“Menikah atau keluar dari silsilah keluarga Susbihardayan dan diasingkan ke luar negeri?"
Memaksakan diri untuk memilih salah satunya sama dengan hukuman seumur hidup baginya. Karena ia bukan siapa-siapa tanpa embel-embel Susbihardayan di belakang namanya dan menikah dengan orang yang tak dicintainya juga akan membawa penderitaan seumur hidup baginya.
Jika terpaksa harus memilih maka Erlita lebih baik menikah dengan makhluk asing daripada jatuh miskin dan terasing di negeri orang. Jika ia menikah sekarang, ia masih memiliki kesempatan untuk bercerai ketika neneknya sudah meninggal. Jadi tidak akan ada lagi penyiksaan baginya. Tapi jika ia memilih keluar dari silsilah keluarga Susbihardayan, maka ia akan menjadi gembel seumur hidup karena ia tahu betul tidak mudah mendapatkan semua kemewahan yang dimilikinya saat ini.
“Baiklah, Yang. Lita turuti kemauan Eyang. Lita bakal nikah sama pria pilihan Eyang.”
“Bagus! Kalau begitu bersiaplah karena sebentar lagi calon suamimu akan datang.”
***
Nafan sama sekali tidak mengerti kenapa ia tiba-tiba saja dipindahkan ke Departemen Kehutanan setelah mengabdi tanpa cela di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup di daerah selama bertahun-tahun. Sebagai seorang pegawai negeri biasa ia bahkan tak punya kuasa untuk menolak dimutasi atau dipromosikan. Ia hanya harus menjalankan surat keputusan yang diberikan kepadanya.
Bekerja di kantor pusat memang lebih santai dan nyaman baginya. Karena selain fasilitasnya lengkap dan memadai, ia juga tidak harus turun langsung ke hutan untuk mengadakan pengawasan dan penjagaan. Tapi entah kenapa Nafan justru merasa seperti makan gaji buta karena tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukannya di kantor pusat. Dan ia juga tidak terbiasa dengan gaya hidup dan kebiasaan teman-teman sekantornya yang mayoritas menyukai kemewahan dan pamer di sosial media.
Nafan kembali menatap ponselnya yang mengingatkan kembali agendanya sore itu, bertemu dengan Pratiwi, orang yang mencarinya jauh-jauh ke Banyuwangi beberapa minggu sebelum ia akhirnya menerima surat keputusan pemindahtugasan ke kantor pusat. Nafan benar-benar penasaran dengan motif wanita yang bersusah payah mencari tahu keberadaannya dan memaksanya mampir ke rumahnya sore itu.
Nafan sudah berada di depan pagar tepat dua menit sebelum janji temu mereka. Untuk pertama kalinya Nafan melihat langsung sebuah hunian yang sangat besar dan mewah seperti rumah Pratiwi. Menurut perkiraan kasar Nafan, rumah itu mungkin enam puluh atau tujuh puluh kali lebih luas daripada rumah dinasnya di Banyuwangi.
Seorang petugas keamanan membukakan pintu untuk Nafan dan mengantarnya ke ruang tamu di rumah induk. Sebagai wanita bangsawan yang senantiasa tepat waktu, Pratiwi sudah siap menunggu Nafan di ruang tamu. Setelah mempersilakan Nafan duduk dan minum minuman yang disuguhkan, Pratiwi mulai menceritakan tentang niatnya untuk menjodohkan Erlita, cucunya dengan Nafan.
Nafan tiba-tiba saja tersedak, “Apa? Menikah?”
Pratiwi tersenyum ramah. Senyum anggun khas wanita bangsawan. Ia lalu menyerahkan sebuah foto kepada Nafan. Foto seorang wanita yang sangat melekat dalam ingatan Nafan. Wanita yang pernah menyelamatkan nyawanya enam belas tahun yang lalu. Tapi ia sama sekali tidak mengerti apa hubungan Pratiwi dengan wanita dalam foto itu.
“Itu adalah Naina, menantuku, ibunya Lita.”
Nafan tercekat, ia merasa dadanya sesak dan kesulitan bernafas. Sekarang ia tahu kenapa Pratiwi berusaha mencarinya selama ini. Untuk meminta pertanggungjawabannya atas kematian menantu Pratiwi yang telah menyelamatkan hidupnya.
Nafan berusaha menenangkan diri dan tetap berfikir logis. Ia memang berhutang budi kepada Naina, tapi tentang kecelakaan hari itu adalah murni kecelakaan. Sama sekali bukan salahnya. Nafan berniat membela diri, tapi ia kemudian sadar bahwa selama ini ada juga seorang gadis yang tumbuh seorang diri, sebatang kara karena kematian ibunya hari itu.
Nafan menunduk lemah. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Lalu apakah dengan menikahi putri dari wanita yang telah menyelamatkan nyawanya dapat mengurangi beban hutang budi dan rasa bersalah yang selama ini membelenggu dan menyiksanya?
“Nafan, bagaimana? Apa kau setuju?”
Nafan menatap wajah tenang wanita tua di hadapannya itu, kemudian kembali menunduk tak kuasa melawan kekuatan tak terbantahkan dari seorang wanita bangsawan itu.
Nafan akhirnya menyerah, “Kapan?”
“Minggu depan.”
***
Erlita benar-benar marah. Ia tidak habis pikir bisa-bisanya neneknya begitu tega menjodohkannya dengan pria biasa, yang tidak percaya diri, tidak gagah dan tidak berkharisma. Jauh dari kriteria pria yang selama ini diidamkannya.
Meskipun Nafan memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, tapi ia sama sekali tidak terlihat menarik. Raut wajahnya muram, sikap tubuhnya sangat tertutup dan dingin, jelas menggambarkan bahwa ia tidak memiliki kepercayaan diri. Terlebih lagi ia hanya seorang pegawai negeri sipil biasa yang bertugas di dinas kehutanan daerah di Banyuwangi.
Erlita tidak bisa membayangkan bahwa neneknya berniat menjadikannya gadis hutan dengan menikahi seorang Polisi Kehutanan Pertama seperti Nafan. Bagaimana Nafan bisa menghidupinya, membelikan pakaian dan make up yang serba mahal untuknya? Untuk memberi makan Erlita dengan kenyang tiga kali sehari saja mungkin gajinya kurang.
Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus segera berbicara dengan neneknya. Ia bergegas menemui sang nenek yang sedang membaca buku di kamarnya.
“Eyang. Apa Eyang ngga salah orang?” kenapa harus Nafan? Ia bahkan ngga ada apa-apanya dibanding Sammy, Alex, Robin dan Dean. Kenapa Eyang ngga memilih salah satu dari mantan pacar Lita aja supaya jadi lebih mudah?”
Pratiwi tidak beranjak dari bukunya. Ia seakan tidak menggubris protes dari Erlita.
“Eyang! Ini sebuah pernikahan. Bukan main-main dan bukan perkara sepele. Emang eyang rela kalau Lita sampai hidup menderita dalam kemiskinan kalau nikah sama Nafan? Dia itu cuma polisi hutan, Eyang. Hidupnya lebih banyak di hutan dan gajinya bahkan ngga akan cukup untuk memberi Lita makan kenyang tiga kali sehari.”
“Kalau begitu, kenapa tidak kamu bantu dia agar menjadi layak dan mampu untuk menghidupimu?”
“Apa? Bantu? Bantu gimana maksud Eyang? Lita harus ikutan kerja banting tulang untuk makan dan beli make up gitu? No way! Lita ngga mau!”
“Kalau begitu,” Pratiwi menatap Erlita dari balik kacamatanya yang melorot, “Apakah akan lebih baik bagimu jika keluar dari silsilah keluarga lalu mengasingkan diri ke luar negeri?”
“Eyang! Eyang kenapa sih main ancam-ancam? Ini soal masa depan Lita loh. Cucu Eyang sendiri. Masa Eyang setega ini sih?”
Pratiwi menutup bukunya, lalu menyerahkan kunci villa dan supercar baru yang menjadi hadiah ulang tahunnya dan meninggalkan Erlita sendiri. Erlita tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi neneknya. Tapi saat itu, iya sangat senang karena memiliki villa sendiri dan bonus mobil mewah yang sudah sangat lama diimpikannya.
Untuk sesaat Erlita mencoba untuk tetap tenang, menuju ke garasi lalu berkendara dengan mobil barunya. Ia harus menikmati kebebasannya yang hanya tersisa beberapa hari lagi. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya. Ia memacu mobilnya menuju sebuah alamat, rumah Dean.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments