Dua bulan sebelumnya.
“Maafkan aku, Gayatri.” Aku melihat diriku sendiri dengan tubuh yang penuh darah dan beberapa panah yang menancap di tubuhku. Satu dari beberapa panah itu mengenai bagian jantungku dan membuat tubuhku terasa begitu sakit serasa kematian sudah dekat denganku.
“Tidak, Dewangkara! Tidak, jangan katakan hal itu! Kau akan selamat! Aku akan segera membawamu pergi dari sini!” Wanita di hadapanku berulang kali memanggilku dengan nama Dewangkara, padahal namaku bukanlah Dewangkara. Wanita itu juga berulang kali menangis di hadapanku seolah aku yang sedang merasakan kematian mendekat adalah seseorang yang berharga baginya.
“Maafkan aku, Gayatri. Aku minta maaf tidak bisa menepati janjiku padamu untuk menikahimu. Aku minta maaf ... huekk ...!” Selagi mulutku berkata kalimat yang entah bagaimana keluar dari mulutku, aku memuntahkan darah dari mulutku karena panah yang menembus tubuhku dan mengenai bagian jantungku.
“Tidak, Dewangkara! Jangan katakan itu! Kita akan tetap bersama sampai kapanpun! Kita akan tetap menjadi suami istri, Dewangkara! Aku milikmu dan kau milikku. Selamanya akan tetap begitu.” Wanita di hadapanku terus mengatakan bahwa dirinya menolak untuk berpisah dengan aku yang dipanggilnya dengan nama Dewangkara. Tapi siapa yang bisa melawan kematian? Manusia selalu terikat dengan beberapa hal di dunia ini: takdir, dan kematian adalah bagian dari takdir itu sendiri. Jadi ... siapa yang bisa melawan takdir? Tak satu pun manusia bisa melakukannya.
“Maafkan aku, Gayatri. Sekali lagi aku-“ Belum selesai, bibirku mengucapkan kalimat yang entah bagaimana bisa keluar dari mulutku, tubuhku ambruk. Pandangan mataku perlahan berubah menjadi gelap bersamaan dengan rasa sakit yang menyerangku. Rasanya .... untuk pertama kali aku bisa mendengar denyut jantungku sendiri karena rasa sakit yang luar biasa kurasakan.
“Dewangkara!! Kau harus tetap bangun!! Jangan pergi meninggalkanku seperti ini!!! Tidak, Dewangkara!!!” Dalam pandanganku yang semakin buram dan semakin gelap, aku mendengar suara wanita itu terus berusaha dengan keras membangunkanku dari rasa sakit yang menyerangku. Tapi panggilan itu tidak bisa mengalahkan rasa sakit yang menyerangku hingga akhirnya aku memilih untuk menyerah pada rasa sakit itu dan membiarkan tubuhku tenggelam dalam kegelapan yang dalam.
“Raditya ... “
Aku mendengar namaku samar-samar dipanggil oleh seseorang. Panggilan itu rasanya adalah panggilan penyelamatku karena mendengar panggilan itu, rasa sakit yang tadi menyerang tubuhku dengan cepat menghilang.
“Raditya, bangun!! Kau masih harus bertugas!!!”
Aku perlahan membuka mataku dan menatap langit-langit asrama di mana aku tinggal. Kepalaku bergerak ke arah suara yang memanggil namaku dan aku dapat dengan jelas melihat wajah dari teman sekamarku-Bara.
“Hei, pemalas!! Ayo bangun!!! Bukankah pagi ini, kau punya jadwal untuk mengantar Nona Cintya pergi ke pertemuan antar keluarga???”
Mendengar ucapan dari Bara-teman sekamarku, aku langsung melompat dari tempat tidurku dan langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diriku. Aku menyikat gigiku, membersihkan wajahku dan membersihkan tubuhku dengan cepat sembari terus mengomel kepada Bara. “Kenapa kau tidak membangunkanku sejak tadi, Bara??”
‘Apa kau sudah gila??” Bara berteriak membalas omelanku karena pancuran air di kamar mandi terkadang membuat kami tidak bisa mendengar ucapan orang di luar kecuali mereka berteriak. Aku dan Bara terbiasa melakukan hal ini ketika salah satu dari kami berada di kamar mandi dan kami harus bercakap-cakap satu sama lain.
“Kenapa kau menyebutku gila, huh??” Aku membalas teriakan Bara dengan berteriak juga. Karena teriakan itu, aku nyaris saja meminum air pancuran di kamar mandi.
“Aku membangunkanmu lebih dari puluhan kali, Raditya!!! Kau harusnya beruntung sekamar denganku yang super penyabar ini, karena setiap pagi aku selalu membangunkanmu bahkan ketika kau selalu mengomel padaku!!” Keluhan Bara ini sudah sering kali aku dengar, tapi Bara tidak pernah menyerah untuk membangunkanku di pagi hari sejak kami tinggal bersama tiga bulan yang lalu.
“Aku benar-benar tidak mendengar suaramu yang membangunkanku, Bara!!” Aku bergegas keluar dari kamar mandi dengan handuk yang terpasang di pinggangku. Aku meraih pengering rambut yang berada di wastafel di depan kamar mandi dan mengering rambutku yang basah. Aku membuka pintu kamar mandi untuk melihat ke arah Bara yang kini telah mengenakan seragam kerja kami: setelan jas hitam dengan celana hitam, hem putih dan sepatu hitam.
“Bagaimana kamu bisa mendengar panggilanku jika mulutmu itu selalu menyebut nama Gayatri ketika kau tidur???” Bara menatapku dengan tatapan mengejek. “Sebenarnya siapa Gayatri itu?? Dia cinta pertamamu??”
Aku menggelengkan kepalaku beberapa kali dan memastikan jika rambutku telah kering, meski tidak sepenuhnya kering. Aku meraih setelan seragamku di lemari di samping kamar mandi dan kemudian menutup kembali pintu kamar mandi untuk mengganti pakaianku. “Jika kau bertanya siapa Gayatri itu, Bara, maka aku hanya bisa mengatakan padamu jika aku tidak tahu. Mimpi buruk itu sudah aku alami sejak aku mulai mengingat sesuatu.”
Aku melepas handuk di pinggangku dan mulai mengenakan setelan seragamku. Aku memang tidak tahu siapa Gayatri dan siapa Dewangkara yang selalu muncul di dalam mimpiku itu. Aku hanya tahu jika Dewangkara memiliki wajah yang mirip denganku karena berulang kali aku mengalami mimpi itu, aku melihat wajahku sendiri dalam pantulan darah yang dimuntahkan oleh Dewangkara. Hanya saja wajah Gayatri ini ...
“Apa kau sudah siap, Raditya?? Ini sudah jam tujuh pagi.”
Aku membuka pintu kamar mandi dan segera berlari mengambil kaos kaki dan sepatu kerjaku. Bara-teman sekamarku yang pengertian dan penyabar ini, selalu membantuku di pagi hariku yang sulit ini. Sembari aku memasang kaos kaki dan sepatuku, dia meraih kartu kerjaku, ponselku dan alat pendengar yang selalu kami gunakan sebagai alat komunikasi sesama pengawal.
“Ini ...” Bara mengulurkan tangannya memberikan barang-barang penting yang harus aku bawa ketika bekerja.
“Trims, kawan.” Aku menerima tiga barang itu, memasukkan ponselku ke dalam saku di balik jasku, memasang alat komunikasi di telingaku dan menyimpan kartu di saku jasku yang lain. Sementara aku melakukan hal itu, Bara memimpin di depanku untuk berjalan menuju ke ruangan makan di mana Tuan kami sedang menunggu kami.
“Selamat bekerja, kawan.” Bara memberikan sapaan paginya kepadaku sebelum kami bertugas. Bara selalu melakukan hal itu, karena ketika jam kami bertugas dimulai kami dilarang untuk bicara kecuali diperlukan.
“Kau juga, kawan. Ingat berhati-hatilah, kawan.”
“Aku mengerti, kau juga.”
Setelah berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan asrama para pengawal dengan rumah utama, kami langsung ke posisi kami masing-masing yakni di belakang Tuan kami masing-masing.
“Pagi, Raditya.” Tuanku-Nona Cintya langsung memberikan sapaan paginya kepadaku ketika menyadari kedatanganku di belakang tempat duduknya sebelum sarapan dimulai.
“Pagi, Nona Cintya.” Seperti biasa, aku membalas sapaan Nona Cintya sebagai bentuk kesopananku sebagai bawahannya.
Tiga bulan ini ... aku bekerja sebagai pengawal dari Nona Cintya-putri tunggal dari keluarga Yasodana yang wajahnya terlihat sangat mirip dengan wanita yang muncul dalam mimpiku yang selalu kusebut dengan nama Gayatri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments