheila langsung menutup mulut bodohnya yang tak mampu mengontrol diri.
Diana tersenyum geli melihat tingkah polos Sheila. "Tidak apa-apa, kamu bisa bersikap santai. Ini juga rumahmu."
Sheila mengangguk canggung mendengar jawaban Diana. Dia masih tak percaya mendengar berapa umur Bima yang sebenarnya. Bima masih terlihat sangat muda dari usianya. Bahkan Sheila pikir orang-orang yang bekerja menggunakan otak akan lebih cepat terlihat tua, ternyata dia salah.
"Maaf Nyonya sudah jam makan malam. Tuan Bima sudah menunggu di meja makan."
"Ah benar. Katakan padanya kita akan segera kesana."
#
Sheila duduk di tepian kamar tidur milik Bima dengan perasaan bercampur aduk. Merasa gusar dengan apa yang akan terjadi padanya.
Sheila menggeleng kencang. Masa bodoh dengan apa yang akan terjadi. Dia akan berusaha menghadapi seburuk apapun nantinya.
Sheila memilih mengalihkan perhatiannya pada seisi kamar. Menatap sekeliling dan selalu dibuat takjub oleh rumah ini.
Padahal Gia selalu merasa kamar Sheila merupakan kamar terluas yang pernah dia lihat dan Sheila pun setuju dengan itu. Dia merasa kamarnya sudah sangat besar, tapi apa-apaan dengan kamar ini. Kamar ini jauh lebih besar berkali-kali lipat dari miliknya.
"Sudah mau tidur?"
Sheila terperanjat kaget. Dia benar-benar tidak akan mudah terbiasa dengan suara rendah Bima. Belum lagi dengan mata kharismatik yang tak berani Sheila tatap lagi.
"Kurasa begitu, aku sudah mulai mengantuk," bohong Sheila sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Bima mengangguk mengerti kemudian ikut masuk ke dalam selimut bersama Sheila. Membuat Sheila terperanjat kaget dengan apa yang Bima lakukan.
"Apa? Kenapa? Apa ada yang salah?" Tanya Bima khawatir melihat Sheila yang seperti kaget ketakutan saat berada di sebelahnya.
Sheila meratapi kebodohannya sendiri saat baru sadar bahwa keduanya sudah resmi menikah. Bahkan sangat resmi. Jadi tak ada salahnya mereka tidur satu tempat tidur.
"Tidak, tidak ada yang salah," jawabnya sambil kembali berbaring dan menyelimuti dirinya.
Bima hanya menatap Sheila yang tertidur sambil memunggunginya. Tanpa sepatah kata dia juga ikut berbaring di sebelah Sheila.
Tak berselang lama Sheila mendengar dengkuran halus dari Bima yang membuatnya bernafas lega. Setidaknya tidak ada yang terjadi malam ini. Meskipun begitu Sheila masih merasa aneh dengan keadaan ini.
Sheila masih belum percaya bahwa dia telah menikah dan harus berbagi tempat tidur dengan orang lain seperti sekarang.
Sheila melihat sofa yang sepertinya terlihat lebih nyaman untuk ditiduri daripada kasur empuk ini.
Dia pun melangkah ke sana dan memilih tidur di sofa. Menyelimuti kakinya dengan bantal sofa karena Sheila tak berani merebut selimut di tempat tidur.
#
Sheila terbangun saat cahaya silau matahari dari celah tirai mengganggu tidur lelapnya. Dengan perlahan dia menarik selimut sampai ke wajahnya agar cahaya itu tak lagi mengganggu.
Setelah beberapa detik Sheila langsung bangun dari tidurnya saat mengingat bahwa tidak seharusnya dia berada di atas tempat tidur.
Menahan sedikit rasa takut, Sheila mengintip bagaimana kondisinya di bawah selimut. Dia bernafas lega saat mendapati dirinya masih dengan pakaian lengkap tanpa kurang satu apapun.
Sheila menatap sofa tempat dia tidur kemarin dan mendapati selimut yang sudah terlipat rapi di atasnya.
Jadi kemarin Bima menukar tempat tidur mereka. Sheila membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Bagaimana bisa dia tidak terbangun sama sekali saat Bima memindahkannya.
"Dasar cewek bodoh. Bisa-bisanya..." Sesal Dinda lirih.
Sheila mengintip jam di meja nakas. Dia terkejut saat mendapati jam menunjukkan pukul 08.00.
Sheila langsung menendang selimut dan bergegas turun untuk menyapa orang rumah. Bagaimana bisa dia seceroboh ini dihari pertama di rumah mertua.
#
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Octa Febian Nii
ya ampun sela koyol yah diri mu😁😁
2022-12-08
2