Hari ini Qiara tidak melihat kehadiran Dean di kampus. Setelah mencari Dean hampir di semua tempat yang sering Dean datangi, Qiara pun nekad ke ruang UKM Fotografi untuk mencarinya. Tapi di sana, lagi-lagi ia tidak mendapati sosok Dean. Selain rumah, di tempat itulah Dean banyak menghabiskan waktu.
Sejak semalam Dean bahkan tidak menghubunginya. Qiara mencoba mengiriminya pesan teks, namun tidak ada balasan. Dan ketika Qiara mencoba untuk menelepon, nomor ponsel Dean justru tidak aktif. Qiara sudah kehabisan akal. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan untuk memeriksa keadaan Dean adalah, Qiara harus menemuinya di rumah.
"Ngapain nongkrong di ruang Fotografi?"
Danny tiba-tiba muncul dari belakang Qiara, dan membuat gadis bermata cokelat itu sedikit terperanjat. Qiara berbalik, lalu memukul pelan dada Danny sebagai ganjaran karena telah mengagetkannya. Pukulan kecil yang Qiara berikan padanya, malah dibalas oleh tawa Dean yang entah kenapa terdengar kosong. Tidak lama kemudian, tawa Danny perlahan reda. Ia lalu melihat ruangan di depannya, dan perlahan mengingat pertengkarannya dengan Dean semalam.
Kemudian Danny mengalihkan pandangannya pada Qiara yang tampak risau sembari terus mengecek ponselnya. Danny mencoba menghubungkannya hingga akhirnya mendapatkan jawaban kenapa Qiara bisa ada di tempat itu.
"Kak Dean nggak kuliah hari ini," kata Danny datar.
"Kenapa?" Tanya Qiara refleks. Sinar matanya semakin memancarkan kecemasan, dan Danny bisa menangkap semuanya dengan sangat baik.
Setelah mendengarkan pertanyaan Qiara, Danny tampak bingung. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya.
"Semalem gue sama Kak Dean—"
"Berantem?" Sela Qiara.
"Bisa tolong jangan potong pembicaraan gue dulu?"
"Ya udah, maaf..."
"Kak Dean sepertinya masih belum bisa memaafkan masa lalu keluarga kami, gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin untuk bisa sedikit saja meringankan luka di hatinya sekarang. Untuk itu... gue bener-bener minta bantuan lo buat selalu ada di sisi Kak Dean, karena.... karena cuma lo yang bisa lakuin itu." Nada bicara Danny pada kalimat terakhirnya terdengar agak berat. Seperti ada beban yang begitu berat di baliknya. Namun Qiara tidak menyadarinya.
Qiara tampak berfikir sesaat sebelum ia menepuk salah satu pundak Danny seakan memberikan kekuatan. Dengan penuh ketulusan Qiara berkata, "kita akan lakukan bersama-sama. Gue dan lo...."
...****...
Danny dan Qiara berdiri berdampingan di depan kamar Dean. Qiara membawa makan siang untuk Dean yang beberapa saat lalu dititipkan oleh Faradina. Setelah cukup lama sama-sama terdiam, Danny akhirnya buka suara.
"Dari semalem Kak Dean nggak keluar kamar. Sekarang coba deh lo temuin dia, ajak ngobrol. Kali aja dia mau."
"Oke, gue coba." Kata Qiara ragu-ragu namun berusaha terdengar berani. Ia melangkah lebih dekat ke arah pintu kamar Dean yang masih tertutup.
Qiara menghela nafas beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya. Setelah merasa bahwa keberaniannya cukup terkumpul, Qiara mengetuk pintu kamar Dean.
"Kak Dean, ini Qia. Tolong buka pintunya!"
Tidak ada jawaban dari Dean, yang terdengar hanya suara derap langkah kaki yang berjalan mendekati pintu. Tidak lama setelah itu, suara pintu terbuka pun terdengar perlahan. Saat itu pula Danny melangkah mundur setelah sebelumnya menepuk pundak Qiara dengan lembut, "gue minta tolong, ya?" bisiknya pelan.
Pintu kamar Dean sedikit terbuka, saat itulah Qiara langsung bernafas lega. Qiara mengusap dadanya lalu melangkah masuk ke dalam kamar Dean yang terlihat sedikit gelap. Di dalam kamar itu, hanya cahaya dari sinar matahari yang menelusup masuk melalui celah jendela yang menjadi sedikit penerangnya.
Qiara meletakkan nampan yang ia bawa di salah satu meja dan mendekati Dean yang berdiri menghadap jendela.
"Hey, Kak Dean!" panggilnya dengan lembut.
Dean masih terdiam dan tidak merespon, tapi Qiara enggan menyerah.
"Kenapa hari ini Kak Dean nggak masuk? Tadi aku nyariin Kakak, lho."
Dean masih tidak merespon dan tetap bertahan dengan kebisuannya.
Qiara kemudian meraih salah satu tangan Dean lalu menggenggamnnya seerat mungkin. Kali ini Dean merespon meski hanya dengan menatap. Dean menatap Qiara dengan pandangan hampa tak bercahaya.
"Kak Dean, aku nggak tahu pasti masalah Kakak itu apa, tapi aku nggak peduli. Apa pun masalah yang sedang Kakak hadapi, aku akan tetap berada di samping Kakak. Aku nggak akan biarin Kakak ngerasa sendirian. Dan Kakak juga harus tahu, kalau Kakak nggak akan pernah sendirian, di sini masih ada aku yang akan selalu nemenin Kakak. Jadi, Kak Dean nggak perlu ngerasa sendiri lagi."
Qiara mengangkat tangannya yang lain, menggerakannya perlahan lalu mendaratkannya di puncak kepala Dean sambil berjinjit. Setelah selesai mengusap kepala Dean, Qiara pun melanjutkan perkataannya, "kalau Kak Dean ngerasa sangat lelah dan butuh bahu buat bersandar, aku siap minjemin bahu aku selama apapun yang Kak Dean butuhkan. Aku siap melakukan apa pun asalkan perasaan Kak Dean bisa jadi lebih baik."
Tanpa Qiara duga, Dean tahu-tahu menarik tangannya lantas menariknya perlahan ke dalam pelukannya, pelukan yang Qiara rasakan begitu dingin. Dean memeluk Qiara erat seakan tidak ingin melepaskannya lagi, seakan-akan jika ia melepaskan pelukan itu, ia akan tumbang karena tidak memiliki pegangan lagi.
Dari pelukan itulah, Qiara dapat merasakan bagaimana rapuhnya pria ini, dan setelah ini Qiara berjanji akan selalu menguatkannya.
Secara perlahan, Qiara membalas pelukan Dean dan mengusap bahunya berkali-kali.
"Aku ada di sini buat Kak Dean. Selalu..."
Danny yang sejak tadi ternyata masih berdiri di depan kamar Dean, perlahan mundur lalu berbalik pergi. Dadanya mendadak terasa sesak.
...****...
November, 2012...
"Qi, kita putus, ya?" Ucap Danny dengan ringan dan seakan tanpa beban apapun.
Qiara yang saat itu sedang mengerjakan PR Fisikanya bersama Danny di halaman belakang rumah Qiara, langsung mengangkat wajahnya dan menatap Danny dengan pandangan heran. Ini benar-benar terlalu mendadak baginya, karena semalam, mereka masih baik-baik saja.
"K—kenapa?"Tanya Qiara sedikit terbata, sambil berusaha keras menteralisir perasaannya yang kacau-balau.
"Maafin gue sebelumnya, tapi nggak tahu kenapa, setelah hampir dua tahun berlalu, gue ngerasa kalau kita lebih cocok sahabatan aja. Maaf..."
"Cuma itu?"
Danny tidak menjawab, juga tidak menunjukkan respon apapun. Ia hanya menunduk dalam-dalam. Ia sungguh tidak memiliki keberanian untuk menatap mata Qiara sekarang.
Hampir dua tahun yang lalu, Danny menyatakan perasaannya pada Qiara untuk yang kedua kalinya secara serius dan meminta Qiara untuk jadi pacarnya. Di awal Qiara sempat ragu dan kalut. Ia takut membayangkan hari-hari seperti ini akan tiba, hari dimana hubungan mereka akhirnya putus, dan persahabatan mereka terancam. Namun saat itu, Danny berjanji bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja tidak peduli apapun yang menimpa mereka.
Dan ya, hari-hari yang Qiara takuti itu benar-benar terjadi. Secara nyata, Danny benar-benar memutuskan hubungan mereka.
"Danny, liat mata gue dan jawab pertanyaan gue dengan jujur! Apa cuma itu alasannya? Setelah hampir dua tahun pacaran, lo bilang kalau kita lebih cocok sahabatan? Apa gue cuma lelucon buat lo?" Sekali lagi Qiara berusaha menegaskan agar bisa menemukan satu kepastian dari mata Danny. "Kita nggak pacaran sebulan dua bulan, Danny! Bulan depan kita bahkan sudah dua tahun ngejalanin ini semua. DUA TAHUN!" Sambungnya kemudian dengan penuh kemarahan dan kekecewaan.
Dalam tiga detik, Danny akhirnya mengangkat wajahnya, lalu menatap tepat pada kedua bola mata Qiara dengan berani.
"Gue... suka sama orang lain." Jawab Danny pada akhirnya yang kontan saja membuat jantung Qiara seakan mencelos.
Qiara mendesah lantas membuang mukanya ke arah lain. Di saat yang bersamaan, Qiara tertawa miris. Mendadak juga, ia merasa sangat menyedihkan.
"Oke. Ayo putus!" Ujar Qiara dengan yakin. Ia lalu membereskan buku-bukunya dari atas meja dan bangkit dari tempat duduknya, dan meninggalkan Danny seorang diri di sana.
Qiara masuk ke dalam rumahnya dan segera pergi ke kamarnya. Setibanya di kamar, Qiara melanjutkan mengerjakan PR Fisikanya yang belum ia kerjakan setengahnya. Qiara berusaha untuk fokus dan berusaha mengontrol diri agar tidak menumpahkan tangisannya saat itu.
Namun, gagal!
Setelah usaha keras yang ia lakukan untuk menghalau tangisnya, pertahannya akhirnya runtuh. Ia hilang kendali, saat satu per satu air matanya jatuh di atas buku tugasnya. Secara perlahan, bersama air matanya yang terus saling berdesakan keluar, isakannya terdengar pelan, lalu... pecah.
Saat semuanya sudah tidak tertahan lagi, Qiara membanting keras bolpoinnya ke lantai. Setelah itu, ia melipat kedua tangannya di atas meja lantas menelungkupkan wajahnya di sana.
Kedua pundaknya bergetar hebat, mengikuti retakan demi retakan dalam hatinya. Ia hanya berharap, bahwa perasahabatannya dengan Danny tidak mengalami keretakkan yang sama seperti hatinya sekarang.
Dan Qiara, menghabiskan sisa malam itu dengan menangis sekuat-kuatnya hingga dadanya sesak.
Ini adalah luka pertama yang Danny hadiahi untuknya.
^^^To Be Continued...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments