Pukul setengah sebelas siang, barang-barang sudah dinaikkan semua ke atas truk. Papa berjalan menuju truk dan naik ke kursi penumpang. Papa akan menjadi penunjuk jalan bagi sopir truk, sedangkan Kinara ditugaskan untuk mengendarai mobil bersama Mama dan mengekor di belakang.
Kinara menoleh sebentar ke belakang. Memandangi pintu besar di depannya dengan pandangan nanar. Pintu yang biasa menyambutnya dengan hangat itu kini seolah melambaikan tangan mengantar kepergiannya yang tentu tidak akan kembali.
Pandangannya kemudian beralih ke taman kecil milik Mama. Beberapa bunga yang di tanam di sana tampak mulai bermekaran. Seharusnya, mereka bisa tinggal lebih lama untuk merawat bunga-bunga itu sampai nanti jatuh berguguran. Tapi apa daya, kelopak bunga yang cantik itu mungkin akan segera mati hanya dalam beberapa hari ke depan.
Sekali lagi Kinara menghela napas. Buru-buru dia berbalik, berjalan cepat menuju mobil sebelum air matanya kembali menetes dan dia semakin berat untuk meninggalkan rumah ini.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Kinara masuk ke dalam mobil, menyusul Mama yang sudah lebih dulu duduk di kursi penumpang. Tidak seperti Kinara yang tampak berberat hari meninggalkan hunian mereka ini, Mama terlihat jauh lebih tabah. Wanita itu tidak terlihat menangis sama sekali. Bahkan, saat Kinara bolak-balik menolehkan kepala ke belakang, Mama sama sekali tidak goyah. Wanita itu terus berjalan menjauh tanpa ragu.
Saat kakinya menyentuh pedal gas, perasaan Kinara campur aduk. Rasanya berat sekali untuk menginjak pedal gas. Sebab Kinara tahu, sekalinya mobil ini melaju, ia tidak akan punya kesempatan untuk mundur lagi. Tapi pada akhirnya Kinara tetap melajukan mobilnya.
"Nggak apa-apa, semuanya akan baik-baik aja."
Kinara nyaris tidak bisa menahan tangis saat Mama menyentuh tangannya yang berada di atas kemudi. Mati-matian Kinara menahan sesak yang mulai merambati dadanya. Berkali-kali meyakinkan diri bahwa semuanya memang akan baik-baik saja. Karena seharusnya, semua memang masih bisa berjalan dengan baik. Selama masih ada Mama. Selama masih ada Papa. Selama Kinara masih memiliki orang-orang yang dia sayangi dan juga menyayangi dirinya, Kinara yakin semuanya akan baik-baik saja.
"Iya, Ma. Semuanya akan baik-baik aja."
...****************...
Rumah kontrakan yang disewa Papa untuk satu tahun ke depan itu jelas jauh lebih kecil daripada rumah mereka sebelumnya. Tidak ada pekarangan luas yang bisa dijadikan taman juga tempat parkir untuk dua sampai tiga mobil. Pekarangan di depan rumah kontrakan bercat abu-abu tua itu hanya muat untuk parkir satu mobil dan tempat menaruh jemuran.
Kinara mengeluarkan koper dari dalam bagasi. Menyeretnya melewati pekarangan yang dipenuhi kerikil lalu berhenti di depan pintu kontrakan yang sudah terbuka lebar. Papa dan si sopir truk sudah sibuk menggotong barang-barang bawaan ke dalam rumah, sedangkan Mama tampak membantu mengarahkan di mana barang-barang itu harus diletakkan.
Sejenak, Kinara memerhatikan calon tempat tinggal barunya itu dengan saksama. Kalau dilihat sekilas, rumah di hadapannya ini tidak terlalu buruk. Bangunannya terlihat baru dan terawat. Warna catnya juga netral, tidak norak seperti beberapa rumah di samping kanan-kiri yang warnanya cenderung ngejreng. Lalu, meskipun tidak ada halaman luas untuk dibuat taman kecil, di bagian teras rumah ini sudah ada beberapa pot tanaman bunga warna-warni. Mungkin Mama hanya perlu menambah beberapa yang sesuai dengan selera mereka.
Kemudian, saat Kinara menolehkan kepala untuk melihat keadaan sekitar, dia melihat empat orang ibu-ibu tengah menatapnya dari rumah yang letaknya di samping kiri rumah kontrakannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibir mereka tampak berkomat-kamit. Kinara yakin dia sedang dijadikan bahan omongan sekarang.
Karena tidak mau menimbulkan kesan buruk di hari pertama pindahan, Kinara pun mengulaskan senyum kepada ibu-ibu itu yang dibalas dengan senyum mau tak mau.
Malas melihat pemandangan menyebalkan itu lebih lama, Kinara memutuskan masuk ke dalam rumah, menggeret kopernya susah payah.
"Masukin kopernya ke sini, di sini kamar kamu." Perintah Mama sembari menunjuk sebuah kamar paling ujung dekat kamar mandi.
Kinara hanya menurut. Dia segera masuk ke dalam kamar yang Mama tunjuk. Aroma pengharum ruangan yang menyengat segera menguasai indera penciuman saat pertama kali Kinara masuk. Kamar itu tidak sebesar kamar miliknya dulu. Hanya muat diisi sebuah ranjang single bed, satu lemari kayu ukuran sedang dan satu set meja belajar. Space yang kosong di antara meja belajar dan kasur masih bisa digunakan untuk sholat. Tidak ada kamar mandi di dalam. Di sebelah kasurnya ada jendela kecil yang membuatnya bisa melihat ke rumah tetangga yang ada di samping rumahnya. Mungkin jaraknya hanya 10 meter.
Kinara hendak memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari kayu, namun urung karena dia tidak yakin apakah lemari itu sudah bersih dari debu atau belum. Bukannya sombong, tapi Kinara memang alergi terhadap debu yang berlebih. Kalau ada terlalu banyak debu di sekitarnya, dia akan bersin-bersin terus sampai membuat hidungnya memerah. Kadang kalau alerginya cukup parah, dia juga akan mengalami ruam di bagian tertentu tubuhnya seperti di leher dan area sekitar wajah. Beruntung saat dia mendapat tugas mengemasi barang-barang dari gudang, barang-barang tersebut sudah lebih dulu dibersihkan oleh Mama dan Papa sehingga tidak banyak debu yang tertinggal.
Akhirnya, Kinara memutuskan untuk menunda niatnya membongkar koper. Dengan langkah pelan, ia berjalan keluar dari kamar. Menyusul Mama yang sedang merapikan beberapa kardus yang baru saja diturunkan oleh Papa.
"Barang-barang kita ternyata memang sebanyak ini, ya?" tanyanya saat menyadari ruang tamu sudah penuh dengan kardus-kardus dalam berbagai ukuran. Saat tinggal di rumah yang lama, Kinara tidak merasa bahwa barang-barang mereka ada sebanyak ini. Karena memang sebagian besar barang yang mereka bawa ke sini tadinya hanya teronggok di gudang sehingga jauh dari jangkauan matanya.
"Kebanyakan barang-barang kamu sewaktu kecil." Mama menyahut. Senyum yang wanita itu sunggingkan berhasil membuat hati Kinara kembali terasa ngilu. Mengapa di saat seperti ini, Mama justru lebih banyak tersenyum? Bukankah lebih baik kalau Mama menangis juga seperti dirinya?
"Mama mau beresin lemari di kamar kamu, biar kamu bisa masuk-masukin baju ke sana. Kamu tolong bantuin Papa bongkar kardus-kardus ini dan mulai tata perabotan yang urgent dulu, ya. Nanti sisanya biar Mama yang beresin."
"Iya."
Setelah itu, Mama melenggang pergi. Meninggalkan kesunyian yang cukup lama melingkupi Kinara dan Papa. Sejujurnya, Kinara masih tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan Papa. Karena sejak kemarin, ia dan Papa tidak saling bertegur sapa. Papa sama sekali tidak berusaha mengajaknya bicara, mungkin terlalu takut dan hatinya terlanjur dipenuhi rasa bersalah. Sedangkan Kinara sendiri tidak mau berbicara dengan Papa karena ia sibuk membenahi perasaannya yang kacau balau.
Akhirnya, karena tidak ada satupun di antara mereka yang mau membuka suara lebih dulu, kegiatan membereskan barang itu mereka lewati dalam keheningan. Kardus demi kardus dibongkar, isinya dikeluarkan dan mulai ditata ke tempat yang semestinya.
Seiring dengan barang-barang yang mulai menempati tempatnya masing-masing, retak di hati Kinara kian terasa lebar dan menyakitkan.
Tuhan... tolong kuatkan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Astri
tetangga seribu bibir
2024-08-21
1
bellariana
sedih ya jadi kinara
2022-10-30
1
Arianeee
emak emak emg ska brgosip
2022-10-30
1