Bab 5

Setelah pesta berakhir, malam itu Nafan dipaksa Pratiwi untuk tidur di kamar Erlita. Karena hafal betul tabiat neneknya, Erlita yakin akan sia-sia saja menolak dan protes kepada neneknya. Ujung-ujungnya hidupnya akan jauh lebih sulit dan berat.

Meskipun gugup, Nafan berusaha keras untuk tetap santai ketika memasuki kamar Erlita yang sangat besar, mewah dan nyaman melebihi kamar hotel bintang lima. Ada ruang tamu kecil, kamar mandi, ruang ganti pakaian dengan lemari sebesar empat kali lipat dari miliknya, rak kaca penuh sepatu dan tas serta lemari es empat pintu di dalam kamar Erlita.

Nafan sedikit lega karena memiliki banyak spot untuk tidur dan menghindari Erlita.

“Kenapa senyum-senyum? Mikirin apa lo?”

Nafan cukup kaget, ia tidak menyangka kalau Erlita terus saja memperhatikannya. Ia enggan menjawab pertanyaan Erlita. Ia yakin Erlita tidak akan percaya kalau ia berkata jujur dan akan sangat memalukan kalau Erlita tahu ia kagum dengan isi kamar Erlita.

“Dasar cowok mesum!” Erlita mendekatkan wajahnya ke wajah Nafan, “Awas kalo lo berani macem-macem!”

Nafan sama sekali tak menggubris Erlita. Dengan santai ia membuka tas ranselnya, mengeluarkan handuk lalu masuk ke kamar mandi seolah tak ada siapapun di sekitarnya.

Erlita benar-benar kesal dengan sikap acuh Nafan. Bisa-bisanya ia diabaikan seakan tidak ada orang lain di sekitarnya.

“Harus diberi pelajaran!” batin Erlita.

Erlita segera melepas baju pengantinnya dan menggantinya dengan lingerie super tipis. Ia lalu berpura-pura sedang mencari sesuatu di lemarinya yang terletak di depan pintu kamar mandi berharap Nafan melihatnya dan tergoda lalu tersiksa semalaman karena bahkan tidak berani menyentuhnya sedikitpun.

Saat nafan membuka pintu kamar mandi, Erlita merasa deg-degan. Penasaran bagaimana reaksi Nafan. Tapi setelah beberapa menit menunggu, ia tidak mendengar reaksi apapun. Saat berbalik ia justru melihat Nafan yang setengah telanjang dada berpaling meninggalkannya.

Merasa kesal karena lagi-lagi diabaikan Nafan, Erlita mendekati Nafan dan menarik bahunya agar menghadap ke arahnya. Betapa kagetnya Erlita melihat Nafan yang memiliki dada bidang dan perut roti sobek yang sempurnya. Kulit sawo matang yang dialiri air sisa keramas membuat Nafan terlihat semakin menggoda. Melihat Erlita tertegun, Nafan justru menarik handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya lalu melemparnya ke tubuh Erlita.

Melihat tindakan Nafan, Erlita kaget dan reflek menutup matanya. Tapi ia juga penasaran dengan apa yang tersembunyi di balik handuk Nafan. Ia mengintip dari sela jari, Nafan mengenakan celana kolor dan wajahnya sudah diturunkan tepat di hadapan Erlita.

“Apa yang ingin kau lihat, Nona?” tanya Nafan sembari membenahi handuknya agar menutupi tubuh Erlita yang nyaris bugil di balik lingerie super tipisnya. Nafan lalu berlalu dan mengambil handuk lain di dalam ranselnya. Ia mengeringkan rambutnya, mengenakan kaos oblong, lalu tidur begitu saja di sofa.

“What the fu*k!” kenapa malah dia yang gelisah dan tidak bisa tidur. Ini tidak bisa dibiarkan. Erlita segera berhambur ke kamar mandi lalu merendam tubuh dan otaknya yang kegerahan di dalam bath up.

***

Malam itu Erlita tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia baru busa terlelap saat subuh dan pagi itu ia terlambat bangun. Ia melihat jam sudah menunjukkan pukul sembilan, artinya ritual sarapan bersama sudah berlalu. Tapi bagaimana mungkin neneknya tidak membangunkannya atau malah memukulinya karena belum bangun saat sarapan bersama.

Ia penasaran kenapa neneknya membiarkannya melewatkan sarapan bersama hari itu. Ia keluar dari kamar dan mencari keberadaan Nafan dan neneknya. Ia sudah berkeliling mencari di seisi rumah tapi tak ketumu juga. Ia akhirnya keluar untuk mencari di halaman dan benar saja ia melihat Nafan sedang menemani neneknya ngobrol santai sambil berkebun.

Neneknya terlihat sangat senang, jarang sekali ia melihat pemandangan seperti itu. Biasanya neneknya akan memasang wajah dingin bak monster siap menerkam mangsa saat ia terlambat bangun. Tapi hari itu berbeda.

Erlita sangat penasaran dengan apa yang mereka bicarakan tapi ia gengsi untuk mendekat atau ketahuan menguping. Akhirnya ia memutuskan untuk mengamati saja dari jauh.

“Eyang tahu, kamu pasti kesulitan menghadapi Lita. Tidak perlu terburu-buru. Nikmati saja waktu yang kalian miliki. Eyang yakin suatu saat cinta akan tumbuh subur dengan sendirinya.”

Nafan tersenyum mendengar nasihat Pratiwi, “Sepertinya Eyang sangat berpengalaman soal memupuk cinta.”

“Tidak juga. Eyang justru gagal mempertahankan cinta Eyang dan malah memilih untuk menikahi sesama bangsawan karena terlalu takut menjalani takdir dan hidup menderita. Tapi nyatanya hidup dalam kemewahanpun kita bisa menderita melebihi menderitanya hidup dalam kemiskinan.”

Nafan merasa tidak enak menanyakan perihal pribadi seperti itu, “Maaf Yang, seharusnya saya tidak menanyakah masalah seperti itu.”

“Tidak. Eyang justru merasa lega akhirnya bisa berkata jujur dan apa adanya tentang apa yang Eyang rasakan selama ini. Eyang sangat menyayangi Lita. Eyang tidak ingin ia merasakan penderitaan yang pernah Eyang alami. Karena itu, Eyang sangat berharap kamu mau menjaga dan melindungi Lita kapan dan dimanapun.”

***

Erlita bergegas masuk ke dalam rumah ketika Nafan dan neneknya mau kembali ke rumah. Ia lalu mandi, berdandan lalu bersiap untuk pergi jalan-jalan bersama teman-temannya.

“Ta, mau kemana? Bukannya kamu baru aja nikah? Kenapa ngga ambil cuti aja sih?”

“Yang, Lita ini mahasiswa teladan, masa ia harus bolos kuliah cuma gara-gara acara kecil gitu doang?!”

“Oia, kamu dapat cuti menikah sampai kapan, Fan?”

“Bulan depan, Yang.”

“Baguslah kalau begitu. Selama cuti kamu jadi punya lebih banyak waktu untuk bersama Lita. Oh ya, kenapa kamu ngga mengundang teman-teman kerjamu untuk datang ke pernikahanmu?”

“Saya kan baru pindah kesini jadi belum punya banyak teman. Lagi pula itu bukan hal yang penting dan mungkin tidak akan ada yang peduli apakah saya sudah menikah atau belum. Jadi saya rasa tidak perlu memberitahukannya kepada semua orang.”

Ada banyak hal yang mengganggu Erlita dari ucapan Nafan barusan. Pertama fakta bahwa Nafan tidak pandai bergaul, terbukti dengan pernyataan bahwa ia tidak memiliki banyak teman. Kedua, pernikahan mereka bukan hal yang penting bagi Nafan. Ketiga, tidak ada yang peduli Nafan sudah menikah atau belum. Cukup masuk akal tapi mengabaikan keberadaan Erlita tentu tidak bisa diterima begitu saja. Tapi sudahlah itu juga tak terlalu berpengaruh bagi Erlita, jadi abaikan saja.

Terakhir, Nafan tidak berniat memberi tahu siapapun bahwa ia sudah menikah. Ada dua kemungkinan. Pertama, ia malu mengakui bahwa ia harus menjadi inverior dari seorang gadis populer seperti Erlita, atau kedua, ia memiliki wanita idaman lain yang jelas akan marah jika tahu Nafan sudah menikah.

Permainan pasti akan semakin seru dan menyenangkan bagi Erlita. Ia memutuskan untuk mengubah rutenya. Ia tidak ingin pergi jalan-jalan dengan temannya tapi ia justru ingin mengajak Nafan ke kampusnya dan sedikit bersenang-senang disana.

“Kalau begitu, bisakah kau mengantarku ke kampus?” Erlita memotong obrolan Nafan dan neneknya yang kemana-mana.

Nafan pamit kepada neneknya, lalu keluar mengikuti Erlita ke parkiran di lantai basement rumah Erlita. Ia menyerahkan kunci supercar barunya kepada Nafan. Melihat Nafan datang ke rumahnya mengendarai motor bebek keluaran lawas, ia yakin Nafan akan kesulitan mengendarai mobil barunya yang serba canggih. Erlita tersenyum senang menantikan permainannya dimulai.

“It’s show time!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!