Sisi Lain Tuan Putri

Juliana melihat dengan sinis bercampur dengan ekspresi jijik saat melihat bagaimana Harsa yang duduk di atas motor sportnya sedang berbicara dengan penuh - yang Juliana yakin adalah - rayuan pada seorang karyawan dari gedung yang sama dengan mereka. Entah wanita bodoh itu berasal dari perusahaan apa atau divisi apa, yang jelas dia telah masuk dalam jebakan dari si buaya darat. Entah bagaimana wanita-wanita itu tetap mengidolakan bahkan mendambakan Harsa. Memang, Juliana pun tak munafik, ia mengakui Harsa dikaruniai wajah yang tampan apa lagi dengan kumis dan bewok yang membingkai rahang tegasnya sehingga terlihat lebih maskulin, tubuhnya yang tegap dan tinggi dan didukung dengan kemampuan gayanya berpakaiannya yang tidak neko-neko, membuat Harsa sebenarnya layak menjadi idola, tapi sayang, dia adalah lelaki hidung belang, bentuk nyata dari semua kebejatan yang ada didunia ini yang menjadi salah satu faktor pencemar kemurnian ekosistem dunia.

Itulah yang tidak Juliana mengerti, mengapa wanita-wanita itu menginginkan pria dengan moral berlipat-lipat minus itu menjadi kekasih apa lagi sampai mau diajak tidur bersama! Apakah mereka akan merelakan kehormatan mereka begitu saja pada pria yang jelas hanya menginginkan kepuasan semata. Jauh dari predikat pria bermatrabat. Harsa itu rusak dan perusak! Itu lah sosok Harsa di mata wanita terhormat seperti Juliana Dewani.

Sore itu sebuah mini van putih berhenti di depan lobi, dari plat nomor yang terlihat, Juliana tahu mobil itu datang untuk menjemputnya.

"Mbak Juliana?" tanya seorang pria yang kelihatan berusia senior, bertanya pada Juliana.

"Iya Pak." Jawab Juliana, kemudian membuka pintu kursi penumpang di bagian tengah mobil.

"Alamat sudah sesuai titik ya, Mbak?"

"Iya Pak."

"Hati-hati Pak, jangan terlalu banyak diajak ngobrol, nanti Bapak bisa-bisa dicakar." Goda Harsa saat motornya melewati mobil yang ditumpangi Juliana untuk pulang, dan sempat-sempatnya Harsa bertingkah menyebalkan dengan meledek Juliana sambil membonceng wanita bodoh tadi pada jok belakang motornya.

"Jalan, Pak, tidak perlu dengarkan omongan orang tidak waras." Terdengar kekehan dari Harsa sebelum mobil yang ditumpangi Juliana pergi meninggalkan area perkantoran.

Di dalam mobil selama perjalanan, Juliana tentu saja tidak bicara apa-apa, selama supir mengendarai mobil dengan aman dan sesuai dengan peta yang ada. Dia selalu menggunakan waktu perjalanan pulang sebagai waktu untuknya merenungi nasib. Bukan meratapi. Dia tidak pernah menyesal menjadi lajang hingga diusia hampir kepala tiga, dia tidak pernah menyesal menjadi seorang kakak yang merangkap menjadi orang tua untuk Dimas, adik laki-laki satu-satunya. Dia tidak pernah mengeluh tentang hidup yang harus dia jalani dengan gunjingan kanan kiri. Hanya saja, terkadang ia merasa begitu lelah.

Juliana sampai di rumah setelah satu jam perjalanan. Sebentar ia menyapa para tetangga, ibu-ibu rumah tangga yang melakukan rutinitas sore harian mereka dengan mengobrol sembari menemani anak-anak mereka bermain bersama. Sebuah kegiatan untuk meningkatkan keakraban bertetangga, yang mana Juliana tidak pernah bisa ikut serta. Bukan karena tidak ingin, ia hanya tidak memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik. Menyapa dengan cukup ramah dan sekadarnya sudah menjadi pencapaian yang bagus untuk seorang Juliana.

Rumah yang ditempati Juliana bersama Dimas adalah rumah sewa. Namun pemilik rumah sangat baik, mereka memberikan harga yang cukup terjangkau untuk satu rumah yang layak. Juliana dan Dimas sudah tinggal di tempat itu selama lima tahun, sejak Juliana mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup baik. Ia membawa adiknya keluar dari rumah tantenya yang selama mereka tinggal bersama selalu dijadikan pesuruh.

"Lho, kau sudah pulang?" tanya Juliana begitu melihat Dimas di dapur. Pemuda itu tengah memasak makan malam untuk mereka.

"Iya, dosen jam terakhir tidak masuk, hanya kasih tugas on line saja. Jadi kupikir baiknya aku pulang saja. Aku sudah masak, dan membersihkan rumah juga."

Juliana tersenyum, ia mendekati adiknya seraya mengacak puncak kepala Dimas dengan sayang.

"Baik banget sih adikku ini."

"Apaan sih." Dimas menepis tangan Juliana, ia selalu merasa risi setiap kali Juliana memperlakukannya seperti anak kecil. Meski sebenarnya dia senang dimanja oleh Juliana, hanya saja, Dimas sudah cukup dewasa untuk melihat bagaimana Juliana telah berjuang selama ini untuk dirinya, sudah sepantasnya ia membayar semua usaha Juliana dengan menjadi adik lelaki yang berguna, sukses dan dapat melindungi kakaknya.

"Mandi sana, Kaka, lalu kita makan."

"Yes Chef!"

💜💜💜

Hanya jika di dalam rumah ia bisa menggerai bebas rambut panjangnya yang hitam dan bergelombang, membiarkan setiap helai rambut tebalnya itu bernapas setelah seharian dia ikat super ketat. Ia melihat pantulan dirinya pada cermin setelah selesai membersihkan diri dan mengeringkan rambut dengan hair dryer. Jemarinya yang lentik menyentuh dahi, pelipis, sudut terluar mata, pipi, tulang rahang hingga kulit lehernya.

Perawan Tua. Dua kata itu acapkali terdengar oleh Juliana dalam gunjingan orang-orang pada dirinya yang berstatus lanjang dan terlalu bergaya kuno. Mereka mengatakan itu karena melihat potensi untuk menjadi perawan tua ada pada Juliana. Ia tidak pernah sudi didekati laki-laki, jadi tidak akan ada laki-laki pula yang mau mendekati wanita sekaku Juliana.

Meski begitu, Juliana juga wanita normal, ia juga mempunyai keinginan untuk menjalin kasih dan menikah dengan pria terhormat dan mampu menghormatinya sebagai wanita dan mencintainya sepenuh hati. Dan dia pun juga mempunyai hati dan perasaan pada seorang lelaki, seorang yang dimatanya adalah bentuk nyata dari seorang pria bermatrabat, bermoral baik dan dapat menghormati dan melindungi seorang wanita, pria itu bernama Ditto.

Namun Ditto terlalu jauh dari jangkauannya, bahkan untuk mendekatinya saja Juliana tidak mampu. Ia hanya bisa menjadi pungguk yang merindukan bulan, mengagumi dari kejauhan.

Ia menghela napas.

Makan malam bersama yang selalu mereka - Dimas dan Julinana - lakukan setiap kali mereka pulang tepat waktu selalu menjadi moment yang hangat dan menenangkan. Juliana selalu memperhatikan Dimas, bertanya pada adiknya apa yang sudah dia lakukan, apakah ada masalah, apakah ada yang kurang, soal kuliah, soal pertemanan, bahkan Juliana tidak melarang jika Dimas mempunyai pacar. Ia tidak ingin adiknya seperti dirinya, melajang hingga usianya cukup matang. Ia ingin adiknya merasakan banyak pengalaman, merasakan banyak rasa yang disediakan oleh hidup, melihat dunia bahwa banyak hal yang dapat dia lihat dan rasakan. Juliana tidak ingin Dimas hidup di dalam gua seperti dirinya.

"Kenapa sih, Kakak selalu menyuruhku untuk punya pacar? Kakak sendiri tidak pacaran."

"Lain cerita kalau Kakak. Lagian, kenapa sih kau tidak mau punya pacar?"

Dimas menggeleng. "Pacaran itu ribet, Kak."

"Tahu dari mana? Pacaran saja belum pernah."

"Melihat teman-temanku. Mereka yang punya pacar sering galau, bertengkar lah, pacarnya cemburu lah, pacarnya posesif lah, pacarnya agresif lah, pacarnya pasif lah. Tidak jelas. Belum lagi bagi para lelaki saat punya pacar, itu artinya mereka akan menjadi ojek yang harus siap mengantar dan menjemput." Dimas memutar bola matanya.

Juliana terkekeh.

"Kakak sendiri kenapa memilih untuk melajang? Padahal kalau Kakak mau menunjukkan penampilan Kakak yang lebih santai seperti ini, akan banyak laki-laki yang antre untuk jadi kakak iparku. Kakak juga akan punya ojek pribadi, dimana pun Kakak berada, Kakak tinggal bilang, "Jempuuut."" Dimas memeragakan suara perempuan yang manja minta dijemput.

Juliana kembali tertawa.

"Mungkin karena aku terlalu takut." jawab Juliana setelah tawanya reda. "Aku terlalu takut bertemu dengan orang yang salah. Aku takut jatuh cinta pada orang yang salah. Aku pengecut, ya? Padahal aku menyuruhmu untuk mempunyai pacar agar kau mempunyai pengalaman dari banyak rasa yang ada tentang perasaan dan hati."

"Kakak takut bertemu dan jatuh cinta pada lelaki seperti ayah? Dan berakhir seperti ibu?"

Juliana tersenyum kecut membenarkan penilaian Dimas.

Ya, dia terlalu takut. Terlalu pengecut. Terlalu lemah.

.

.

.

TBC~

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!