Juliana mengibaskan tangan di depan wajah untuk membuang asap-asap dan aroma rokok yang menyambutnya begitu ia melangkahkan kakinya ke dalam bar. Suara musik jedag-jedug yang dimainkan Dj sama sekali bukan tipe musik yang akan membuatnya merasakan kebahagiaan dan ketenangan jiwa, cahaya di dalam pun bukan cahaya yang direkomendasikan untuk membaca buku apa pun. Penampilannya pun selalu menjadi pusat perhatian di tempat-tempat tak terduga.
Juliana mendekati sebuah meja kecil yang terdapat tanda tulisan papan kecil di atas meja itu dengan bertuliskan: Information Spot.
"Permisi," Juliana berkata pasa seorang wanita berkaus hitam ketat dan celana jins yang juga super ketat.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" Sahut wanita itu dengan ramah. Maski riasan wajahnya sangat bold yang membuat Juliana sempat berpikir untuk tidak bertanya apa-apa dan nekat mencari sendiri keberadaan rekan-rekannya. meski ia lebih tergoda untuk melangkahkan kembali kakinya keluar dari tempat itu.
"Rekan saya sudah mereservasi tempat disini. Bisa saya tahu dimana mereka?"
"Baik, Kak, reservasi atas nama siapa?"
"Harsa." Jujur saja, Juliana juga tidak mengerti kenapa Mona harus mereservasi tempat ini atas nama si kutu busuk itu. Ah, semoga saja hanya ada satu nama Harsa di dunia ini jadi, ia tidak perlu menyebutkan kepanjangan nama atas reservasi tempat makan mereka malam ini.
"Baik Kak, tunggu biar saya cek dulu ya Kak." Wanita itu mengecek dengan perangkat tablet di tangannya, kemudian ia kembali bertanya pada Juliana. "Maaf, Kak, disini ada tiga reservasi atas nama Harsa. Apa ada nama belakangnya, Kak?"
Dewi fortuna belum berpihak pada Juliana sepertinya. "Harsa Rupawan." Juliana berjanji pada dirinya sendiri akan mengerik lidahnya dengan batang sikat gigi nanti. Bisa-bisanya Mona membuat nama itu sebagai nama reservasi tempat tim mereka.
Wanita berkaus ketat itu terlihat senyum, lalu kembali ke tabletnya. "Reservasi atas nama Harsa Rupawan ada di lantai dua, Kak. Biar orang kami akan mengantar Kakak kesana jika Kakak tidak keberatan."
"Oh, ya, terima kasih. Itu akan sangat membantu."
Juliana pun diantar dengan pegawai wanita lainnya yang juga berkaus hitam dan jins ketat. Mereka sampai di depan sebuah ruangan.
"Boleh saya tahu, ini ruangan apa?" tanya Juliana ragu-ragu.
"Karoke, Kak."
"Karoke?" Juliana menaikkan kedua alis matanya. "Bukankan reservasi dipesan untuk meja makan malam?"
"Maaf, Kak, saya kurang tahu."
Juliana pun mengangguk mengerti, dan wanita itu pun meninggalkan Juliana. Ia sungguh menyesal tidak memilih restoran Sunda saja tadi, tapi malah terlalu terprovokasi oleh si rubah Harsa.
Juliana akhirnya mendorong pintu terbuka, kedatangannya seketika disambut oleh penampilan rekan-rekannya termasuk si rubah Harsa yang sedang bernyanyi dan berjoget random dan absurd di depan layar besar yang menampilkan vidio clip dari sebuah lagu berirama pop rock. Hanya Mona yang duduk. Wanita yang satu itu hampir sebelas dua belas dengan Juliana, hanya saja Mona lebih misterius.
Juliana meski selalu berpenampilan kuno, namun ia tidak keberatan dengan motif bunga, dengan warna pastel atau dengan warna ngejreng. Tapi Mona, dia jauh lebih pendiam dan selalu tampil dengan pakaian yang serba hitam, jika pun ada warna lain, itu hanya warna putih atau abu-abu yang tidak mendominasi penampilannya.
Juliana duduk tak jauh dari sebelah Mona yang sedang makan keripik kentang.
"Apakah sudah memesan menu makan malam?"
"Sudah. Kami pesankan kau katsu rice curry, jika kau keberatan, kau bisa menggantinya."
"No, it's fine. I like it."
Mona hanya mengangguk dan kembali mengunyah keripiknya.
"Bagaimana kau bisa tahu aku menyukai curry?" tanya Juliana, bukan karena tersanjung ada orang yang memperhatikannya selain Dimas.
"Bukan aku."
"Lalu? Rina? Novi?"
Mona menganggukkan dagunya ke arah pria dengan kumis dan bewok yang kini sedang menaikkan salah satu kakinya di atas kursi, menghentakkan kepalanya dengan tangannya yang bergerak seolah ia adalah gitaris band dunia.
"Musuhmu yang memesankannya." jawab Mona tanpa ekspresi.
"Apa?" Juliana menaikkan kedua alisnya tak percaya.
"Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu bermusuhan, padahal kalian sangat cocok."
"Cocok *my a***!" Gerutu Juliana melihat jengkel pada Harsa yang terlihat menyebalkan dan konyol di depan sana.
Pesanan mereka datang diantar pelayan bar. Semua kerandoman yang terjadi di depan berhenti dan mereka makan pesanan yang mereka pesan, kecuali Juliana. Meski tampilan makanan yang dipesankan Harsa sangat menggiurkan dengan aroma yang menggoda liur untuk menetes, tapi karena tingkat kegengsian yang menjulang tinggi, Juliana memilih untuk kelaparan dari pada makan apa yang dipesankan Harsa.
Ia tidak bisa memesan menu lainnya, karena dari semua menu itu, tidak ada satu menu yang dia suka. Hanya katsu rice curry itu satu-satunya makanan yang cocok dengan perutnya. Sialnya, makanan itu dipesankan oleh musuh bebuyutannya. Juliana curiga, Harsa sengaja memesan menu itu untuk membuat Juliana kelaparan, karena pria itu tahu Juliana tidak akan menyentuh apa pun yang berhubungan dengan Harsa.
Sementara pria itu makan dengan lahapnya, atau sengaja membuatnya terlihat makan begitu lahap untuk membuat Juliana menderita. Tapi Juliana tidak akan kalah begitu saja, ia pun memanggil pelayan melalui panggilan telepon yang ada diruangan itu, dan memesan katsu rice curry lagi. Harsa hanya terkekeh dengan tingkah Juliana.
"Apakah prilaku seorang wanita terhormat termasuk dengan menyiakan makanan hingga jadi mubazir seperti ini?" tanya Harsa melihat dengan tatapan prihatin pada curry yang terabaikan, sementara Juliana baru saja menyelesaikan makanannya lebih lama dari yang lainnya.
Juliana mengangkat dagu. Semua orang di ruangan itu sudah tahu, pada saat Juliana sudah mengangkat dagu untuk merespon Harsa, itu tandanya peperangan akan segera dimulai.
"Aku tidak memerlukan penilaian dari seorang pria yang tak bermoral sepertimu." sahut Juliana.
Harsa terkekeh. Tidak tersinggung sama sekali. Tidak, ia bahkan tidak pernah tersinggung dengan semua ucapan Juliana.
"Setidaknya pria tak bermoral sepertiku ini tidak pernah menyia-nyiakan makanan hanya karena gengsi. Apa kau tahu, berapa banyak orang yang kelaparan di jalanan ? Ah, kurasa kau tidak tahu, karena kau hidup dimana saudara-saudara? Yes! A cave!"
Urat pada leher Juliana berdenyut menahan emosi, tapi ia menahannya karena detik berikutnya seorang pelayan masuk dan bertanya Juliana apakah curry yang belum di sentuh di atas meja itu sudah bisa dibungkus. Juliana mempersilakan pelayan itu membawa curry tadi.
"Mau diberikan kesiapa makanannya?" tanya Pandu.
"Aku melihat seorang pengemis tadi di perempatan dekat sini."
Pandu mengangguk.
"Sebaiknya kau tidak menghakimi orang jika kau tidak tahu apa-apa tentang orang itu." Nasihat Juliana pada Harsa.
"Nasihat itu untukku atau untukmu, Jul?" Sahut Harsa.
"Juliana! Namaku Juliana! Dan nasihat itu tentu saja untukmu. Karena aku sangat tahu bagaimana bobroknya dirimu."
"Yeah, tapi orang bobrok ini tahu makanan kesukaanmu dari semua menu yang ada." Harsa menyeringai penuh kemenangan.
Juliana tentu saja tidak membiarkan seringai kemenangan itu menghiasi wajah Harsa, ia tentu membalasnya. Dan Harsa membalasnya hingga membuat Juliana semakin kesal. Herannya, semakin kesal Juliana, semakin bersemangat Harsa menggoda wanita itu, dan Juliana benar-benar selalu kehilangan kendali jika sudah berperang dengan Harsa.
***
Juliana mengerjapkan mata, kepalanya terasa begitu sangat sakit, seperti puluhan jarum menusuk-nusuk kepalanya, ah rasanya ia tak akan sanggup untuk bekerja hari ini dengan kepalanya yang tiba-tiba sakit. Ia kembali meringkuk memeluk gulingnya yang terasanya begitu nyaman sekali, hangat dan... berbeda. Juliana melebarkan kelopak matanya untuk lebih terbuka dan menyadari dirinya bukan berada di dalam kamarnya, bukan berada di atas kasurnya bahkan gulingnya bukan guling sungguhan.
"AAAAAAKKKKKKK!" Teriak Juliana dengan sangat histeris hingga melupakan sakit menusuk pada kepalanya.
"Hah!" Pria yang sebelumnya dianggap guling paling nyaman itu pun terbangun dengan langsung terduduk tepat di samping Juliana. Rambut pendeknya berantakan, kedua mata milik pria itu pun sama terkejutnya melihat Juliana di depannya, di atas kasur yang sama dengannya, di dalam selimut yang sama.
"AAAAAAKKKKK!" Pria itu pun sama histerisnya seperti Juliana.
Dua manusia itu pun sama-sama turun dari atas tampat tidur dengan panik dan sempoyongan karena kepala mereka sama-sama sakit.
"Apa yang kau lakukan?!" Tuduh Juliana.
"Apa yang kau lakukan?!" Tuduh Harsa.
.
.
.
TBC~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments