Setelah seharian penuh berkutat dengan barang-barang bawaan yang harus dibongkar dan ditata, Kinara akhirnya bisa mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu. Kinara menyandarkan punggungnya, memejamkan mata sejenak sembari mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
Peluh mulai menetes membasahi kaus yang Kinara kenakan. Membuatnya merasa lengket dan tidak nyaman. Di rumah kontrakan ini memang tidak ada AC, hanya ada dua unit kipas angin, satu dipasang di kamarnya dan satu lagi dipasang di kamar Mama dan Papa.
"Duh, panas banget..." keluhnya sembari mengibaskan tangan di depan wajah, berusaha mengipasi dirinya sendiri secara manual.
Ketika Kinara membuka mata dan menegakkan punggung, perhatiannya tercuri karena ponsel yang sedari tadi mendiami saku celananya bergetar beberapa kali, menandakan adanya panggilan masuk.
Dengan gerakan serabutan, Kinara merogoh saku celananya dan mengeluarkan benda itu dari sana. Matanya yang semula sayu dan tak bersemangat seketika terbuka lebar. Punggungnya tegak setegak-tegaknya, jantungnya berdegup semangat dan kepalanya mulai memutar berbagai adegan ketika matanya mendapati nama Atha terpampang di layar ponselnya.
Setelah berdeham beberapa kali untuk melegakan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering tanpa alasan, Kinara menggeser log hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Nara, kamu di mana?!"
Baru saja Kinara membuka mulut untuk bicara, Atha sudah lebih dulu menyela dengan suara yang tinggi. Nara mengerutkan kening. Perasaan, dia tidak sedang berbuat kesalahan. Tapi kenapa Atha berbicara dengannya menggunakan nada orang marah?
"Ra?!"
"Di rumah." Jawabnya seadanya. Karena memang dia sedang ada di rumah, bukan?
"Apanya yang di rumah?! Aku di depan rumah kamu, tapi rumah kamu kosong! Semua lampunya mati dan di depan pagar ada spanduk bertuliskan... ah, nggak tahu tulisannya apa! Kamu di mana? Jangan bercanda sama aku!"
Seketika itu, Kinara merasakan pasokan oksigen yang ada di sekitarnya menipis. Ia kesulitan bernapas hingga dadanya perlahan-lahan terasa sesak. Semangat yang membakar dirinya tadi seketika padam, tergantikan dengan beribu kekhawatiran yang seharusnya tidak datang dalam waktu dekat.
Atha masih terus mengoceh di seberang sana, sementara Kinara mulai tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ada banyak jawaban yang bisa dia pilih, tapi tak satu pun berhasil keluar dan hanya menyangkut di tenggorokan, membuat tenggorokannya terasa sakit seolah ada batu besar yang menyumbat di sana.
Tuhan... Kinara harus jawab apa?
Ia memelas dalam hati. Berharap Tuhan mau sedikit berbaik hati dengan mengirimkan petunjuk untuknya menghadapi situasi kali ini.
Tapi ternyata, Tuhan tidak sedang dalam jangkauan untuk mengurusi masalahnya. Kinara tidak marah. Ia tahu Tuhan itu baik. Hanya saja, kali ini mungkin memang belum gilirannya. Umat-Nya ada banyak, pekerjaan Tuhan juga jadi banyak. Jadi sebagai manusia biasa yang masih banyak dosa, Kinara tidak mau menjadi tidak tahu diri dengan memaksa Tuhan mendahulukan kepentingan dirinya.
Maka, setelah perdebatan hebat dengan dirinya sendiri. Setelah menarik dan membuang napas berkali-kali, Kinara berkata, "Aku udah nggak tinggal di sana, Atha. Kami sekeluarga udah pindah."
"Pindah ke mana? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku? Kamu sengaja mau menghindar dari aku? Kenapa? Kenapa kamu kayak gini, Nara? Aku ada salah apa sama kamu sampai--"
"Papa bangkrut, Atha."
Seketika hening. Suara Atha yang tadinya menggaung bagai ratusan peluru yang memberondong seketika lenyap bagai ditelan bumi. Bahkan suara napas laki-laki itu pun sama sekali tak terdengar oleh rungu Kinara.
"Papa bangkrut." Ulangnya dengan nada suara yang kelewat menyedihkan. Padahal Kinara tidak mau seperti itu. Padahal ia tidak ingin terlihat lemah di depan Atha. Tapi, sesak di dadanya benar-benar tidak bisa ditahan begitu saja. "Kami kehilangan semuanya. Benar-benar nggak ada yang tersisa, Atha."
Kinara pikir, dia akan mendapatkan kalimat penghiburan dari Atha. Kalimat sesederhana semua akan baik-baik saja yang sudah dia dengar puluhan kali dalam hari ini. Kalimat sederhana yang Kinara tahu tidak akan banyak merubah apa yang sudah terjadi, tapi mampu membuatnya meyakinkan diri. Kinara tidak butuh yang muluk-muluk, hanya dengan kalimat semacam itu saja, dia sudah bisa merasa tenang.
Tapi ternyata, ia kembali harus menelan pil pahit saat sambungan telepon justru terputus. Atha memutuskan telepon, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.
Maghrib itu, bersamaan dengan adzan yang berkumandang, Kinara cuma bisa tersenyum sumir menatapi layar ponselnya yang padam.
Atha... laki-laki itu ternyata tidak bisa tetap berada di sisinya sekarang. Dan yang lebih menyakitkan dari itu adalah kenyataan bahwa Kinara tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa memaksa siapa pun untuk tetap tinggal.
...****************...
Pukul setengah delapan malam, Kinara mendudukkan dirinya di teras depan. Di dalam sangat panas dan dia tidak tahan. Jadi setelah menyelesaikan makan malam dan membantu Mama mencuci piring kotor, Kinara melipir ke depan untuk mencari udara segar.
Tatapan Kinara terlempar jauh ke depan. Pada hamparan pohon tinggi yang di tanam di sepanjang jalan. Kalau mau membandingkan, kawasan tempat tinggalnya yang sekarang memang jauh lebih asri ketimbang kawasan perumahan elit yang dulu dia huni. Tidak banyak warga yang memiliki kendaraan bermotor sehingga kualitas udara di sini masih cukup bagus. Di sini nyaman. Hanya saja, Kinara masih tidak terbiasa dengan hawa panas yang terus menyiksa dirinya ini.
Semilir angin menerbangkan anak-anak rambut Kinara yang sudah mulai memanjang. Membuatnya menjuntai hingga menutupi sebagian wajahnya yang polos tanpa baluran skincare. Kinara memang bukan tipikal perempuan yang suka berdandan. Jadi baik dulu maupun sekarang, tidak akan banyak yang berubah jadi penampilannya.
"Nara, mau cemilan nggak?!" Mama berteriak dari dalam rumah. Suaranya masih terdengar energik untuk ukuran seseorang yang telah menghabiskan seharian mengangkat ini itu.
"Nggak usah, Nara udah kenyang!" Nara balik berteriak. Agak kaget mendapati dirinya masih bisa mengeluarkan suara sekeras itu padahal sebetulnya dia sudah sangat kelelahan.
Kemudian tidak ada sahutan lagi dari Mama. Kinara pun tidak ingin percakapan dengan cara berteriak itu berlangsung lebih lama. Karena biar bagaimanapun, mereka sekarang punya tetangga yang jarak rumahnya dekat-dekat. Kinara tidak mau dijadikan bahan omongan karena membuat keributan malam-malam.
Kinara hendak memejamkan mata untuk menikmati semilir angin lebih dalam lagi ketika rungunya menangkap suara motor yang sangat ia kenali. Niat untuk memejamkan mata itu jelas diurungkan. Punggung yang semula bersandar di kursi seketika tegak. Matanya menjadi awas, memerhatikan jalanan seiring dengan suara motor yang semakin terdengar jelas.
Lalu, Kinara tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika kini bukan cuma suara motornya saja yang muncul, tetapi juga motor beserta dengan pemiliknya yang bergerak mendekat ke arah rumahnya.
"Atha?" gumamnya dengan suara yang teramat pelan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Zenun
tahu darimana Atha rumah barunya Kinara?
2022-11-01
2