Saat ini, Stella dan Shaka sudah duduk di bangku yang terletak di trotoar. Stella cukup terkejut ketika Shaka tiba-tiba menarik tangannya dan marah-marah. Shaka mengatakan bahwa dia merasa bertanggungjawab karena sudah menyuruh Stella mengerjakan tugasnya hingga rela datang ke apartemennya di waktu yang sudah malam.
Sejak tadi, belum ada yang bicara untuk memecah keheningan. Shaka dengan pikirannya sendiri, yaitu merasa konyol dengan tingkahnya yang spontan. Shaka tidak habis pikir, mengapa dirinya bisa bertindak gegabah dengan menyusul Stella. Jadilah saat ini dirinya merasa canggung dan malu.
Stella juga sama, dia masih terlalu bingung dengan situasi yang sedang dirinya alami. Namun, dia tetap ingin pada tujuan awalnya, yaitu membuat bosnya tersenyum dalam situasi apapun. Merasa punya kesempatan, Stella segera beraksi.
Stella meneleng untuk menatap Shaka yang duduk di sampingnya, senyumnya sudah terbit sejak tadi membentuk bulan sabit. "Bapak kenapa menyusul? Bapak merasa khawatir?" goda Stella dengan satu alis terangkat.
Shaka membuang muka dan berdehem pelan. "Bukankah saya sudah mengatakan jika saya merasa bertanggungjawab?" jawab Shaka yang justru balik bertanya. Stella tersenyum manis hingga membuat pipinya memunculkan lesung.
"Bertanggungjawab sebagai apa, Pak?" goda Stella lagi dengan alis naik-turun. Lagi-lagi Shaka mengeluarkan deheman sebelum berbicara, dan Stella tahu bahwa atasannya itu saat ini sedang grogi.
"Ya ... Sebagai karyawan sayalah!" sangkal Shaka yang membuat Stella magut-magut tanda paham. "Wajah kamu jangan dekat-dekat!" ketus Shaka sambil membuat gerakan memundurkan kepala. Stella mengernyit bingung. "Memangnya kenapa, Pak? Bapak nervous ya?" goda Stella lagi seakan tidak pernah lelah.
Shaka melotot tajam pada Stella kemudian menoyor keningnya agar gadis bar-bar di depannya segera menjauhkan wajahnya. "Jangan mengada-ada kamu ya," sangkal Shaka tidak terima.
Stella tergelak renyah kemudian menjauhkan wajahnya. Shaka sampai tak berkedip melihat Stella yang begitu cantik ketika sedang tertawa. "Ayo ketawa, Pak. Biar wajah Bapak nggak lempeng terus," ajak Stella setengah meledek kemudian meledakkan tawanya lagi saat melihat wajah Shaka kini terlihat tidak terima.
"Bapak lucu banget kalau mukanya tegang gitu. Memangnya, saya menakutkan ya, Pak?" tanya Stella dengan sisa tawa yang ada. "Jangan terlalu percaya diri kamu," jawab Shaka dengan memutar bola matanya malas. Apa tadi Stella bilang? Tegang? Sungguh, bila Stella bekerja sebagai pakar ekspresi, tebakannya akan salah besar.
Tapi, Shaka sedikit bersyukur karena dengan begitu, Stella tidak menyadari ekspresinya yang sesungguhnya.
Setelah lelah tertawa, akhirnya Stella membuka plastik berisi cilok dan mengeluarkan tusukannya. Dia menusuk satu cilok kemudian dia masukkan ke mulutnya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri seakan mengisyaratkan bahwa cilok tersebut lezat rasanya.
Shaka sampai harus menelan ludah, merasa tertarik dengan cilok yang ada di tangan Stella. Stella yang paham akan keterdiaman Shaka, menoleh dan melihat mata tajam itu kini sedang menatap lapar pada ciloknya. Stella terkekeh. "Bapak mau coba?" tawar Stella kemudian menyodorkan satu buah cilok di hadapan Shaka.
"Aa..."
Akhirnya, Shaka menerima suapan itu. Seketika, wangi bumbu dan kelembutan cilok tersebut menyeruak. "Enak kan, Pak? Pasti enaklah. tukang cilok tadi itu, sudah menjadi langganan saya," tanya Stella yang dijawab sendiri. Shaka menunjukan ekspresi datarnya. "Biasa saja." bohongnya singkat, merasa gengsi untuk mengeluarkan pujian.
Stella mencebikkan bibirnya. "Ya sudah. Biar saya makan sendiri saja kalau begitu," kesalnya kemudian segera menghabiskan ciloknya. Setelah habis, Stella menatap Shaka lagi dan bertanya. "Bapak kenapa masih disini? Bapak pulang saja, nggak papa. Saya bisa pulang sendiri kok," ucap Stella yang tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama duduk dengan sang Boss.
"Kamu mengusir saya?" tanya Shaka dengan tatapan tidak terimanya. Stella menggeleng cepat. "Bukan begitu. Tapi kan, ini sudah malam. Apa Bapak tidak pergi bersama kekasih Bapak untuk malam mingguan?" tanya Stella polos.
Shaka menatap Stella datar. "Saya nggak punya pacar," jawabnya cuek. Sedangkan Stella, dia tersenyum licik dan mulai punya ide untuk membuat lelucon agar Shaka mau tersenyum. "Bapak tahu nggak kenapa zombie datangnya keroyokan?" tanya Stella sambil menatap Shaka lembut.
Shaka mendengus pelan. "Nggak tahu dan nggak mau tahu," jawabnya merasa jengah. Stella mengerucutkan bibirnya kesal. "Huh! Pak Boss nggak seru deh!" kesal Stella kemudian bersedekap dada.
Shaka menghela napas pelan. "Kenapa memangnya?" tanyanya dengan terpaksa. Wajah Stella yang semula cemberut, kini tersenyum penuh binar di matanya. "Karena kalau sendirian namanya zomblo." jelas Stella kemudian menunggu Shaka untuk tertawa. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Shaka tertawa.
Stella meringis malu dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Garing ya, Pak?" tanya Stella tengsin. Shaka mengangguk mengiyakan dan itu membuat Stella melotot tajam pada atasannya. "Jujur banget si, Pak. Bohong sedikit kan nggak masalah,"
"Sudahlah, saya mau pulang dulu. Saya sudah ngantuk," ucap Stella kemudian beranjak dari kursinya. Shaka ikut berdiri dan memegang pergelangan tangan Stella lembut. "Biar saya yang antar," ucapnya lembut namun masih dengan wajah datar.
Stella menggeleng. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri kok," jawab Stella yang membuat Shaka menghela napas lelah. "Kamu marah?" tanya Shaka to the point. Stella mengernyit. "Marah kenapa? Saya nggak marah," jawab Stella seakan lupa bahwa baru saja dirinya melontarkan nada merajuknya.
"Ya sudah. Kalau begitu biar saya yang mengantar kamu," paksa Shaka kemudian menuntun Stella menuju mobilnya terparkir. Stella sampai terseok-seok untuk menyamai langkah Shaka. "Pak! Tunggu. Saya tidak perlu di antar kok," tolak Stella halus.
Shaka sontak berhenti dan menatap tak suka pada Stella. "Ini perintah dari atasan untuk bawahannya," ucap Shaka tegas. Stella terkikik geli melihat sikap Shaka yang pemaksa. "Bapak mau mengantar saya dengan berjalan kaki?" tanya Stella masih belum mengiyakan ajakan Shaka.
Shaka menghembuskan napasnya kasar, merasa tidak paham dengan sikap manusia bernama wanita. "Saya kan bawa mobil. Jadi, bawa mobil saja," jawab Shaka geram. Stella justru semakin terbahak-bahak. "Bapak belum tahu alamat tempat tinggal saya kan?" tanya Stella meledek.
Shaka menggeleng. "Memang belum. Makanya saya antar, kamu nanti yang jadi penunjuk jalannya," jawab Shaka masih berusaha bersabar.
Kini Stella tersenyum puas. "Bapak lihat gedung bercat merah itu kan?" tanya Stella sambil menunjuk sebuah gedung yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hanya saja, gedung itu terletak di belakang ruko-ruko. Sehingga, untuk bisa masuk ke gedung tersebut, harus melewati jalan setapak sekitar 50 meter.
"Iya. Kenapa?" tanya Shaka dengan tampang bodohnya. Setelah ini, Stella ingin sekali menyemburkan tawanya. "Itu kostan saya, Pak, tempat tinggal saya," beritahu Stella yang membuat Shaka mengangguk paham.
Sedetik kemudian, setelah mencerna ucapan Stella, seketika Shaka merasa dibohongi. "Kamu beraninya membohongi saya? Kenapa tidak bilang sejak tadi?" tanya Shaka tidak terima.
Stella benar-benar merealisasikan keinginannya, yaitu tertawa terbahak-bahak. "Kan sejak tadi, Bapak tidak bertanya. Memangnya, Bapak nggak memperhatikan penampilan saya yang sudah berganti pakaian?"
Benar sekali. Hal itu sudah luput dari pandangannya. Sungguh, Shaka merasa malu setengah mati karena ulah Stella. Disaat dirinya ngotot untuk mengantarnya, tanpa diduga tempat tinggal Stella ternyata tidak jauh dari apartemennya. Shaka rasanya ingin bersembunyi saja di saku celananya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa kasih dukungannya ya😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Warijah Warijah
Si muka lempeng jln Tol udah mulai bengkok dikit..
2023-09-18
0
Deche
yang banyak up nya
2022-12-31
0
Mayya_zha
lagi asik asik baca udahan aja
2022-10-30
1