"Assalamualaikum" salamku saat memasuki rumah.
Suara khas Sarah menyambutku, gadis kecil itu sedang belajar dengan neneknya. Setelah menyapanya sebentar, langkah menuju ke pintu kamar. Segera membersihkan diri dan melepas penatku dengan air hangat.
Setelah mandi, segera menjalankan ibadah, baru keluar menemani Sarah belajar. Gadis kecil ku itu baru saja masuk sekolah dasar. Untuk ukuran kelas satu sekarang, pelajarannya sudah setara denganku saat kelas tiga sepertinya. Celoteh lucunya saat bercerita tentang aktivitasnya hari ini menjadikan mood bagiku.
"Sarah bobo aja, kan tugasnya dah selesai" ucapku, saat melihat gadis kecilku itu menguap beberapa kali. Setelah membereskan bukunya, Sarah menuju kamar dengan menggandengku.
"Mimpi indah sayang" ucapku sambil menutupi tubuh mungil itu dengan selimut motif kartun kesayangannya, ku usap lembut kepala gadis kecil itu.
Kutatap wajah mungil yang kini terlelap itu. Ku gigit bibirku, hatiku tiba-tiba terasa perih, sangat perih. Dadaku begitu sesak terasa, apalagi saat mengingat pertanyaan yang sering dia lontarkan akhir-akhir ini. Saat dia mulai mengerti silsilah keluarga, dia selalu bertanya, kenapa dia tak memiliki seorang ayah.
"Ayah Sarah sudah di syurga" jawabku, tak peduli dia masih hidup atau sudah mati, karna bagiku sosok itu sudah mati. Tapi, kenapa kami harus di pertemukan kembali dalam situasi seperti ini. Aku menutup rapat masa laluku, bahkan dari Siska sekalipun. Sepengetahuan Siska, ayah Sarah meninggal saat aku mengandung Sarah. Itu yang aku ceritakan padanya saat kami mulai dekat sewaktu kuliah dulu.
Bagaimana perasaan anakku dan juga orang tuaku saat tau Mas Hendi lah yang akan menjadi suami Siska sahabatku. Ini tak mudah bagiku, sangat tak mudah. Luka yang telah lama aku pendam, kini kembali bersama rasa perihnya hatiku. Menjadi single parent tidaklah mudah, apalagi saat Sarah mulai bertanya tentang sosok ayahnya.
"Bagaimana dia?"
"Seperti apa rupanya?"
"Apakah ayahnya sayang padanya?"
Hingga dia menemukan foto pernikahan yang kusimpan dalam gudang, beberapa bulan lalu. Wajah pria itu melekat pada wajah putriku, matanya, hidungnya, mirip seperti Mas Hendi. Apa yang akan dia rasakan saat tahu, pria dalam foto yang sekarang terpasang di atas mejanya itu ternyata masih hidup, dan akan menikah dengan tante kesayangannya.
Apa yang akan kujelaskan padanya, tak mungkin aku katakan ayahnya tak tau tentangnya, ayahnya tak mengharap kehadirannya, ayahnya tak pernah mencintai namanya. Bagaimana caraku menjelaskan pada gadis mungilku ini. Dadaku semakin terasa sesak, akan lebih baik aku tak bertemu kembali dengan pria itu sampai akhir hidupku.
"Siska, apa yang harus ku katakan padanya?"
Jujur padanya itu tak mudah, aku juga tak ingin Mas Hendi tahu tentang Sarah, dia anakku satu-satunya. Tapi, saat Sarah melihat Mas Hendi, dia pasti mengenali ayahnya itu. Siska juga sedang jatuh hati dengan Mas Hendi, itu akan sangat tidak baik bagi hubungan kami.
Tapi kalau tidak kuceritakan yang sebenarnya, rasanya seperti menggenggam sebuah bom waktu, yang bisa meledak kapan saja, dan melukai banyak orang di sekitarku. Apa pun langkah yang aku ambil, tak ada satupun efek yang baik untukku.
Pandanganku melekat ke arah foto di atas nakas. Pria itu bahkan tanpa senyum saat itu, dan aku seperti gadis polos yang naif, yang berharap seperti kata pepatah jawa, 'tresno jalaran soko kulino'. Berharap Mas Hendi bisa menerima dan mencintaiku seiring waktu, walau pada kenyataannya dia membuangku.
Aku mati rasa sejak saat itu, sejak dia memulangkan kembali diriku pada kedua orang tuaku. Menalak tanpa mempertimbangkan sedikitpun perasaanku. Tak pernah peduli betapa hancurnya hati ini, betapa terinjak harga diri dan martabat keluargaku. Dia pergi tanpa merasa bersalah sedikitpun. Bahkan, sampai kemarin dia tak terlihat seperti orang yang telah meninggalkan luka.
***
"Desta pemuda yang baik, dari keluarga baik-baik juga. Dan yang pasti, mereka mau menerima segala kekuranganmu" ucap ibuku.
Tiga bulan terakhir ini, kembali sebuah perjodohan dihadapkan padaku. Masih keluarga jauh dari ibuku, beberapa kali bertemu, tak ada yang kurang secara fisiknya, cukup tampan, walau tak setampan Mas Hendi. Mapan dalam finansial dan pekerjaan. Sosok yang dewasa, terlihat sabar dan penyayang.
Hanya saja, sedikitpun tak ada getaran dalam dada ini saat bersamanya. Kami menganggap hanya sebatas sahabat saja. Sudah berusaha mencoba, tetapi tetap sama.
"Mei, masih trauma bu" jawabku.
"Mau sampai kapan? Jangan menyiksa diri sendiri. Ingat, kami tak bisa selamanya denganmu, kamu harus memiliki pendamping yang bisa menjagamu dan juga Sarah." Terlihat pengharapan di wajah cantik yang mulai mengeriput itu.
"Iya bu, Mei akan mencoba untuk belajar membuka hati" jawabku, tak ingin membuatnya mencemaskanku.
Ragu dalam hatiku, aku ingin bercerita tentang Mas Hendi, tapi pasti akan menjadi beban pikiran mereka. Sepertinya harus segera mencari jalan keluar, sebelum Mas Hendi mengacaukan hidupku kembali.
***
Kehadiran Mas Hendi membuat fokusku dalam bekerja berantakan. Jujur atau diam, sama-sama tak menguntungkan bagiku, berpengaruh buruk pada hubunganku dengan Siska. Sahabatku itu sedang di mabuk cinta, tak mudah bicara pada wanita yang sedang jatuh cinta.
"Mei, aku makan siang di luar ya! Mas Hendi ngajak keluar, mau ikut nggak? Soalnya dia juga nawarin, kalau kamu mau ikut." Ucap Siska, menarik kursi dan duduk di depan mejaku.
"Hmm, suruh jadi obat nyamuk hehee" jawabku tertawa kecil.
"Nggak lah, aku di kantin sebelah aja"
"Mas Hendi nanya-nanya tentang kamu, katanya kamu mirip tetangganya dulu. Kamu pernah tinggal di Jogja kan Mei? Mungkin beneran tetangga kamu dulu" cerita Siska.
Hatiku mulai tak nyaman, Mas Hendi mulai mengorek informasi tentangku ternyata.
"Kamu cerita juga, kalau aku janda beranak satu?" Tanyaku sedikit ragu.
Siska menggelengkan kepalanya. "Belum sampai situ sih, aku cerita tentang kamu"
Aku menarik nafas lega
"Nggak usah cerita ya!"
"Emangnya kenapa?"
"Siapa tau ada temennya Mas Hendi yang masih lajang, bisa double date kita" jawabku asal, Siska tertawa.
"Ya udah, aku pergi dulu ya! Bye Mei" pamit Siska beranjak dan berlalu. Wajah ceria nampak begitu jelas sebagai penggambaran hatinya yang sedang berbunga-bunga.
Aku tak suka kondisi seperti ini, sungguh sangat menyesakkan. Kenapa harus dia, yang Siska pilih. Kenapa dia juga berada di kota ini. Aku berharap di kota ini akan menemukan ketenangan dan memulai kehidupan baruku, mengubur cerita kelam masa lalu.
***
Kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan yang sedari tadi hanya ku bolak balik berkasnya tanpa mampu mengerjakannya. Banyak laporan yang harus ku kerjakan, ku acak rambutku sedikit kasar, mencoba melepas bayang Mas Hendi dengan berbagai masalah yang dibawanya.
Hanya istirahat untuk sholat saja hari ini.
Beberapa laporan sudah diminta kantor pusat, aku maksimalkan menyelesaikan hari ini.
"Kamu nggak pulang?"
"Lembur aku, pusat minta selesai maksimal lusa, ini banyak banget soalnya" jawabku saat Siska menghampiri mejaku.
"Ya udah, aku duluan, jangan malem-malem, jaga kesehatan juga" pesan Siska, kemudian mencium pipi kanan kiriku.
"Iyah say, bentar lagi kok" jawabku mengulas senyum.
Siska beranjak meninggalkanku. Kembali fokus ke laporan yang memang sudah ditunggu kantor pusat. Tak terasa jam sembilan sudah terlewat. Setelah ku kirim, aku membereskan berkasku di atas meja. Merenggangkan sejenak badanku sebelum beranjak pulang.
Masih ada beberapa karyawan lain juga yang nampak asyik dengan pekerjaannya. Mereka membalas sapaku dengan lambaian tangan dan ucapan hati-hati di jalan. Di lobby bawah juga mulai sepi, hanya nampak beberapa karyawan bagian lapangan dan tiga security yang bertugas. Seperti biasa, sapa manis selalu ku berikan.
"Darr" di mobilku disertai suara "pip-pip" saat tombol bergambar gembok terbuka kutekan di kunci mobil.
"Mei"
Tangan ini baru akan membuka handling pintu mobil saat terdengar seseorang memanggil namaku.
"Mas ngapain disini?" Tanyaku sedikit terkejut melihatnya.
"Mas mau bicara hal penting" jawabnya.
Aku melihat sekitarku, merasa tak nyaman saja. Pasti sudah ada beberapa karyawan lain yang sudah mengenal Mas Hendi sebagai kekasih Siska.
"Hal penting apa?"
"Tentang rencana pernikahanku dengan Siska" jawabnya.
Aku bergeming, menunggunya melanjutkan kata-katanya.
"Apa kamu tak apa-apa?"
"Memangnya kenapa? Itu tak ada hubungannya lagi dengan Mei, bujan?"
"Mas minta maaf, mas dulu merasa bersalah padamu. Mas tak mempedulikan perasaanmu waktu itu. Mas terlalu egois, maafkan mas."
"Untuk apa? Sudahlah mas, lupakan semua. Mei sudah maafin semua kesalahan mas Hendi, mas juga bisa lihat, Mei baik-baik saja kan! Tak perlu memikirkan Mei, kalau mas mencintai Siska, serius dan benar-benar ingin menjaganya, nggak masalah kok. Mei ikut bahagia" ucapku padanya.
"Apa Mei tak mencintai mas lagi?"
Aku menggelengkan cepat kepalaku.
"Nggak, rasa itu sudah mati, setelah mas menalakku dan mengembalikanku kepada orang tuaku" jawabku, tiba-tiba sesak itu kembali mendera dadaku.
"Apa kamu percaya? Kalau mas katakan, sekarang mas menyesal"
Aku tersenyum sinis. Apa coba maksud pria ini mengatakan semua itu sekarang. Hanya membuatku semakin sakit kepala saja.
"Percaya atau tidak, tak ada gunanya juga. Mei capek, Mei pulang dulu, permisi." Ucapku sambil membuka pintu mobilku.
Kulajukan mobilku, bergerak menjauh meninggalkan Mas Hendi yang masih berdiri di tempat yang sama.
Kesal kuacak rambutku sendiri. Ada apa dengannya, mengapa ingin terkait lagi denganku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Tulip
berharap mei jg ktm jodohnya lebih tampan dr hen dan lebih kaya
2022-11-09
1