Bab 4

...🍃 READING BOOK 🍃...

Berlin terus berlari, ia tak mempedulikan tatapan semua orang yang menatapnya aneh. Namun tanpa sengaja ia menyenggol bahu salah satu temannya Jesica yaitu Fanya.

"Eh kamu kurang ajar banget ya, punya mata itu dipakek gak asal jalan aja!" Bentak Fanya yang sudah merasa kesal.

"Ma maaf!" Ucap Berlin dengan menunduk.

"Maaf kamu bilang, ini maaf untuk kamu..." Kesal Fanya dan langsung melempar air mineral ke wajah Berlin.

Berlin sedikit terkejut, ia tanpa sadar menatap Fanya dengan tatapan marah, namun ia kembali menunduk lagi takut terkena masalah.

"Ada apa ini Fan?" Tanya temannya yang dari tadi sibuk ngobrol dan menyadari bahwa teman nya yang satu lagi sedang bertengkar.

"Si culun ini cari masalah sama aku!" Kesalnya.

"Sudahlah kita masih ada urusan, nih orang lain kali aja diurusin!" Ucapnya yang memberi saran.

"Serah!" Pasrah Fanya yang masih merasa kesal.

Berlin hanya terus menunduk sampai mereka pergi dari hadapannya.

Ia sempat lupa dengan tujuan pertamanya, namun beberapa saat ia pun sadar dan langsung kembali berlari lagi.

Sesampainya ia di depan kelas, ia melihat bahwa guru sudah masuk dan bahkan sudah menerangkan pelajaran.

"Haduhh...gimana nih, udah telat lagi!!" Keluhnya.

Berlin terus berjalan maju mundur di tempat, ia takut kena hukum karena terlambat.

Namun beberapa saat pintu kelasnya terbuka, guru yang mengajar menatapnya dengan tatapan datar.

"Sekarang kamu dilarang masuk kedalam pelajaran saya hari ini!" Sarkas sang guru yang memang terkenal dengan killer nya.

Berlin hanya terus menunduk dan diam, ia berusaha menahan air matanya yang sebentar lagi akan terjatuh.

Meski ia sudah biasa mendapatkan bentakan dan perilaku yang tak baik dari orang sekitar, tapi ini berbeda.

Berlin berdiri dengan menyandar ditembok, ia menutup wajahnya dengan tangan berusaha untuk menutupi tangisnya meski masih terlihat.

Ceklek

Pintu kelas kembali terbuka, kini Celsi keluar menghampiri Berlin yang terus menutup wajahnya.

"Dasar cengeng!" Ledek Celsi dengan menyenggol kepala Berlin.

Berlin pun melihat siapa yang melakukan hal itu, ia pun tampak kesal karena dibilang cengeng oleh sahabatnya sendiri.

"Apa mau marah! Kamu itu udah besar Berlin, bukan anak kecil lagi!!" Kesal Celsi yang sudah tak habis pikir dengan perilaku Berlin.

Di umur segini masih saja menangis seperti seorang anak kecil.

"Iya aku tau kok! Tapi tu guru marah sama aku..." Jawab Berlin yang juga ikutan kesal.

"Siapa suruh telat, jelas tu guru killer benci sama orang telat." Ucap Celsi.

"Kan aku telat gara-gara kakak kelas!" Ngeluh Berlin dengan bibir yang maju beberapa centi.

"Emangnya di apain sama kakak jelas?" Tanya Celsi yang sudah mulai kepo dengan ucapan Berlin.

"Eh kamu kok keluar, ntar kenak marah loh!" Ucap Berlin yang mengalihkan pembicaraan.

"aku buat masalah tadi di dalam, yaudah deh diusir sama tu guru!" Jawab Acuhnya. "Eh cepat ceritakan, jangan ngalih pembicaraan deh!" Kesal Celsi.

"Itu aku malah di suruh bawain tas tu kakak kelas, terus pas jalan balik! malah teman Jesica yang ngalangin aku!" Ucap Berlin dengan wajah yang kusut.

"Siapa suruh kamu mau ngelakuin itu, kan kamu ada hak untuk nolak!" Ujar Celsi dengan santainya tanpa tau apa yang terjadi sebenarnya.

"Ak aku..."

"Udahlah, kamu itu gak usah cari alasan sama aku! kamu harus lebih tegas Berlin, ingat ada yang lebih kaya dari mereka!" Ucap Celsi yang memberi semangat untuk Berlin.

Celsi ingin membuat sahabatnya itu percaya diri, gak selalu diam di-bully dan diam-diam menangis sendiri saat tak ada dirinya.

"Tapi aku masih dibawah mereka cel, kalo aku ngelawan mereka pasti akan lebih berbuat jahat sama aku!" Bantah Berlin yang meminta pengertian dari Celsi.

"Sudahlah, susah kakamu ngomong sama kamu!" Pasrah Celsi yang sudah tak ingin berdebat dengan sahabatnya itu.

Selang beberapa saat mereka menunggu diluar sambil ngobrol, guru pun akhirnya keluar dengan wajah yang tetap ketus.

"Akhirnya tu guru keluar, lama amat dah tu orang ngajar!" Ucap Celsi saat melihat guru killer keluar.

"Uttsss.... gak boleh ngomong kayak gitu, ntar kedengaran!" Ucap Berlin menegur Celsi.

"Serah lu dah ber! aku males debat sama kamu, soalnya aku lagi pms!" Ucapnya dengan malas yang langsung masuk kelas nya.

Berlin pun mengikuti langkah sahabatnya, ia ikut duduk dikelas.

Celsi duduk di bangkunya, ia meletakkan kepalanya dimeja dan menutup matanya.

"Cel! Cel! kamu marah sama aku?" Lirih Berlin.

Namun Celsi tetap diam, ia sengaja mendiami sahabatnya itu agar tau dimana letak salahnya.

"Celsi! ih, masak kayak gitu sih..." Kesal Berlin yang terus menggoyangkan tubuh Celsi.

"Apaan sih ber! Males aku sama lu!" Kesal Celsi yang langsung menegakkan kepalanya.

"Mangkanya dari tadi di panggil itu dijawab, masa didiemin!" Kesal Berlin.

"Serah deh, aku ngantuk and mager!" Ujar Celsi yang kembali ke posisi awalnya.

Berlin hanya mendengus kesal, kali ini ia dicuekin oleh sahabatnya karena masalah nya, dasar aneh!

Berlin yang tak ada kerjaan hanya bisa menyiapkan buku dan pulpen.

Sebenarnya ia ingin meminjam buku pelajaran tadi, tapi karena ia yang tak akrab dan pendiam, mungkin saja mereka tak akan meminjamkannya.

Celsi yang seakan tau apa yang dipikirkan oleh Berlin, ia langsung bangkit dari tidurnya dan meminjam buku pelajaran tadi.

Celsi langsung melempar kearah Berlin dan kembali lagi ke posisinya yang semula.

"Thanks besti...." Teriak bahagia Berlin.

Ia tau bahwa sahabatnya itu, meski marah sekali pun, ia akan selalu perhatian dan mengerti akan dirinya.

Berlin langsung menyalin catatan pelajaran tadi, ia tidak akan menyia-nyiakan waktunya yang luang saat ini.

Guru belum kunjung datang, mungkin karena jam kosong atau memang guru itu yang telat masuk, namun menurut Berlin itu adalah keberuntungannya untuk mengerjakan tugas.

Tak berselang lama, Berlin yang sudah menyelesaikan semuanya dan guru pelajaran selanjutnya pun datang.

"Cel! Cel! Guru dah dateng cel!" Panggil Berlin agar Celsi bangun dari tidurnya.

Celsi pun bangun, ia menatap ke arah ke depan dan ternyata benar guru sudah datang.

"Cel aku mintak tolong dong, balikin lagi ya!" Ucap memelas Berlin.

"Balikin sendiri!" Ucap Celsi yang acuh.

Berlin hanya manyun mendengar penuturan sahabat nya itu, apa karena pms sahabatnya itu begitu galak! Sangatlah menakutkan.

Sebenarnya bukan karena marah atau cuek, Celsi hanya ingin agar Berlin untuk berinteraksi dan bukan hanya terus diam mengandalkan dirinya.

Berlin tetap diam, ia akan berencana memberikannya pada saat jam istirahat saja.

Pelajaran pun dimulai dan Berlin siap bertempur dengan pelajaran saat ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!