Pagi harinya, Stella sudah tiba di kantor tepat waktu. Dia berjalan dengan bangga karena berhasil datang di waktu yang cukup pagi, yaitu pukul setengah delapan. Masih longgar setengah jam menuju jam kantor di mulai.
Stella memilih untuk membuat kopi terlebih dahulu di pantry sebelum sampai di ruangannya. "Selamat pagi, Mbak Stella?" sapa Rio ramah, office boy di kantor tersebut. Stella mengangguk dengan senyum mengembang.
"Selamat pagi, Rio." Stella menjawabnya sambil berlalu menuju nakas bagian atas untuk mengambil kopi sachet kesukaannya. Namun, ketika mata Stella menjelajah, sama sekali tidak ditemukan kopi sachet kesukaannya.
Rio yang paham akan kebingungan Stella akhirnya bersuara. "Kopi kesukaan Mbak Stella sudah habis, Mbak. Apa sebaiknya saya carikan dulu di luar?" tanya Rio tidak enak hati.
Stella menoleh pada Rio dengan mata memgerjap. "Oh ya? Tidak perlu, aku bisa membuat kopi sachet yang lain, yang masih tersedia disini," jawab Stella sama sekali tidak masalah.
"Memangnya tidak apa-apa ya, Mbak?" tanya Rio memastikan yang segera mendapat gelengan dari Stella.
"Tidak masalah. Apapun jenisnya, semua bisa masuk ke perutku," kekehnya merasa lucu. Rio juga ikut terkekeh kemudian berpamitan pada Stella untuk melanjutkan tugasnya. Sepeninggalan Rio, Stella akhirnya berhasil membuat satu cangkir kopi sachet dengan merek lainnya.
"Rasanya tidak jauh berbeda," gumam Stella sesaat setelah mencoba kopinya, matanya berbinar karena sudah menemukan sajen di pagi hari. Ya, kopi merupakan sajen terampuh bagi Stella untuk semangat menjalani sembilan jam ke depan.
Stella kemudian berjalan menuju ruangannya di lantai 13 menggunakan lift. Kedua tangannya sibuk dengan tas yang dia jinjing dan cangkir kopi yang gagangnya dia pegang. Pemandangan seperti itu sudah biasa disaksikan oleh hampir semua karyawan di perusahaan.
Stella dikenal karena tingkah konyol dan lucunya. Tapi, itulah yang menjadi daya tarik tersendiri dari seorang Crystella, seorang anak yang dibesarkan di panti asuhan dan seumur hidupnya belum pernah berjumpa dengan ayah maupun ibunya.
Saat hampir mencapai ruangannya, Ana datang dan mengagetkan dirinya. "Dor! Habis mengambil sajen pasti nih?" Ana menggoda seperti biasanya. Ya, kopi memang sudah menjadi tabiat Stella di pagi hari.
Stella memekik tertahan karena kopi nikmatnya hampir saja tumpah. "Ck, untung kopiku tidak tumpah. Kalau tumpah, kamu yang akan aku suruh untuk membuatkannya lagi." Stella berdecak kesal kemudian segera duduk di kubikelnya setelah sebelumnya menaruh cangkir berisi kopi di atas mejanya.
Sedang yang bersangkutan justru hanya menyengir kuda tanpa dosa. "Maaf kalau begitu. Eh! Kamu sudah cek grup kantor belum? Nama kamu jadi trending topik hari ini!" pekik Ana histeris.
Stella menghela napas pelan kemudian membuat gerakan menyesap kopi. "Itu sudah biasa, Na. Bukan hanya satu kali namaku jadi trending topik. Aku juga tidak menyangka bahwa hidupku lebih terkenal dari artis papan atas," jawabanya santai kemudian menaruh cangkir kopinya lagi di atas meja.
Ana mendengkus pelan. "Aku serius, La. Nama kamu jadi trending topik karena kemarin malam ada yang melihat kamu berkencan dengan pak Shaka. Ada fotonya juga loh. Eh! Memangnya, hubungan kalian sudah sedekat itu?" tanya Ana dengan tatapan menyelidik.
"Apa kamu bilang? Aku jadi trending topik karena ada yang melihatku sedang berkencan dengan pak Shaka!" pekik Stella setelah seperkian detik baru paham. Ana segera menoyor kening Stella yang pagi-pagi otaknya masih loading.
"Bagaimana sih, Kamu? Sudahlah, capek bicara sama kamu kalau kopinya belum habis," gerutu Ana kemudian berlalu menuju kubikelnya. Stella hanya bisa memandang heran pada Ana yang berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki.
Stella mengerjap bingung sambil memegangi gagang cangkir di depannya. "Kopi, maafkan Ana yang sudah menyalahkanmu," gumam Stella yang masih bisa terdengar oleh Ana.
Ana mendengkus pelan. "Aku mendengarnya, Stella," geram Ana tidak habis pikir dengan teman KSOnya (Kurang Satu Ons).
"Stella? Kemarin kamu pergi malam mingguan dengan pak Shaka, benar atau tidak sih?" tanya Ratu, teman satu divisi Stella yang dikenal suka berpakaian kurang bahan. Stella mendongak, tidak langsung menjawab karena saat ini sedang menghabiskan kopinya.
Setelah selesai, baru Stella bersuara. "Memangnya ada apa? Masalah untuk Mbak Ratu?" jawab Stella yang justru balik bertanya. Ratu tampak mendengkus pelan lalu tangannya dia sedekapkan di dada.
"Aku hanya bertanya! Jika kamu tidak ingin menjawabnya, ya sudah!" kesalnya kemudian berlalu meninggalkan Stella begitu saja. Kernyitan di dahi Stella semakin dalam ketika hampir semua orang menatap dirinya tak suka.
Tetapi, Stella memilih untuk mengabaikan orang-orang yang tidak suka padanya. Lebih baik, Stella menggunakan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang lebih penting.
Sore harinya, Stella memutuskan untuk mengunjungi panti asuhan tempat dirinya dibesarkan. Dia tidak sendiri melainkan bersama Ana. "Kamu mau ikut masuk atau menunggu di luar seperti biasa, Na?" tanya Stella yang entah mengapa sikapnya berubah normal, tidak seperti hari-hari biasa yang konyol.
"Kali ini aku ingin ikut masuk, La. Aku juga mau kasih sesuatu untuk adik-adik kamu yang ada di dalam," jawab Ana lembut dengan pandangan menatap gedung berlantai tiga yang bertuliskan 'Panti Asuhan Kasih Bunda'.
Stella tersenyum lembut dan menggenggam tangan Ana agar segera mengikutinya masuk. Di halaman panti, Stella langsung disambut oleh adik-adik yang bernasib sama dengannya, yaitu tidak pernah berjumpa dengan ayah dan ibu.
Mereka tersenyum menyapa Stella juga Ana yang sedang melewati mereka. Sesampainya di dalam, bu Dian terlihat sudah menunggu. "Stella? Akhirnya kamu berkunjung lagi. Bunda begitu rindu denganmu," ucap wanita paruh baya tersebut, menyambut kedatangan Stella.
Stella langsung berhambur ke pelukan Bunda (sebutan untuk pemilik panti). Ana hanya bisa menyaksikan pemandangan di depannya dengan mata berkaca-kaca. Setelah cukup lama, Stella melepas pelukan dan beralih pada Ana untuk memperkenalkannya pada bu Dian.
"Bunda? Perkenalkan, dia Ana, teman Stella," ucap Stella tersenyum hangat.
"Hai Ana, senang bisa berjumpa denganmu," jawab bu Dian ramah.
Ana mengangguk dan mengulurkan tangan untuk berkenalan. Setelah berbincang sebentar, Stella mengajak Ana ke ruangan yang dikhususkan untuk anak bayi yang usianya baru beberapa bulan.
Stella selalu tidak kuasa menahan air mata ketika melihat banyaknya bayi yang tak berdosa dibuang karena tidak diharapkan kehadirannya. "Aku cengeng kalau sedang menengok mereka," ucap Stella menangis sambil tertawa.
Ana ikut terisak kemudian memeluk Stella dari samping. Stella mengatakan dia tidak sanggup masuk ke ruangan tersebut dan hanya bisa melihat bayi-bayi lucu itu dari jendela. "Aku tidak pernah menyangka bahwa banyak sekali para orangtua yang egois dan meninggalkan anak-anak mereka di panti," imbuh Ana yang saat ini sesenggukan.
"Aku tahu bagaimana rasanya, Na. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk menyisihkan uang gajiku. Walau aku tahu, uang tidak bisa membuat mereka bahagia, setidaknya mereka bisa makan dan minum dengan layak." Stella sudah menghapus air matanya kemudian, menatap Ana sendu.
"Kita masuk ya, Na? Kita bermain bersama mereka sebentar saja," pinta Stella yang langsung mendapat anggukan cepat dari Ana. "Mengapa tidak sejak tadi sih? Aku juga ingin sekali menggendong bayi lucu itu, La," kekeh Ana kemudian segera menggandeng tangan Stella.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa kasih dukungannya ya😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Deche
lanjut lagi thpr
2022-12-31
0
Iis Andriawan
sedih bgt baca nya🥺
2022-12-14
1