Kinara yakin ini masih terlalu pagi untuk mendengar keributan yang berasal dari lantai bawah. Dengan muka bantal dan mata yang masih setengah terpejam, dia berjalan keluar dari kamar.
Kinara melongokkan kepala keluar pintu, menajamkan indera pendengarannya untuk mencaritahu dari mana asalnya suara berisik yang terdengar seperti beberapa benda yang terjatuh itu.
"Nara, ngapain?"
Hampir saja jantung Kinara melompat keluar dari tempatnya sewaktu Mama tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya, menatapnya keheranan.
"Mama ngagetin!" Kinara memegang dadanya sendiri. Jantungnya berdegup kencang. Ekspresi wajahnya sangat dramatis, berbanding terbalik dengan Mama yang tampak tenang. Mama memang selalu pandai dalam hal mengatur emosi. Tidak seperti dirinya yang meledak-ledak (entah menurun dari siapa), Mama cenderung lebih bisa mengontrol dirinya. Wanita itu cenderung tertawa sekadarnya, menangis seperlunya dan marah sewajarnya.
"Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Ngapain kamu celingak-celinguk di depan pintu begitu?" Mama bersedekap, menatap Kinara menunggu jawaban.
"Kinara dengar ada suara berisik dari lantai bawah, penasaran itu suara apa." Jelas Kinara. Detak jantungnya sudah kembali normal sekarang.
"Oh, itu suara Papa yang lagi beres-beresin barang di gudang." Mama berucap santai.
"Oh, lagi beresin barang... Eh?! Beresin barang? Kenapa?!" Kinara tiba-tiba panik, matanya melotot tak percaya.
"Besok kita harus pindah. Papa mau beresin barang yang masih bisa kita bawa, kayak album foto lama sama mainan dan baju-baju kamu sewaktu masih kecil."
"Besok banget?"
Mama mengangguk, membuat Kinara cemberut. Mendadak kembali lesu. Sewaktu Papa mengatakan rumah mereka akan disita pihak bank, Kinara pikir mereka akan diberi waktu beberapa hari sampai mendapatkan tempat tinggal baru. Ternyata pihak bank juga sama brengseknya dengan Sebastian, tidak punya rasa belas kasih!
"Yaudah, Mama mau turun bantuin Papa beres-beres. Kamu masuk ke kamar lagi, cuci muka terus turun buat sarapan. Mama udah siapin roti tawar sama susu." Ucap Mama lalu berlalu menuruni tangga, menghampiri Papa di gudang yang letaknya di ujung ruangan lantai satu dekat pintu keluar bagian belakang.
Kinara masih berdiam diri di depan pintu. Tidak tahu harus berbuat apa dan mulai dari mana. Semua ini masih terasa seperti mimpi yang sulit sekali untuk bisa dia terima.
Akhirnya, karena tahu bahwa merutuki apapun tetap tidak akan merubah apa yang sudah terjadi, Kinara pun berjalan kembali ke dalam kamarnya. Langkahnya diseret menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, Kinara terdiam cukup lama. Memandangi pantulan dirinya di cermin dekat wastafel. Berkali-kali Kinara menarik dan membuang napas dengan teratur. Berharap hal tersebut bisa membantunya mengusir keresahan yang perlahan-lahan mulai menguasai dirinya.
Kemudian, setelah dirasa keadaan dirinya sudah lebih baik, Kalea mulai menyalakan keran. Air yang mengalir dari sana ditadahi menggunakan tangan. Perlahan-lahan Kinara membawa air itu untuk membasuh wajahnya. Sensasi dingin langsung merambat dari kulit wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Kantuk yang semula masih ada seketika hilang. Kinara sepenuhnya sadar sekarang. Tetapi, bukan hanya sadar dari kantuknya saja, melainkan juga disadarkan bahwa apa yang dia alami sekarang sepenuhnya kenyataan.
"Tuhan...kasih hati Kinara ketabahan."
...****************...
Matahari sudah naik saat Kinara selesai memasukkan album foto terakhir ke dalam kardus. Dia kemudian duduk bersandar di dinding gudang, menyelonjorkan kaki sembari mengibaskan tangannya untuk mengipasi tubuhnya yang berkeringat.
Papa dan Mama sedang berbincang dengan seseorang di halaman depan. Kalau dari yang dia dengar sayup-sayup sih, orang itu sepertinya adalah sopir truk yang akan membantu mereka pindahan besok. Mungkin Papa dan Mama sedang bernegosiasi tentang harga. Maklum, uang yang mereka punya sekarang tidak seberapa. Sudah pasti harus dihemat agar mereka tetap bisa melanjutkan hidup.
Saat keringat di dahinya menetes hingga jatuh membasahi kaus oblong warna putih yang dia kenakan, mata Kinara menangkap selembar foto yang terselip di bawah kardus tempatnya menyimpan barang-barang yang akan dibawa pindahan.
Kinara mengambil foto itu. Sejenak dia terdiam. Itu adalah foto yang menunjukkan dirinya sedang digendong oleh Papa. Saat itu umurnya mungkin baru dua atau tiga tahun. Foto itu diambil di kebun binatang dengan latar belakang rerumputan hijau di mana ada beberapa rusa yang tidak sengaja ikut terfoto. Mama berdiri di samping Papa, tersenyum begitu cerah.
Melihat senyum hangat Mama yang menular, Kinara ikut tersenyum. Kalau diperhatikan lagi, Papa dan Mama tidak banyak berubah. Dalam kurun waktu belasan tahun ini, rasanya hanya Kinara yang mengalami perubahan fisik. Mama masih secantik dulu, dengan rambut hitam lurus yang tidak pernah dibiarkan tumbuh panjang melebihi bahu. Mata bulatnya masih menampakkan binar teduh yang menenangkan. Suaranya juga masih selembut dulu. Kinara hampir tidak pernah mendengar Mama berteriak (kecuali saat bertemu dengan kecoak dan binatang kecil menyebalkan semacamnya). Sementara Papa juga masih sama tampannya dengan belasan tahun lalu. Tubuhnya masih tegap dan gagah. Senyumnya masih secerah dulu, walau akhir-akhir ini senyum itu sudah jarang sekali dia lihat.
Ada sesak yang meringsek masuk ke dalam dadanya saat mengingat betapa bahagianya kehidupan mereka dulu. Ralat. Lebih tepatnya, sampai beberapa hari yang lalu. Mereka tentu tidak pernah menyangka bahwa kehidupan bahagia itu akan dirusak begitu saja oleh orang asing tidak tahu diri semacam Sebastian.
Kadang Kinara bertanya-tanya, mengapa orang sebaik Papa harus bertemu dengan bajingan seperti Sebastian? Bukankah ada yang bilang, tanamlah sesuatu yang baik agar kebaikan datang kembali kepada kita? Lalu, inikah balasan atas hal-hal baik yang Papa lakukan selama ini? Adilkah?
Kinara meratap, masih banyak lagi pertanyaan yang mengerubungi kepalanya. Saking ributnya isi kepala, Kinara bahkan tidak sadar kalau Mama menerobos masuk ke dalam gudang.
"Nara, bantuin Mama siapin makan siang... Loh, kamu nangis?!" Mama tiba-tiba berjongkok di depan Kinara, menatapnya panik.
Kinara gelagapan. Tangannya bergerak cepat mengusap pipinya sendiri. Basah. Apa benar dia sudah menangis? Bahkan tanpa dia sadari? Separah itukah sakit di hatinya sampai dia tidak sadar telah meneteskan air mata?
"Nggak apa-apa, Nara. Kamu boleh nangis, nggak apa-apa."
Tahu-tahu Kinara sudah ada dipelukan Mama. Punggungnya ditepuk-tepuk pelan dan rambutnya diusap dengan sayang. Mama berulang kali membisikkan kalimat yang sama; nggak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.
Kinara juga maunya begitu. Dia juga maunya percaya kalau semuanya aka baik-baik saja selama mereka masih bersama. Tapi, Kinara tidak bisa membohongi dirinya. Dia menangis tersedu-sedu di pelukan Mama. Meluapkan semua sedih dan emosi yang dia tahan-tahan sejak kemarin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Zenun
Jangan terlalu kesal, nanti jatuh cinta sama sebastian
2022-10-28
3