BAB 5

Mas Aldi terlihat kaget mendengar kalimat yang baru kulontarkan dari mulutku.

"Maksud kamu?"

"Kami dulu dijodohkan, kami menikah tanpa cinta, dan pernikahan kami hanya seumur jagung. Kami memilih berpisah karena tak ada kecocokan" jelasku kemudian pada Mas Aldi.

Pria itu masih bergeming menatapiku, sejenak melihat ke arah Mas Hendi yang masih duduk di tempat yang sama.

"Siska tau nggak?"

Aku menggelengkan kepala. Mas Aldi menganggukkan kepalanya pelan.

"Wah, aku sampai bingung mau berkata apa" ucap Mas Aldi. Pria berkumis tipis itu sesekali memegangi tengkuknya.

"Tapi Siska harus tau" ucapku kemudian. Mas Aldi mengangguk setuju.

"Siska sedang jatuh cinta, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas, ini bukan hal yang baik untuknya, dan pasti akan menyakitinya" ucap Mas Aldi kemudian.

"Tapi akan lebih sakit, kalau dia tau dari orang lain kan mas?"

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Mas Aldi, sejenak memindai wajahku.

"Walaupun kamu bilang tak saling cinta, tetap terasa tidak nyaman bukan?" Lanjutnya lagi.

"Aku baik-baik saja mas" jawabku. Mas Aldi tersenyum masam.

"Biasanya, apa yang bibir ucapkan, berbeda dengan hati. Iya kan?"

Aku mengangguk pelan. Mas Aldi benar, aku tak baik- baik saja.

"Iya, mas benar" jawabku lirih.

"Ini bukan hal yang baik, aku takut mempengaruhi hubunganku dengan Siska.

"Sekarang, apa rencana kamu?"

"Aku besok malam akan menceritakan semua ke Siska."

"Iya, lebih cepat, lebih baik. Semoga saja hal ini tak mengganggu hubungan kalian. Akan kucoba membantu memberi peringatan juga padanya nanti." Ucap Mas Aldi.

"Makasih mas"

"Tak perlu berterima kasih, terima saja tawaranku kalau sedang senggang. Sebuah makan malam, bahkan aku masih mengharapnya. Meski aku tau, kamu tak mau denganku.

Mas Aldi mengusap wajahnya. Memang, beberapa kali dia mengajakku keluar. Tapi aku benar-benar sibuk sehingga belum meresponnya.

"Maaf, beneran sibuk. Aku juga udah kangeng ayam penyet Bu Siti. Mungkin lusa kita bisa keluar" ucapku.

"Wajah itu berpaling ke arahku. Kami dulu sangat akrab, aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri. Walau pada kenyataannya, aku mulai sadar, dia memiliki rasa padaku.

"Berarti kita bawa pasukan?" Tanyanya kemudian, aku tertawa mendengar istilah pasukan.

"Iyalah Mas" jawabku.

"Baiklah, apa sekalian aja lamaran?" Goda Mas Aldi seperti biasa.

"Ishh, apaan sih" ucapku manyun.

"Mas dah malam, aku pulang dulu" pamitku.

"Ya udah hati-hati, semoga saja, semuanya akan baik-baik saja"

Aku mengangguk, kulihat ke arah lain. Mas Hendi sudah tak ada di sana. Aku beranjak dan berjalan keluar kafe, ada rasa lega tapi tetap saja masih ada rasa tegang dalam hatiku. Bagaimana besok respon Siska akan kebenaran ini.

Mobil kulajukan pelan, ibuku memintaku mampir ke toko buah. Sebuah toko buah yang tak jauh dari rumah menjadi pilihan. Setelah memarkir mobil, aku bergegas turun. Kembali membuka pesan dari ibuk di ponselku. Alpukat, anggur, dan beberapa buah lainnya.

Aku melangkah menuju troly yang berjajar disisi kanan pintu masuk. Menariknya satu, dan mulai memasukkan pesanan yang ibuku minta. Sedikit terkesiap saat seseorang menjajarkan langkahnya denganku.

"Mas, ngapain disini ngikutin aku?" Tanyaku.

"Iya" jawabnya.

Dia tak banyak berubah, tetap egois dan keras kepala. Aku menghela nafasku, mencoba mengatur rasa yang bergejolak dalam dada ini.

"Mas maunya apa sih?" Tanyaku kesal.

"Kamu" jawabnya, kali ini dia menatapku.

"Aku nggak mau" jawabku membuang pandangan ke sisi lain.

"Beri mas kesempatan satu kali lagi, mas akan menebus semua kesalahan yang pernah mas lakukan padamu" ucap Mas Hendi, beruntung sekitar tak terlalu banyak pengunjung.

Aku tak menghiraukannya, kusudahi belanjaku walau belum semua terbeli, dan menuju kasir.

Mas Hendi masih mengikutiku, lembaran uang berwarna merah, dia keluarkan sebelum kasir selesai menghitung.

"Dua ratus lima puluh ribu rupiah" ucap mbak kasir yang terlihat bingung saat aku menyodorkan debit card dan Mas Hendi menyodorkan tiga lembar uang berwarna merah.

"Maaf, mesin edc kami sedang rusak, saya terima uang cash nya saja ya" ucap mbak kasir, mengambil uang dari tangan Mas Hendi. Aku sedang tidak membawa uang tunai, tak mungkin aku cancel belanjaanku, nggak enak sama mbaknya.

"Terimakasih, selamat datang kembali" ucap mbak kasir ramah.

"Mas Hendi membawa kantong plastik berwarna putih yang berisi beberapa kilo buah itu. Aku beranjak keluar tanpa kata, berjalan menuju mobilku.

"Buahmu" ucapnya saat aku membuka pintu mobilku.

"Mas bawa aja" jawabku.

Dia tak mendengarku, memasukkan belanjaanku di jok belakang tanpa kata. Aku pun tak menghiraukannya, langsung masuk ke mobilku.

Kutarik nafasku dalam, saat mobilku mulai melaju keluar area parkiran tempat tersebut. Kepalaku mendadak sakit sekali, apa pria itu sudah benar-benar gila. Masalahku sepertinya bertambah dengan kegilaan Mas Hendi.

***

"Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeteng, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain" ucap Pak Farhan, memberikan beberapa bandel buku pedoman.

"Baik Pak" jawabku.

"Tiketnya sudah dipesankan?"

"Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi" jawabku.

"Kamu kirim ke nomor WA saya saja" perintahnya.

"Baik Pak, ada lagi?" Tanyaku kemudian.

"Temani saya makan siang nanti, ada Pak Burhan dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang" ucapnya.

"Siska dan Sinta juga pak?"

"Kamu aja" jawabnya kemudian, aku kembali mengangguk.

Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan menggantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua ini. Mungkin karena masih muda, ambisi dan semangatnya masih besar.

Setelah memastikan tak ada hal lainnya, aku pamit dan beranjak keluar. Menuruni pelan anak tangga, sekalian aku menyapa anggota timku yang tengah bekerja. Tim operation memang lebih loyal dan bertanggung jawab anak-anaknya, sedikit berbeda dengan tim Siska.

Materi training yang tadi diberikan, kuletakkan di atas meja, kemudian menarik kursi dan menghempaskan pantatku pelan. Kunyalakan monitor didepanku, dan mengambil ponsel di laciku. Tanganku mengusap layar benda pipih di genggamanku. Membuka sebuah aplikasi pesan, ini pertama kali aku berbagi pesan dengan Pak Farhan.

Profilnya hanya sebuah kalimat mutiara. Aku mengirimkan tiket elektronik yang dia minta barusan. Setelah menunggu beberapa saat, baru ada balasan singkat "ok". Kuletakkan benda pipih itu dan kembali pada pekerjaanku.

Dering suara telepon mengagetkanku yang tengah larut dalam pekerjaanku. Telepon dari Pak Farhan yang memintaku bersiap dan segera turun. Kulirik jam di ponselku, baru jam sebelas seperempat. Gegasku rapikan meja dan juga diriku, menambahkan sedikit riasan wajah walau belum pudar. Memasukkan ponsel kedalam tas kemudian beranjak keluar ruangan.

"Sudah ditunggu Pak Farhan di mobilnya" ucap bayu salah satu security saat melihatku keluar dari lobby.

Aku mengangguk pelan dan kembali mengayunkan langkahku ke sebuah mobil pajero sport yang terparkir di sisi kiri gudang. Terlihat Pak Farhan sudah berada dalam mobilnya. Kubuka pintu mobil belakang, kemudian menaikinya.

"Apa saya seperti sopir taxi online?" Tanyanya, saat aku mulai duduk.

"Duduk di depan!" Lanjutnya, aku segera kembali turun dan pindah kedepan.

Mobil melaju palan, keluar dari area kantor. Kami sama-sama diam untuk beberapa saat, entah kenapa aku jadi tegang berada di samping sosok dingin ini. Kuedarkan pandanganku keluar jendela, menatapi barisan bangunan di sisi kiri jalan.

Mobil mulai memasuki area sebuah hotel, sampai mobil berhentipun tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Aku mengekori langkahnya, menuju ke lift selepas memasuki lobby hotel. Lift membawa kami ke tempat paling tinggi di bangunan ini.

Seorang pelayan menyambut kami, dan mengantarkan kami ke meja private room yang sudah di pesan. Masih tampak sepi, sepertinya baru kami berdua yang datang. Aku berdiri menghadap ke jendela, menebar pandanganku keluar gedung.

"Sudah berapa lama bergabung di perusahaan ini?" Tanya pak Farhan yang berdiri disampingku.

"Hampir empat tahun, pak" jawabku sedikit menoleh ke arahnya.

"Asli orang sini?"

"Bukan, saya pendatang" jawabku lagi.

Walau terkesan basa basi, obrolan kami berlanjut dan mulai sedikit mencair sampai Pak Burhan dan yang lainnya datang. Mereka menginap di hotel ini ternyata.

"Mei, apa kabar?" Pak Burhan tersenyum, aku menyambut tangannya yang terulur.

"Baik Pak" jawabku dengan senyum tersungging di bibir.

Aku sedikit mundur saat pria itu akan memelukku. Pria itu memang seperti itu, Pak Farhan yang disampingku sepertinya mengerti kondisiku. Dia langsung sedikit menggeserku, aku lanjutkan bersalaman dengan para manager lainnya.

"Mei, kamu terlihat semakin cantik" ucap Pak Burhan, selepas acara makan siang kami selesai.

Kami memang duduk bersisihan, sebenarnya sedikit risih, karena sedari mulai datang, dia terus memperhatikanku. Biasanya aku tak sendiri, jadi dia tak terlalu fokus padaku. Semua sudah tau keganjenan pria itu.

Aku hanya sedikit tersenyum menanggapinya, pandanganku beralih ke Pak Farhan yang sedari tadi juga memperhatikanku.

"Pak ayo sudah, balik ke kantor" ucapku dalam hati.

Mataku terus menatapnya, semoga dia mengerti. Wajah itu sedikit diturunkan seperti mengangguk, aku membalasnya.

"Pak, kami harus kembali ke kantor, maklum akhir bulan" pamit Pak Farhan kemudian.

Aku segera berdiri, dan ikut berpamitan.

"Maaf" ucap Pak Farhan saat kami berada di dalam lift.

"Maaf untuk apa?"

"Kamu nggak nyaman ya?"

"Iya, Salim biasanya mengajak Siska dan Sinta juga. Pak Fendy juga selalu ikut" jawabku.

"Bapak seperti orang baru aja, tak mengenal siapa Pak Burhan" lanjutku.

"Aku memang orang baru, wajar aku tak tau" jawabnya sudah tak memakai kata saya lagi sepagai panggilan.

Pembicaraan kami berhenti saat lift sudah sampai lobby hotel, kami keluar dan kembali berjalan bersisihan dalam diam.

Seperti saat berangkat, tak ada sepatah kata pun yang keluar sampai kami kembali ke kantor.

"Maaf" ucap Pak Farhan sebelum aku keluar dari mobilnya, aku hanya mengangguk pelan.

****

Siska menyepamku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku, dia malah tertawa ngikik.

"Rezeki kamu say, hahah.." ucap Siska, aku memanyunkan bibirku.

"Ehh.....ngerasa nggak, kalau Pak Bos agak beda sama kamu?"

"Beda apanya? Yang ada, pekerjaanku nambah banyak"

"Siapa tau aja, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu" ucap Siska lagi.

"Wah, Mas Aldi ada saingan sekarang!"

"Apaan sih..." Siska kembali terrawa.

"Ya udah sana! Aku lagi banyak kerjaan" ucapku Siska, dari tadi dia terus menggodaku.

"Aku tunggu di bawah, nanti sepulang kantor" lanjutku.

"Siap sayang" ucap Siska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku.

Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang di balik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok nanti. Takut senyum dan tawa ceria itu memudar, aku takut kehilangan sosoknya dari hariku.

Ya allah, apalagi Mas Hendi sekarang sudah berani menunjukkan perasaannya padaku. Bagaimana kalau Siska juga tau hal itu, kepalaku sakit sekali, semua berputar di otakku. Jelas, ini akan buruk untuk hubunganku dengan Siska.

Kenapa dia harus kembali, dan mengapa kami di pertemukan lagi. Kenapa dia harus menyesali semuanya, dan ingin kembali padaku. Akan lebih baik, jika dia seperti dulu, tak mencintaiku. Pasti lebih mudah menjelaskannya pada Siska.

Siska, aku dapat melihat cinta yang begitu besar dari sorot mata indah itu. Dia tak pernah terlihat seperti ini sebelumnya, kenapa harus dengan Mas Hendi? Apa yang tuhan rencanakan untukku dibalik semua ini.

Aku masih terdiam saat ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Aldi masuk.

"Apa Sarah anak Hendi?"

********

Bersambung.........

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!