Tak lama. Laura yang masih menggunakan pakaian konsernya datang menemui Marsell. Dia datang mengendap-endap menghindari wartawan. Untunglah Marsell berada di area parkir VVIP, tidak bisa sembarangan orang masuk ke area itu.
Supir yang mengantar Marsell sudah turun untuk membukakan pintu dan membiarkan majikannya mempunyai waktu berdua dengan sang kekasih.
"Sayang ... aku sangat merindukanmu." Laura langsung menghambur ke pelukan Marsell.
Marsell mengusap lembut kepala kekasihnya.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
"Tidak masalah, bukankah aku sudah biasa menunggu," ujar Marsell memberikan sindiran.
"Ishh iya maaf, kamu tau kan kalau ini impianku sejak kecil."
"Aku tau." Marsell mengecup punggung tangan kekasihnya.
"Kenapa tiba-tiba datang tidak memberitahuku terlebih dahulu," protes Laura.
"Aku ingin memberimu kejutan, apa kau sudah selesai? Aku akan membawamu ke suatu tempat."
"Sudah," angguk Laura.
"Baguslah, tapi sebelumnya kita cari pakaian untukmu lebih dulu. Bagaimana bisa mereka memberimu pakaian yang terbuka seperti ini." Marsell melepaskan jasnya lalu dipakaikan pada Laura.
Laura menghambur ke pelukan Marsell lagi. Dia juga sangat mencintai kekasihnya, siapa yang tidak jatuh cinta pada pria sempurna seperti Marsell. Pria itu juga begitu perhatian pada Laura. Hanya saja Laura yang lama tinggal di luar negeri terbawa suasana. Rasa kesepian membuatnya menjalin hubungan beberapa pria tapi hanya untuk bersenang-senang. Dia masih tetap memilih Marsell.
"Kita mau kemana?"
Marsell tidak menjawab, dia hanya terus menggenggam tangan Laura yang sepanjang jalan ada di pelukannya.
Mereka sampai di butik ternama dan Marsell sudah membuat tempat itu kosong hanya dalam waktu sekejap. Demi melindungi kekasihnya dari wartawan tentunya. Para pelayan tokopun sudah di bayar mahal. Jika berani membocorkan apa yang mereka lihat konsekuensinya tidak main-main.
Laura selalu bangga diperlakukan seperti ratu oleh Marsell. Sebenarnya akhir-akhir ini dia juga mulai lelah dengan pekerjaannya. Kalaupun dia mengakhiri itu, dia masih memiliki Marsell sebagai sandaran.
"Apa seperti ini sudah cantik?" tanya Laura setelah mencoba pakaian.
"Kau selalu cantik menggunakan apa saja," puji Marsell sambil meraih pinggang kekasihnya posesif. Membuat wanita itu merona.
"Bungkus semua yang kekasihku pegang," ujar Marsell sebelum meninggal butik.
Mereka pun sampai di tempat yang sudah dipersiapkan oleh Marsell. Dia sudah menyulap sebuah lapangan sepak bola menjadi tempat yang begitu romantis.
"Sayang, kenapa mataku harus ditutup segala," protes Laura. Dia sangat penasaran dengan kejutan dari kekasihnya.
"Sebentar lagi kita sampai, hati-hati ..." Marsell menuntun kekasihnya sampai ke area yang sudah dipersiapkan.
Marsell membuka penutup mata kekasihnya. Membuat wanita itu menganga melihat lapangan sepakbola yang sudah disulap menjadi begitu romantis. Laki-laki itu pun menuntun kekasihnya ke tengah-tengah dekorasi bunga.
"Sayang ini sangat indah, bagaimana kau bisa mempunyai ide seperti ini." Laura tidak berhenti berdecak kagum.
"Laura ...," panggil Marsell. Dia sudah berlutut di depan kekasihnya.
"Marsell kau!"
"Laura ... maukah kau menikah denganku?" tanyanya dengan yakin.
Laura terharu, dia juga sangat bahagia mendapatkan kejutan seperti itu. Lalu mendengar kekasihnya mengajaknya untuk menikah. Dia langsung mengangguk setuju.
"Ya, aku mau."
"Yess! Terimakasih sayang. Aku akan memasang cincinnya sekarang."
Baru saja cincin itu hampir terpasang, tapi ponsel Laura berbunyi ternyata itu dari sang manager.
"Sebentar aku angkat telepon dulu," kata Laura. Betapa bahagianya mendengar kabar yang membahagiakan bertubi-tubi hari ini. Baru saja sang kekasih melamarnya sekarang managernya mengabari kalau namanya telah lolos seleksi lima besar untuk mendapatkan penghargaan impiannya.
"Sayang ada apa?" tanya Marsell.
Laura langsung memeluk kekasihnya. "Sayang aku lolos, sedikit lagi aku bisa mendapatkan penghargaan itu."
Marsell tidak tau harus berkata apa, dia bingung dengan situasi itu sekarang. "Selamat, kau hebat."
"Terimakasih sayang, ayo kita pasang cincinnya."
Marsell bergeming, menatap cincin itu.
"Ada apa? Kenapa kau tidak memakaikan cincin itu di jariku?"
"Bisakah kita menikah secepatnya. Kau masih bisa bernyanyi setelah kita menikah. Aku tidak akan menghalangimu," ujar Marsell.
"Itu ... tidak bisakah kau menunggu sebentar lagi. Hanya sampai aku mendapatkan penghargaan itu. Aku janji akan meninggalkan semuanya setelah itu."
"Tidak bisa, aku tidak bisa menunggu lagi. Kita akan menikah satu bulan lagi. Kau mau kan?"
"Ada apa denganmu Marsell. Bukankah kau bilang akan menunggu?" Laura kecewa, tapi dia tidak tau kalau Marsell jauh lebih kecewa. "Aku tidak bisa menyerah sekarang ...," sambung Laura.
"Baiklah, jadi itu pilihanmu? Aku harap kamu tidak menyesalinya." Marsell memasukkan kembali cincinnya. Dia benar-benar kecewa, haruskah dulu dia tidak mengijinkan kekasihnya pergi mengejar mimpinya. Harusnya dulu dia tidak mendukungnya.
"Marsell, apa maksudmu?"
"Ayo, aku akan mengantarmu," ujar Marsell lalu dia berjalan lebih dulu.
Di dalam mobil bahkan keduanya tidak berbicara. Hingga sampai tidak ada perpisahan yang manis seperti biasanya. Marsell terlanjur kecewa dengan keputusan kekasihnya. Setelah Laura turun dia langsung pergi dari sana.
"Langsung ke bandara," titah Marsell. Tidak ada gunanya berlama-lama di sana.
Sementara Laura menatap kepergian Marsell dengan kepedihan. Apa mungkin dia sudah salah memilih tapi tidak ada salahnya kan mengejar impiannya. Dia meyakini kalau Marsell pasti akan mengerti nanti, pada saat ia kembali laki-laki itu pasti akan luluh.
Beberapa hari kemudian.
Marsell sama sekali tidak lagi menghubungi kekasihnya. Meski Laura beberapa kali menghubunginya tapi dia tidak membalas atau mengangkat telepon dari Laura. Namun, dia masih berbaik hati dengan membiarkan dukungan tetap mengalir untuk Laura. Sebenarnya dia sangat mampu menghentikan langkah Laura dan memaksa kekasihnya kembali tapi tidak Marsell lakukan. Dia ingin semuanya tulus dari keinginan Laura sendiri.
Tok tok tok.
"Tuan, Nyonya besar meminta anda kembali," ujar sang asisten.
Marsell bisa menebak apa yang akan dikatakan omanya. Beberapa hari yang lalu sang Oma sudah keluar dari rumah sakit dan keadaannya sudah membaik jadilah Marsell tidak datang menemui omanya. "Aku akan pulang hari ini," jawab Marsell tanpa mengalihkan pandangannya pada layar monitor.
...
Sesuai janjinya Marsell pulang ke rumah omanya. Selama ini dia memilih tinggal di apartemen miliknya karena merasa tidak betah tinggal di sana. Terutama dengan paman dan bibinya yang tidak menyukainya.
"Selamat malam Oma," sapa Marsell.
"Akhirnya kau datang juga. Duduklah," ujar sang Oma.
Tiga orang di sana menatap Marsell tidak suka karena mereka merasa Oma selalu pilih kasih pada cucu pertamanya itu. Terutama sang paman yang merupakan suami dari adik ayahnya Marsell. Dia ingin sekali menjadi putranya pewaris juga tapi Oma bahkan tidak membiarkan putranya bekerja di perusahaan.
"Ck, cucu kesayangan Oma bahkan tidak menemani Oma di rumah sakit. Dia hanya melihat Oma sekali, setelah itu sama sekali tidak memperdulikan Oma," sindir sepupu Marsell. Usia mereka tidak berbeda jauh, bedanya Marsell sudah berhasil memimpin perusahaan tapi sepupunya yang bernama Rico itu hanya tau bersenang-senang.
"Diamlah Rico! Oma tidak menyuruhmu bicara. Makan saja makananmu."
Rico memegang sendok makannya dengan kesal karena sang Oma selalu saja membela Marsell.
"Habiskan makananmu nak," ujar ibunya yang merupakan bibi Marsell. Sebenarnya sikapnya cukup baik hanya saja dia mudah terprovokasi oleh suami dan anaknya.
Marsell duduk dengan tenang, tidak memperdulikan paman dan sepupunya yang menatapnya dengan tajam. Dia sudah terbiasa, bahkan sejak kecil. Saat omanya tidak ada, paman dan sepupunya itu sering membully nya.
"Anak sialaaan ... kau selalu saja menghalangi jalanku," geram sang paman dalam hati. Dia merasa tidak adil, sudah bertahun-tahun mengabdi di perusahaan milik keluarga istrinya tapi hanya menjabat sebagai bawahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments