3. Gadis Dari Desa

"Jadi apa keputusanmu? Apa dia mau kembali?" tanya Oma. Mereka sekarang sedang berdua di ruang baca.

Marsell tau apa yang akan ditanyakan omanya, dia sudah kalah. Tidak mampu membawa kekasihnya kembali.

"Aku akan menuruti perintah Oma," ujar Marsell.

Oma tersenyum tipis, akhirnya cucunya melepaskan wanita itu.

"Baiklah, karena kau sudah setuju. Besok Oma akan perkenalkan kamu dengan wanita pilihan Oma."

"Hmm ... kalau tidak ada lagi yang mau Oma bicarakan. Aku akan kembali ke kamarku," kata Marsell. Dia sama sekali tidak menolak lagi.

"Tinggu nak, apa kamu tidak ingin tau siapa wanita itu?"

"Tidak Oma, apapun pilihan Oma pasti itu yang terbaik. Aku ke kamar dulu Oma." Marsell pun berpamitan.

...

"Nyonya besar, tampaknya tuan muda terlihat tidak baik-baik saja," ujar sang asisten setianya.

"Iya, aku juga melihatnya. Dia akan melupakan wanita itu pelan-pelan." Oma sangat yakin kalau wanita pilihannya adalah wanita yang tetap untuk mendampingi cucunya. "Kau suruh orang kita untuk menjemputnya," titah Oma.

"Baik Nyonya."

...

Paginya di meja makan.

"Cucuku, jangan lupa hari ini kamu harus pulang lebih cepat," ujar Oma.

"Ada apa Oma?"

"Apa kau lupa, kamu sudah setuju rencana perjodohan Oma. Hari ini gadis itu akan datang, Oma harap kamu bisa pulang lebih cepat untuk makan malam bersama."

"Baiklah, akan aku usahakan Oma." Marsell tidak punya pilihan lain lagi, selain mengikuti kemauan omanya.

Sementara sang paman terlihat tidak suka karena keponakannya mau menuruti permintaan ibu mertuanya. Ia berharap Marsell menentang kemauan wanita tua itu agar hubungan mereka memburuk.

"Kak Marsell mau menikah dengan siapa Oma, bukankah kekasihnya masih ada di luar negeri?" tanya Nico.

"Dengan pilihan Oma. Wanita yang jauh lebih baik dari pada penyanyi itu."

"Apa kak Marsell sudah tidak mencintai kekasihnya itu? Sayang sekali, padahal dia sangat cantik dan seksi. Teman-temanku bahkan selalu membayangkan kak Laura," ledek Nico.

Mendengar itu Marsell marah dan meletakkan sendoknya dengan kasar. Semua orang sampai tersentak. Tidak berhenti di situ. Marsell bahkan mencengkeram kerah sepupunya.

"Aku peringatkan kau dan teman-temanmu jangan sekali-kali menghina Laura dengan tatapan mesum kalian!! Laura wanita baik-baik dan terhormat," geram Marsell.

"Hahaha, apa Kakak tidak lihat bagaimana cara berpakaiannya di atas panggung. Bagaimana tidak membuat laki-laki berpikir seperti itu. Jangan salahkan kami, ajari saja kekasihmu cara berpakaian yang benar," ledek Nico, dia tidak ada takutnya pada Marsell meski sudah sering terkena amukannya.

"Marsell, sudah nak. Maafkan adikmu, dia hanya bercanda. Tolong lepaskan tanganmu," pinta bibi Marsell sambil ketakutan. Bukan sekali ini anaknya membuat ulah, dia takut ibunya makin tidak menyukai putranya yang susah diatur itu.

"Minta maaf pada kakak sepupumu, nak," perintah Sira pada putranya.

"Aku tidak bercanda Mah, memang kenyataannya seperti itu." Nico makin menantang Marsell yang saat ini sudah merah padam wajahnya. Tangannya sudah mengepal, siap untuk memukul.

"Nico! Minta maaflah," seru Sira lagi.

Mereka berdua saling menatap tajam tidak ada yang mau mengalah. Marsell semakin kuat mencengkram kerah baju sepupunya sampai leher Nico terasa tercekik. Tapi Nico juga tidak mau mengalah lebih dulu.

"Sudah, sudah lepaskan dia, Marsell. Habiskan saja makananmu, bukankah kau ada meeting pagi ini," ujar Gina sang Oma. Melerai kedua cucunya yang hampir tidak pernah akur.

Dengan terpaksa Marsell melepaskan cengkeramannya, mendorong tubuh sepupunya sampai hampir terjungkal kalau saja Sira tidak segera menangkapnya. "Kau tidak apa-apa nak?" tanya Sira.

"Aku sudah kenyang, aku akan berangkat sekarang Oma," pamit Marsell.

"Hati-hati nak." Oma menghela nafasnya. Padahal sudah banyak orang yang mengatakan hal itu tapi mata Marsell tidak terbuka juga.

"Mah, maafkan Nico. Dia tadi hanya bercanda pada Marsell." Sira takut putranya terkena amarah ibunya lagi.

"Nico ...," panggil Gina.

"Iya Oma."

"Mah, maafkan Nico. Dia tidak sengaja mengatakan hal itu. Mah ... jangan hukum dia lagi." Sira terus memohon untuk putranya tapi diabaikan.

"Nico, ambillah kartumu lagi di laci kamar Oma."

Semua orang terheran-heran, karena biasanya jika Nico membuat masalah dengan Marsell pasti dia akan berakhir dihukum. Bahkan sudah dua Minggu ini kartu kreditnya ditahan sang Oma karena terakhir kali dia membuat Marsell kesal.

"Terimakasih Oma." Nico tersenyum bahagia. Padahal dia sudah siap dihukum tapi omanya justru tidak menghukumnya. Justru membebaskannya dari hukuman.

...

Di dalam mobil. Seorang gadis cantik dengan penampilan sederhana. Sedang melamun memandangi jalanan kota yang cukup ramai. Dia adalah Meisya. Seorang gadis muda berusia Dua dua puluh tiga tahun. Yang akan dijodohkan dengan Marsell.

Pikiran Meisya dipenuhi tanda tanya, akankah dia diterima oleh keluarga Gina. Dia telah mengenal Gina, wanita yang begitu baik padanya dan keluarganya tapi akankah cucunya juga sebaik Oma Gina.

"Nona, kita sudah sampai," ujar supir yang menjemput Meisya dari desanya.

"Ohh iya, terimakasih Pak."

Meisya segera turun, membawa tasnya yang berisi pakaian. Dia menggunakan kemeja panjang dan rok panjang, sangat sederhana tapi tetap terlihat cantik bahkan tanpa makeup yang menghiasi wajahnya.

"Biar saya bawakan tasnya, Nona."

"Tidak usah Pak. Saya bisa membawanya sendiri. Oh iya apa benar ini rumahnya Oma Gina?" tanya Meisya. Dia tidak menyangka kalau Gina begitu kaya, rumahnya sudah seperti istana dengan pelayan yang begitu banyak. Dari pintu gerbang sampai di depan rumah saja ia melihat banyak pelayan.

"Benar Nona, ini rumah Nyonya besar. Selamat datang di rumah ini Nona Meisya," ujar asisten kepercayaan Oma Gina sekaligus kepala pelayan di rumah itu.

"Anda??"

"Saya Jeni, Nona. Kepala pelayan di rumah ini. Mari silahkan masuk. Nyonya besar sudah menunggu anda," sapa Jeni lalu mempersilahkan Meisya untuk masuk.

"Terimakasih Bibi Jeni."

"Cukup panggil saya Jeni, Nona."

"Ah tidak Bibi, itu tidak sopan. Bibi lebih tua dariku," ujar Meisya.

"Kalau begitu panggil saya asisten Jeni saja, Nona," pinta asisten Jeni pada Meisya. "Silahkan berikan tasnya pada pelayan, biar Nona bisa bertemu dengan Nyonya besar dengan nyaman."

"Baiklah bibi asisten," ujar Meisya membuat para pelayan terkekeh.

Meisya tidak mungkin memanggil orang yang lebih tua darinya dengan memanggil namanya langsung.

Asisten Jeni pun membawa Meisya memasuki rumah itu tapi tak sengaja bertemu seseorang.

Nico baru saja mengambil kartu kreditnya. Dia akan berpesta dengan teman-temannya hari ini. Dia menuruni tangga sambil bersiul dan menciumi kartu kreditnya. "Akhirnya kau kembali juga sayangku," ujar Nico bermonolog sendiri.

"Anda mau kemana Tuan Nico? Tolong jangan melakukan hal yang membuat Nyonya besar kesal lagi." Jeni yang melihat Nico menatap curiga.

Nico segera menyembunyikan kartu kreditnya. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak ikut campur urusan orang lain, aku ini juga majikanmu. Kamu fokus merawat Oma saja," ketus Nico. Tatapannya beralih pada sesosok gadis dengan pakaian tertutup dan bergaya kampung.

"Apa dia pembantu baru kita, Jeni? Akhirnya ada yang masih muda juga pembantu kita," ujar Nico melihat Meisya. "Hai, aku Nico. Siapa namamu?" sapa Nico kemudian.

Meisya melihat Nico, dalam pikirannya bertanya-tanya. Apa mungkin laki-laki itu yang akan dijodohkan dengannya, karena Meisya belum pernah melihat wajah Marsell. Kalau iya, sungguh tidak tau sopan santun sekali calon suaminya.

"Mari Nona, Nyonya besar sudah menunggu anda." Jeni membuyarkan lamunan Meisya.

"Tunggu Jeni, siapa dia?" Nico mencegah Jeni.

"Sebaiknya anda tidak menghalangi kami. Jangan sampai membuat Nyonya besar menunggu lama," tegas Jeni.

Nico yang baru saja mendapatkan kartunya kembali langsung menyingkir. Tidak ingin omanya kembali menahan kartunya, tapi dia penasaran dengan gadis itu. Jadilah dia mengikuti mereka dan menguping pembicaraan mereka dengan Omanya.

"Tuan Nico, sebaiknya anda tidak di sini. Atau Nyonya besar akan berubah pikiran lagi." Jeni memergoki Nico berada di depan pintu.

"Baiklah, baiklah. Aku akan pergi."

Meisya sudah ada di dalam kamar Oma Gina.

"Apa kabarmu, nak? Kemarilah, biar Oma melihatmu." Oma menggerakkan tangannya menyuruh Meisya mendekat.

"Saya sehat Oma, bagaimana kabar Anda?" tanya Meisya.

"Oma sangat baik nak. Kau semakin cantik sayang. Oma tidak salah memilihmu untuk menjadi cucu menantu Oma. Sementara kamu akan tinggal di sini, nanti Jeni akan mengantarmu ke kamar yang sudah disiapkan."

"Oma ... boleh saya bertanya?" ragu Meisya.

"Ya sayang, katakanlah. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tebak Oma.

"Apa cucu Oma menerima perjodohan ini? Apa dia mau menerimaku. Wanita yang hanya berasal dari desa." Meisya tentu saja merasa minder. Keluarganya dan keluarga Oma Gina bagaikan langit dan bumi. Apa mungkin dia pantas bersanding dengan cucunya.

"Kau ini bicara apa nak. Oma sudah pernah bilang kalau Oma tidak pernah melihat orang dari status sosialnya. Kamu gadis baik, Oma sudah mengenalmu dari kecil dan Oma juga mengenal kedua orangtuamu. Oma percaya kalau mereka pasti mendidikmu dengan baik dan cucu Oma pasti juga akan menyukaimu kalau dia sudah mengenalmu."

"Begitukah." Meisya sedikit lega. Dia sungguh tidak ingin dikucilkan di tempat itu. Lebih baik dia hidup di desa dengan kedua orangtuanya dari pada di kota besar seperti itu. Kalau saja tidak mengingat bagaimana kebaikan Oma Gina.

"Sekarang kamu beristirahatlah, nanti kita makan siang bersama. Jeni, antarkan Meisya ke kamarnya," perintah Oma.

"Baik." Jeni membungkukkan tubuhnya. "Mari nona, saya akan menunjukkan kamar Anda."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!