Stella bisa bernapas lega karena sang Bos tidak memecat dirinya. Sebagai gantinya, Stella harus mengerjakan beberapa berkas yang harusnya menjadi tugas Direktur Utama. Itu tidak masalah untuk Stella. Yang terpenting, besok dirinya masih bisa bekerja seperti biasa.
Jarum jam pendek sudah menunjuk angka lima sedang jarum panjang sudah menunjuk angka dua belas namun, pekerjaan Stella masih begitu menumpuk.
Stella melakukan peregangan otot yang berubah kaku karena berjam-jam berkutat dengan barisan paragraf yang membuat kepalanya pening. "Aku butuh kopi!" pekik Stella hingga membuat beberapa teman satu divisinya menoleh sinis. Stella meringis, dia pikir hanya tinggal dirinya saja di ruangan tersebut. Ternyata, masih ada beberapa yang lembur.
"Nih! Kopi!" Baru saja selesai berucap, doanya langsung dikabulkan. Stella melihat satu kap kopi yang diletakkan di atas mejanya. Stella mendongak untuk melihat siapa yang sudah berbaik hati memberinya kopi. "Aku kurang baik apa coba? Kamu harus banyak bersyukur punya teman kaya aku," puji Ana membanggakan diri sendiri.
Stella tersenyum dengan mata berbinar. "Makasih, Sayang. Kamu memang yang terbaik," Dengan tulus, Stella mengucapkannya. Kemudian, Stella melihat Ana yang menarik kursi di sebelah kubikelnya, membawanya mendekat untuk duduk bersisian dengan kursinya. "Kok kamu belum pulang?" tanya Stella sambil menyesap kopi hangatnya.
Ana menggeleng. "Aku mau menunggu kamu. Bagaimanapun sikapmu padaku, aku akan tetap selalu ada untukmu," ucap Ana dramatis. Stella mendengus pelan "Memangnya, apa yang salah dari sikapku? Perasaan, semua baik-baik saja," tanya Stella tidak terima, bibirnya sudah mencebik kesal.
"Bagaimana rasanya berada dalam satu ruangan dengan orang tampan?" tanya Ana yang diluar topik pembicaraan. Stella memutar bola matanya jengah. "Aku penasaran, La. Hari pertama di kantor, pak Shaka sudah menjadi trending topik di seluruh jagad kantor," ucap Ana lagi.
"Oh ya? Tapi, pak Shaka memang tampan si," ucap Stella mengakui. Setelah itu, Stella kembali berkutat dengan pekerjaannya. Sedangkan Ana memilih diam, larut dalam pikirannya sendiri.
Stella yang menyadari keterdiaman Ana, akhirnya bersuara lagi. "Tumben kamu diam?" tanya Stella heran kemudian beralih lagi dengan komputer di depannya. Ana tidak menjawab namun, tatapnya mengarah ke pintu dimana ada seorang pria yang kini sedang berdiri disana.
"Sumpah! Pak Shaka tampan sekali, La. Aku bisa pingsan disini kalau pak Shaka mendekat," gumam Ana enggan mengalihkan tatapan pada Shaka yang kini sedang berjalan ke arahnya. Stella mendengus pelan tanpa mengalihkan pandangan. "Memang tampan. Tapi sayangnya, galak dan kaya jalan tol ... Lempeng ...." Stella mencibir yang tentunya masih bisa terdengar oleh orang-orang yang berada di ruangan tersebut.
Keadaan seketika berubah mencekam namun, Stella tidak menyadari karena fokusnya kini ada pada komputer di depannya.
Ekor mata Stella melihat Ana yang beranjak dari duduknya. "Aku pamit dulu ya, La. Kalau ada apa-apa telepon aku," ucap Ana yang berhasil membuat Stella mengerutkan dahinya, heran. Tinggallah di ruangan tersebut hanya ada Stella dan Shaka, karena semua orang sudah keluar demi menjaga keamanan dan ketentraman hidupnya.
"Ehem!"
Deheman itu berhasil membuat Stella berjenggit. Pasalnya, Stella merasa tidak asing lagi dengan suara berat itu. Stella berpikir sejenak untuk mengingat. Ketika sudah sadar, Stella membelalak kaget. 'Ana! Katanya kamu akan selalu ada untukku? Mana buktinya!' rutuk Stella dalam hati, merasa kesal dengan Ana.
Stella memberanikan diri untuk mendongak dan langsung mendapati Shaka yang kini sedang berdiri di samping meja dengan berkacak pinggang. Stella berusaha tersenyum. "Eh, ada Pak Shaka. Sudah lama ada disini, Pak? Kok Bapak nggak bilang-bilang si? Kalau Bapak bilang kan, saya bisa melakukan penyambutan yang selayaknya," ucap Stella mencoba mengalihkan perhatian Shaka.
Shaka mengangkat satu alisnya. "Tidak penting. Kamu tadi bilang apa?" tanya Shaka datar dengan tatap penuh intimidasi. Stella meringis. "Saya tadi mengatakan tentang penyambutan, Pak," jawab Stella takut-takut.
"Yang sebelumnya?" desak Shaka lagi.
"Lempeng, Pak. Kaya jalan tol," jawab Stella terlewat jujur. Shaka kembali bertanya dengan maju selangkah lebih dekat dengan Stella yang saat ini masih duduk di kursi kerjanya. Shaka sedikit membungkuk agar tatapnya bertemu dengan tatap Stella. "Siapa yang lempeng, kaya jalan tol?" tanya Shaka lagi dengan penuh penekanan.
Stella menelan salivanya, tidak mungkin dia berkata jujur bahwa yang dimaksud Stella lempeng adalah orang yang saat ini berada dihadapannya. Namun, untuk apa berbohong jika kenyataannya memang seperti itu? Akhirnya, Stella memilih menjawab jujur. "Pak Shaka," Stella memejamkan matanya erat-erat, pasrah jika setelah ini nyawanya sudah berpindah alam.
Namun beberapa menit berlalu, tidak ada respon apapun dari Shaka sehingga, hal itu mengharuskan Stella membuka matanya. Saat pertama kali Stella membuka mata, tatapnya langsung tertuju pada mata indah di depannya.
Stella tidak tahu apa yang sedang dilakukan Shaka dengan jarak pandang sedekat ini. Tenggorokan Stella rasanya tercekat, untuk sekedar mencari oksigen saja rasanya susah sekali. Saat ini, Shaka sedang menatap dirinya begitu lekat hingga membuat Stella tenggelam ke dalam manik coklat milik Shaka.
Dari jarak sedekat ini, Stella bisa melihat wajah Shaka yang ketampanannya meningkat hingga membuat Stella tak mampu berkedip apalagi mengalihkan pandangan.
Klik.
Shaka menjentikkan jari di depan wajah Stella hingga membuat Stella tersadar kembali. "Jangan melamun! Dimana berkasnya?" tanyanya ketus lalu, menegakkan tubuh pada posisi semula. Untungnya, tidak membutuhkan waktu lama untuk Stella menguasai diri. Tangannya bergerak mengambil setumpuk berkas yang sudah selesai dikerjakannya. "Ini, Pak. Sebagian lagi masih dalam proses pengerjaan," jawabnya jumawa.
Shaka menatap tak suka pada Stella yang dengan mudahnya mengerjakan tugas darinya. Akhirnya, Shaka mengambil salah satu berkas dan membukanya, berharap ada setitik kesalahan yang bisa dia gunakan untuk menjatuhkan Stella.
Namun hingga halaman terakhir, Shaka tidak menemukan adanya kesalahan. Tatapnya kini tertuju pada Stella yang sedang bersedekap penuh rasa bangga karena sudah menyelesaikan tugas darinya dengan baik. "Jangan senang dulu! Masih banyak yang harus kamu kerjakan!" kesal Shaka dengan gigi bergemeletuk.
Stella tertawa renyah. "Sudahlah, Pak. Akui saja kalau pekerjaan saya bagus. Gengsi ya, Pak?" tanya Stella dengan alis yang bergerak turun-naik. Shaka berdehem pelan. "Jangan banyak bertanya. Kerjakan lagi tugasnya!" titah Shaka yang sama sekali tidak membuat Stella takut.
Entahlah, Stella justru merasa tertantang dengan sikap bosnya yang galak dan berwajah lempeng itu. Tiba-tiba, muncul ide iseng untuk membuat Shaka mau tersenyum. "Oh iya, Pak. Saya ada sesuatu untuk Bapak. Sebentar," Kemudian, Stella tampak mengobrak-abrik isi tasnya.
Shaka tampak menunggu Stella yang katanya punya sesuatu untuk dirinya. Stella menatap Shaka dengan senyum manisnya hingga membuat Shaka mengerutkan dahi. Stella seperti akan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Setelah mengeluarkan tangannya, tidak ada apapun selain jari telunjuk dan ibu jari Stella yang membentuk hati. "Sarangheyo." ucapnya iseng.
Bibir atas Shaka berkedut samar hingga Stella tidak menyadari jika Shaka ingin sekali tersenyum. "Kamu apa-apaan si?" ketus Shaka kemudian berbalik meninggalkan Stella yang masih melongo. "Dia tetap nggak senyum?" gumam Stella tak habis pikir.
"Awas ya, Pak! Akan saya buat Bapak tersenyum nanti!" teriak Stella kesal, berharap suaranya tetap terdengar oleh Shaka yang saat ini sudah berada di ambang pintu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
yuk, tinggalkan jejak kalian disini😍🙃
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Warijah Warijah
Stella memang hrs berani, karena memang tdk salah untuk apa takut..
2023-09-18
0
reni
ceritanya agak Laen 🤭q sepertinya suka lagi tor duh begadang lagi deh 🙈
2023-05-21
3
Deche
lanjut
2022-12-31
1