Mataku sulit sekali terpejam, pikiranku kacau. Aku bangun beranjak ke meja kerjaku menyalakan laptop, mengalihkan ke pekerjaan mungkin bisa membantu. Tapi, ternyata kepalaku semakin pusing. Bayangan pria itu kembali hadir mengusik pikiranku. Mengingatkan aku kembali pada luka lamaku.
Kenapa harus Siska, kenapa harus sahabatku. Tapi dia berhak tau tentang masa lalu antara aku dan Mas Hendi, masalah dia tetap melanjutkan hubungan atau tidak, itu urusan nanti. Mas Hendi sendiri juga sepertinya menutupi semuanya.
Bagaimana rasanya melihat pria yang pernah dicintai, kemudian datang dengan status calon suami orang terdekat kita, rasanya....sungguh luar biasa sakitnya. Susah payah aku mengeringkan lukaku, mengubur masa lalu dan segala kenangan tentangnya. Dan juga kenyataan bahwa hanya dia, pria yang pernah kucintai sampai detik ini.
Aku memang trauma mencinta, tapi aku tak bisa membohongi rasa dan diriku sendiri, bahwa masih ada cinta di hati ini. Sebesar apapun luka yang pernah dia tinggalkan di hatiku, tetap tak bisa kulupakan rasa cinta di hatiku untuknya. Sekeras apapun usahaku menepikan rasa itu ataupun mematikannya, tetap saja masih ada, bahwa dia cinta pertamaku, cinta butaku.
Masih memiliki rasa, bukan berarti aku masih menginginkannya. Sungguh aku tak ingin lagi bersamanya, memulai kembali kisah atau berurusan lagi dengannya dalam segala hal. Lebih baik seperti itu adanya, saat aku telah menganggapnya mati, dan hanya menyimpan cinta ini dalam hati.
Bohonglah kalau aku mengatakan aku tak kembali sakit hati, atau tak peduli lagi. Siapa yang akan kubohongi dengan rasaku, mungkin dia, Siska atau bahkan keluargaku. Tapi tidak dengan hatiku sendiri. Aku kembali terluka saat Siska bergelayut manja padanya. Aku sakit, saat melihat binar indah di mata sahabatku, saat bercerita tentang mantan suamiku.
Cemburu? Bukan cemburu, hanya sakit yang tak bisa ku ungkapkan kenapa dan mengapa. Aku tak menginginkan hadirnya kembali untuk saat ini. Akan lebih baik bila selamanya dia menghilang dari hidupku.
Ku buka laciku, mengambil beberapa foto yang baru kuambil dari gudang setelah bertahun-tahun kusimpan. Aku kembali tersenyum masam, memoriku mengajak sejenak berkelana kembali ke masa itu. Masa yang seharusnya indah yang ternyata kelam, begitu naifnya aku saat itu. Tak memakai pesta mewah hanya resepsi sederhana, kebaya berwarna putih, dan Mas Hendi memakai jas berwarna hitam.
Wajah itu tak berubah sampai sekarang, bahkan harus kuakui dia semakin terlihat tampan dengan tubuh yang berisi. Sesuatu mengusik ingatanku, dimana Nia? Bukankah Mas Hendi meninggalkanku karena ingin bersama Nia kekasihnya dulu.
Pria itu menyembunyikan banyak hal dari Siska, kasihan gadis itu. Tak rela rasanya melihat sahabatku terluka. Ada banyak hal yang perlu aku tau tentang Mas Hendi, setelah pergi dariku. Paling tidak, akan banyak informasi yang bisa aku sampaikan pada Siska. Kumasukkan foto itu dalam buku agendaku, entah kapan Siska harus tau kebenarannya.
Sejenak kembali berputar otakku, lalu bagaimana kalau Mas Hendi tau tentang Sarah, aku tak ingin dia tau tentang anakku. Sikapnya tadi juga aneh, apa yang dia sesali, dan untuk apa menyesal. Perhatiannya padaku malah akan membuat kesalahpahaman antara aku dan Siska.
Otakku sudah tak bisa diajak untuk berfikir jernih, semua jalan serasa buntu. Dalam arti tak ada satupun pilihan yang akan berakibat baik untuk sekarang. Tapi setidaknya, ini tidak menjadi bola salju, bila dibiarkan menggelinding terus menerus akan semakin besar, dampaknya juga pasti lebih besar.
***
"Begadang lagi?" Tanya ibuku selepas aku mandi dan mbantunya di dapur membuat sarapan.
"Kamu habis nangis?" Lanjut ibu lagi, memindai wajahku detail.
"Capekan aja bu, kurang tidur, kerjaan dari kantor numpuk" alasanku ke ibuku.
Terlihat ibuku tak puas dengan jawabanku.
"Mama Desta dari kemarin telepon ibuk. Desta tanya, kapan kamu senggang, mau diajak jalan katanya" ucap ibuku.
"Kok nggak bilang ke Mei sendiri, pake minta tante Lisa segala"
"Dia telfon, jarang kamu angkat, pesan juga gak pernah kamu balas. Desta serius sama kamu Mei, ibuk berharap kamu mau kasih dia kesempatan. Sekali-kali terima ajakannya untuk keluar"
"Iya, kenapa aku jahat sekali pada pria itu, jadi merasa bersalah"
"Kalau udah nggak banyak kerjaan, nanti Mei kasih tau Desta sendiri buk" jawabku.
Aku bergeming, melihat ibuku. Ragu ingin kuceritakan tentang Mas Hendi. Tapi bibir ini serasa kelu, ini bukan kabar yang baik. Ibuku sedang tidak terlalu sehat, aku tak ingin menambah beban pikirannya. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.
"Kamu kenapa?" Tanya ibuku terlihat heran.
"Emm, nggak buk, bukan apa-apa. Mei ganti baju dulu" jawabku.
Bergegas aku kekamar agar tak ditanyai hal lainnya lagi.
Selesai bersiap, aku kembali ke ruang makan. Sarah sudah duduk manis dengan segelas susu dan roti coklat kesukaannya. Senyumnya selalu menjadi semangat setiap pagiku.
"Are you ready?" Tanyaku pada gadis kecil itu, aku memang selalu mengantarnya ke sekolah.
Pulang sekolah nenek dan kakeknya yang menjemputnya.
"Syaap Mommy" jawabnya dengan riang.
Kotak bekal sudah ibuk siapkan untuk cucu kesayangannya itu. Sebuah kecupan manis dari sang nenek mengiringi langkah kecil Sarah masuk ke dalam mobil.
Selepas mencium punggung tangan ibuku dan juga pipi kanan kirinya, aku bergegas mengikuti Sarah yang sudah menungguku. Kulajukan pelan inova hitamku, keluar dari halaman rumah. Kembali kutanyakan pada putriku, apa ada yang ketinggalan, gadis kecilku menggeleng.
"Mah, Sarah mimpi ketemu papa, papa ngajak Sarah main, seneng deh mah" cerita Sarah tiba-tiba.
"Sarah kangen papa, kalu sudah di syurga papa nggak bisa pulang ya mah?" Ucapnya lagi.
Ada yang menyentak rasa sakitku, ngilu rasanya di dalam dada. Aku tak tau gambaran sosok ayah seperti apa yang ada dalam benak anakku. Bagaimana nanti kalau dia tau papanya masih hidup dan tak tau atas keberadaannya.
Aku mengusap lembut kepala gadis kecilku, sesak sekali rasanya hatiku. Bisa kulihat di matanya betapa dia ingin seperti teman-temannya. Ada senyum kecil yang sulit ku artikan dia melihat temannya di antar ayahnya. Rasanya ada sembilu yang mengiris hati ini. Perih sekali..
Dan kini, ayahnya benar-benar kembali. Tanpa tau ada gadis kecil yang begitu merindukan sosoknya. Gadis kecil yang selalu berharap bisa bertemu ayahnya, berharap pelukan hangat walau hanya dalam mimpi. Kutahan tangisku sampai Sarah lenyap dari pandanganku, berbaur dengan murid lainnya.
Sarahku tak kekurangan kasih sayang, tapi dia tetaplah gadis kecil biasa. Ingin seperti teman-temannya, yang memiliki orang tua lengkap. Betapa hancurnya nanti hati putriku, saat tau ayahnya masih ada dan akan memiliki keluarga lain.
Mataku masih terlalu sembab, saat sampai di kantor, sedikit kuperbaiki riasanku, tak lucu rasanya terlihat oleh orang lain dalam kondisi seperti ini. Harus profesional walau tak mudah bagiku. Tapi harus bisa memisahkan antara masalah hati dengan pekerjaan. Perusahaan membayarku bukan untuk bergalau ria. Cukup kusadari tanggung jawabku.
Waktu menunjukkan jam delapan kurang seperempat. Karyawan yang lain sudah cukup banyak terlihat. Seperti biasa, saling menyapa dan mengucapkan salam. Sebuah senyum tersungging di setiap bibir.
Siska belum ada di ruangannya, aku langsung menuju ruanganku. Di meja sudah banyak berkas menungguku, seakan mengatakan santap aku. Menjelang akhir bulan memang semakin banyak laporan yang harus kukerjakan.
Baru saja kuletakkan tasku diatas meja, terdengar dering telepon di mejaku.
"Selamat pagi, dengan Mei Amelia disini, ada yang bisa saya bantu?" Ucapku, sebagai greeting wajib kantor ini.
"Mei, keruangan saya sebentar" ucap seseorang di ujung telepon, dia Pak Farhan, atasanku.
"Baik Pak" jawabku.
Ruangan Pak Farhan ada di lantai atas, aku harus menaiki tangga untuk sampai di sana. Kuketuk pelan pintu yang sudah setengah terbuka itu. Terdengar suara memintaku masuk.
"Pagi Pak" sapaku. Pria itu melihatku dan menyuruhku duduk dengan isyarat tangannya.
"Tanggal lima ada gathering di Bali selama seminggu, kamu temani saya" ucap Pak Farhan.
"Minggu depan ya pak?"
"Iya, sudah saya email undangannya, kamu buat sekalian SPD nya, sekalian urus tiket pesawat pulang perginya juga. Untuk hotel sudah di siapkan oleh kantor pusat" jelas Pak Farhan kemudian. Aku menganggukkan kepalaku.
"Baik Pak, apa ada lagi mungkin?"
"Laporan kamu yang diminta pusat sudah selesai?"
"Hari ini pak, sebagian besar sudah saya email. Sudah saya cc kan ke Pak Farhan juga.
Pria itu menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, itu saja" ucapannya kemudian.
Aku bergegas keluar setelah permisi padanya. Ini menjadi Gathering pertamaku dengan bos baru itu, dia memang belum lama pindah ke kantor ini. Baru tiga bulan lalu. Sosok yang dingin di mata karyawan disini.
Aku memerlukan datanya untuk pemesanan tiket. Kucari tau saja di HRD, tapi ada salahnya aku meminta ke orangnya langsung. Kuputar badanku dan kembali ke ruangannya.
"Maaf Pak, saya butuh identitas bapak untuk pemesanan tiketnya" pintaku padanya.
"Nanti saya email" jawabnya singkat.
"Baik Pak" ucapku. Kemudian kembali permisi, segera kembali dan kunyalakan komputer untuk mengecek email masuk. Kutemukan email darinya di antara puluhan email yang belum kubuka. Farhan Ardian Pratama, empat tahun di atasku. Tanggal sepuluh, sebentar lagi dia berulang tahun. Status belum kawin, kupikir sudah berkeluarga. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, antusias sekali diriku.
"Mei, darimana aja, aku barusan kesini kamu nggak ada" ucap Siska mendekatiku.
"Dari ruangan Pak Farhan" jawabku.
"Dia manggil kam?" Tanya Siska, aku mengangguk.
"Nggak lewat Pak Fendy?"
"Nggak, emang kenapa?"
"Nggak apa-apa, eh titipan dari bunda, bakmi sama martabak"
Siska menyodorkan bungkusan yang sedari tadi dipegangnya. Aku tersenyum, bakmi buatan bunda memang tiada duanya.
"Bunda nanya, kapan kamu siap jadi mantunya, Mas Aldi keburu jadi bujang lapuk nungguin kamu" ucap Siska dengan tawa kecil.
"Sogokan kah ini?" Tanyaku sambil mengangkat bungkusan itu. Siska tertawa.
"Ya udah, aku balik dulu, bye say."
Aldi, Siska memang sering menjodohkanku dengan kakak lelakinya itu. Bukan pekerja kantoran, dia punya usaha toko spare part dan bengkel mobil. Meneruskan usaha keluarganya. Siska hanya dua bersaudara, pikiranku kembali ke Mas Hendi, bagaimana mengawali membuka kisahnya pada Siska.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments