Malam itu, Erlita sengaja mengajak Dean berkeliling dengan mobil barunya. Setelah membahas ciuman mereka yang sangat memalukan saat pesta kemarin, keduanya sepakat bahwa itu hanyalah sebuah kesalahan kecil yang biasa dilakukan orang yang sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Menyinggung soal kejadian di pesta malam itu, Erlita segera meminggirkan mobilnya lalu menjelaskan kejadian yang dialaminya akibat mabuk.
“Apa?! Menikah?!”
Erlita mengangguk. “Minggu depan.”
“Lo gila ya?! Ini kita lagi ngomongin soal nikah loh. Bukan masalah sepele. Bagaimana mungkin kamu bisa mendadak menikah dengan orang yang baru satu kali kamu temui sore ini?”
Erlita mengangkat kedua bahunya, “Itu adalah pria pilihan Eyang.”
“Lalu kenapa ngga Eyang aja yang nikah sama dia?”
Erlita tidak suka Dean berbicara seperti itu tentang neneknya, tapi ia akhirnya tertawa juga membayangkan neneknya yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun tiba-tiba menikah dengan pria berusia hampir lima puluh tahun lebih muda darinya.
“Entahlah, gue juga ngga tahu. Tapi yang pasti minggu depan gue bakalan nikah.”
“Terus gue gimana, Ta? Gue ngga rela lo nikah sama orang lain.”
“Kalau gitu gampang. Sekarang juga lo ke rumah terus lamar gue ke Eyang. Siapa tahu Eyang berubah pikiran dan ngijinin gue nikah sama elo.”
“Ta. Udah deh becandanya. Gue serius. Gue ngga mungkin nikahin lo minggu depan. Lo tahu sendiri kan kalau kuliah gue aja belum kelar. Lo mau gue kasi makan apa, Ta?”
“Keluarga gue kan kaya. Bokap lo juga pengusaha. Jadi kita ngga perlu khawatir.”
“Ngga. Gue ngga bisa Ta. Orang tua gue juga ngga bakal setuju kalau harus ngorbanin kuliah gue.”
“Ngga dikorbanin. Kita bisa sama-sama tetep lanjut kuliah setelah nikah. Gimana?”
“Ngga. Gue ngga bisa.” Dean turun dari mobil Erlita lalu pergi menyebrang jalan.
Lalu lintas sangat ramai malam itu. Tidak memungkinkan bagi Erlita untuk menyusul Dean. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke mobilnya lalu pulang ke rumahnya.
***
Keesokan paginya, banyak orang berlalu lalang di rumahnya mempersiapkan pesta pernikahan untuk Erlita. Ia tidak menyangka bahwa neneknya benar-benar serius. Erlita sempat berfikir untuk melarikan diri tapi sang nenek keburu memergokinya dan malah melarangnya kemanapun karena ia harus dipingit sebagai syarat bagi perempuan yang akan segera menikah.
Jihan menghampiri Erlita di kamarnya. Ia sedikit menyesal karena tindakannya justru menyebabkan sepupunya itu terpaksa buru-buru menikah dengan pria asing pilihan neneknya.
“Maafin gue ya Ta?”
“Gue dah maafin lo kok, kak. Tapi yang lebih penting sekarang, lo harus bantuin gue. Cari cara gimana supaya gue bisa kabur dari sini.”
“Lo gila ya? Yang ada gue juga bakal dipaksa nikah kalau ketahuan nolongin lo kabur.”
“Ayolah kak.. lo satu-satunya harapan gue.” Erlita memasang mode memelas.
Jihan cepat-cepat menggeleng sebelum terbius oleh aksi melas Erlita, “Enggak. Gue ngga mau ambil resiko.”
“Tadi katanya lo nyesel. Masa iya ngga mau bantuin gue kabur dari masalah yang lo buat?”
“Denger, hukuman ini adalah urusan lo sama Eyang. Lo yang setuju untuk menikah.”
“Ya gimana gue ngga setuju kak?! Lo mau gue dicoret dari kartu keluarga terus dibuang ke luar negeri?”
“Apa?”
***
Rupanya berita soal hukuman Pratiwi kepada Erlita sampai juga ke telinga Bram. Ia yang sudah sejak lama ingin mengirim Erlita jauh dari Pratiwi, ibunya, merasa mendapat kesempatan. Ia segera mencari Jihan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya setelah menceritakan penderitaan Erlita.
“Jihan, kamu harus bantu papa.”
“Bantu apa sih, Pa?” jihan sudah masuk ke dalam mobil dan siap berangkat ke tempat pemotretan.
“Turun dulu lah! Papa mau ngomong serius sama kamu.”
“Tapi Jihan sudah terlambat, Pa.”
“Sepuluh menit.” Melihat Jihan tak bergerak dari belakang kemudi, Bram segera mengoreksi, “Lima menit.”
“Oke. Sekarang to the point aja. Papa mau apa?”
“Gini, Papa mau minta tolong kamu untuk deketin calon suami Lita.”
“Maksud Papa?”
“Pernah ngga kamu mikir kalau Eyang bakalan lebih sayang dan peduli sama kamu kalau Lita ngga ada?”
Jihan masih tidak mengerti maksud ucapan papanya.
“Papa ingin kamu menggoda calon suami Lita supaya ketahuan selingkuh sama kamu. Kalau Eyang tahu, maka pernikahan mereka akan dibatalkan. Sebagai gantinya Erlita akan dicoret dari kartu keluarga dan dibuang ke luar negeri. Bukankah itu sangat bagus untukmu?”
“Bagus untuk Papa?”
“Jihan! Coba pikirkan lagi baik-baik. Papa ngelakuin ini semua demi kamu dan Johan.”
Jihan bergegas bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan ayahnya.
***
Sepanjang perjalanan, Jihan terus teringat dengan perkataan ayahnya. Meskipun tidak membenci Erlita, ia juga tidak terlalu menyukai sepupunya itu. Sejak kecil, Erlita selalu mendapat perlakuan istimewa dari neneknya. Dan Jihan selalu saja dinomorduakan. Bahkan tidak jarang Jihan merasa bahwa neneknya justru membencinya.
Mencicipi calon suami sepupu sepertinya bukan ide buruk. Jihan justru merasa tertantang untuk menguji coba calon sepupu iparnya itu dan akan lebih menyenangkan lagi bila Erlita akhirnya menikahi pria bekasnya. Ia segera memacu mobilnya. Ia akan menjadi sibuk seminggu ini.
***
Siang itu Nafan kedatangan seorang tamu. Ia tidak yakin bahwa itu adalah tamunya karena ia bahkan tidak mengenal siapapun disini. Untuk memastikan, Nafan menemui tamu itu.
Seorang gadis tinggi dan langsing, sedikit lebih tua dan berani daripada Erlita. Ia menyampirkan blezer di pundaknya untuk menutupi tank top yang dikenakan.
“Anda Nafan?”
Nafan mengangguk, “Anda?”
Jihan mengulurkan tangannya. “Saya Jihan, kakak sepupu Erlita.”
“Oh.”
“Saya datang untuk melihat langsung seperti apa pria yang akan dinikahi Lita. Ia terlihat sangat gelisah bahkan berusaha melarikan diri. Saya sempat berfikir bahwa anda memiliki tampang kriminal atau semacamnya.” Jihan tertawa kecil seakan itu lucu.
“Ternyata anda cukup tampan untuk ukuran pria yang bekerja disini.” Pandangan Jihan menyapu sekeliling ruangan kerja Nafan.
“Kalau begitu, saya permisi. Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan.”
“Tunggu!” Jihan menarik tangan Nafan lalu memberikan tatapan manja dan seksinya yang selalu sukses membius para pria hidung belang.
Tapi sungguh di luar dugaan, Nafan justru menepis tangan Jihan dan berlalu seolah tidak terjadi apa-apa. Tiba-tiba saja Jihan merasa kegerahan. Belum pernah aksinya ditolak dengan kasar seperti itu.
“Dia pasti gay!” Jihan mengumpat dalam hati tak terima diperlakukan seperti itu oleh Nafan.
Ia lalu mengeluarkan kartu namanya dan meminta security untuk menyerahkannya kepada Nafan, “Tolong sampaikan, ini penting! Jadi segera hubungi saya!”
Sudah dua hari berlalu sejak Jihan menemui Nafan hari itu. Tapi nafan tak kunjung menghubunginya. Khawatir kalau-kalau security lupa, ia mencari tahu nomor telepon kantor Nafan dan sungguh bak pucuk dicinta ulampun tiba, Nafan sendiri yang mengangkat teleponnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments