Gia mengembuskan napas kasar, mengangkat kedua tangan ke udara dan menariknya ke atas untuk meregangkan otot tubuh. Dia mengemasi barang-barangnya dan bersiap pulang, dituntut kerja keras terus bagai kuda oleh Rafli bisa-bisa membuatnya mati muda.
Gia pun berjalan dengan langkah kaki tanpa semangat, bibirnya terus menggerutu karena pekerjaan yang tak ada habisnya. Hingga saat baru saja keluar dari gedung dan melewati pos satpam, Gia berhenti melangkah karena disapa oleh satpam kantornya.
“Baru mau pulang mbak Gia?” tanya satpam bernama Tomon.
Gia mengulas senyum mendengar suara pria tua itu, hingga kemudian memilih menghampiri karena sudah akrab.
“Iya, Pak. Tadi banyak kerjaan,” jawab Gia setelah berada di pos.
“Mau gorengan? Masih anget.” Pak Tomon menyodorkan kantung plastik berisi gorengan yang dia beli seharga dua ribu tiga biji.
Gia tersenyum lebar, lantas memilih duduk di pos bersama Pak Tomon. Pria itu adalah satpam senior di LPA. Beliau sudah bekerja di LPA hampir dua puluh tahun lamanya, bekerja dari masih perjaka, menikah, hingga sekarang sudah memiliki dua cucu.
“Mbak Gia ini pekerja keras sekali, mirip dengan almarhumah ibunda mbak,” kata Pak Tomon sambil menikmati gorengan bersama Gia. Gadis itu pun berhenti mengunyah, lantas menatap pria tua yang duduk di sebelahnya.
“Ibu mbak Gia itu salah satu karyawan yang disiplin, pekerja keras, dan baik hati. Bapak sedih saat tahu ibu Mbak meninggal karena sakit, mungkin dia kelelahan tapi tak dirasa.” Pak Tomon tiba-tiba mengingatkan Gia akan ibunya.
Gia sendiri hanya diam, kejadian itu memang terasa begitu cepat terjadi. Ibunda Gia meninggal saat Gia berumur enam belas tahun, wanita itu meninggal karena serangan jantung saat menghadiri pertemuan dan menginap di sebuah hotel. Ayah Gia—Indra, kini sudah menikah lagi dan memiliki anak berumur dua belas tahun.
“Iya, Pak. Mungkin umur Ibu hanya sampai segitu,” ucap Gia mencoba legowo dan ikhlas.
Pak Tomon memandang Gia, tahu jika gadis itu pasti juga sedih kehilangan meski itu sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Gia menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian berdiri dan merapikan pakaiannya.
“Saya pulang dulu ya, Pak. Takut sampai rumah kemalaman.” Pamit Gia.
Pak Tomon mengangguk, kemudian berpesan agar Gia hati-hati di jalan.
Gia pun pergi dari kantor LPA, dia mengemudikan mobil membelah jalanan yang masih padat meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hingga jalanan tiba-tiba macet, Gia mencoba menatap lurus ke depan. Ternyata ada kecelakaan tepat di depan dua mobil yang berada di depan Gia.
“Kenapa tidak ada orang yang turun untuk menolong?” gumam gadis berparas ayu itu.
Gia pun memilih membuka mobil untuk menolong, hingga terkejut saat melihat pintu mobil yang berhenti tepat di hadapannya juga terbuka, seorang pria berperawakan tinggi keluar dari mobil. Pria berkemeja putih dengan kedua lengan tergulung sampai siku itu, berlari ke arah depan mobil. Gia pun ikut bergegas berlari menyusul pria itu untuk melihat kondisi korban kecelakaan.
Ternyata ada seorang wanita yang menggendong balitanya jatuh saat mengendarai motor. Gia melihat pria yang tadi berlari di depannya membantu mengangkat motor karena menimpa kaki ibu tadi, lantas mendorong agar menepi supaya pengendara lain bisa lewat.
Gia terkejut saat melihat pria yang sedang membantu pemotor itu, dia merasa tak asing saat melihat wajah pria itu, meski begitu Gia memilih mengabaikan rasa penasarannya untuk membantu ibu tadi berjalan ke pinggir dengan cara memapah. Ibu itu nampak terpincang-pincang, kakinya pasti sangat sakit.
Tak memakan waktu lama, kendaraan lain pun mulai kembali berjalan melewati mobil milik Gia dan mobil pria yang ternyata adalah Airlangga – CEO kecap yang menjadi bahan gunjingannya dan Citra siang tadi.
“Ibu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” tanya Gia memberikan perhatian setelah wanita itu duduk.
Anaknya menangis, mungkin karena syok terjatuh dari motor. Gia pun berinisiatif mengambil air mineral yang ada di mobil.
“Ibu sedang sakit? Suaminya ke mana? Kenapa malam-malam naik motor sendirian sambil bawa anak, itu sangat berbahaya?” tanya Airlangga penuh kecemasan.
Gia datang kembali dengan sebotol air di tangan, dia langsung memberikan air minum itu, meminta si ibu untuk minum terlebih dahulu.
“Minum dulu ya, Bu. Adiknya juga,” kata Gia memberi perhatian.
Wanita itu tiba-tiba menangis setelah minum, memandang Airlangga dan Gia secara bergantian, kemudian mengusap wajah anaknya. Terang saja hal ini membuat Airlangga dan Gia sangat terkejut, kenapa wanita itu malah menangis, hingga keduanya sama-sama berpikir jika mungkin wanita itu ketakutan karena hampir celaka.
“Saya kabur dari rumah karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, suami saya tidak segan memukul meski saya sudah meminta ampun. Saya tidak tahan, makanya nekat kabur bawa motor membawa anak saya,” kata ibu itu sambil menangis, bahkan memeluk erat anaknya yang masih dalam gendongan.
Gia sejak tadi berjongkok di hadapan ibu itu, memandang penuh rasa iba. Ia berpikir nasib ibu itu sangat menyedihkan, dari KDRT sampai hampir celaka di jalanan.
Airlangga sendiri terlihat tak acuh dengan keberadaan Gia di sana, kemudian memilih fokus pada ibu tadi dan anaknya.
“Ibu sekarang bagaimana, apa ada yang sakit?” tanya Airlangga.
“Tidak, Mas. Kaki saja lecet,” jawab ibu itu sambil menengok ke kaki yang tadi tertimpa motor.
“Lalu Ibu sekarang mau ke mana?” tanya Gia yang kasihan. Apalagi ini sudah malam dan motor ibu itu sedikit rusak.
Airlangga melirik sekilas ke Gia yang berjongkok, kemudian memilih membuang muka ke arah lain.
“Tidak tahu, mungkin akan pulang ke rumah saudara,” jawab wanita itu mencoba menenangkan diri setelah sebelumnya syok karena hampir tertabrak mobil yang berada di depan mobil Airlangga.
Gia menoleh ke Airlangga yang berdiri, tapi pria itu memalingkan wajah seolah tak sudi melihat Gia. Gadis itu mengerucutkan bibir, kenapa pria itu harus memalingkan wajah hingga membuatnya kesal.
Beberapa pengemudi ojek online yang melihat kejadian itu pun menghampiri, mereka hendak membantu ibu tadi membetulkan motor yang sedikit rusak.
“Lain kali hati-hati, Bu.” Airlangga memberikan pesan agar ibu itu tidak kembali jatuh hingga membuatnya celaka.
“Makasih ya, Mas, Mbak.” Wanita itu berterima kasih karena dua orang itu mau menolongnya. Bersyukur karena keduanya dengan cekatan membantu bangun karena tertimpa motor.
Gia dan Airlangga kembali berjalan ke mobil karena mobil mereka masih di tengah jalan dan sedikit menghalangi lajunya pengendara lain. Keduanya berjalan bersisian meski dengan jarak yang agak jauh, di sana Gia melihat jika Airlangga begitu tak acuh, bahkan menoleh saja tidak, meski keduanya sama-sama menolong wanita tadi.
“Pria ini ternyata sangat dingin, dia pasti sombong, bahkan tersenyum atau sekadar menoleh saja tidak,” gerutu Gia dalam hati.
Gia pun membuka pintu mobil, tapi sebelum masuk gadis itu memperhatikan Airlangga yang juga hendak masuk ke mobil.
“Apa dia benar melakukan KDRT ke istrinya, cih … orang zaman sekarang memang banyak yang bermuka dua. Sok baik ke orang lain tapi jahat ke orang terdekatnya sendiri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Mara
Don't judge a book by its cover...
Coba kenali lebih dalam gi😁
2023-03-21
2
mamah lia nia
pucuk di cinta perawan pun tiba yah Ar..🤭🤭🤭🤭
2023-03-10
2
mamah lia nia
wah tetangga ku namanya Momon tuh ....,🤭🤭
2023-03-10
1