Dean terkejut bukan main saat melihat sosok Danny yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu kamarnya dengan senyumannya yang selalu tampak hangat dan bersahabat. Hanya beberapa detik setelahnya, Dean kembali mampu mengendalikan diri, dan melempar tatapan dinginnya pada adiknya itu.
"Sarapan yuk, Kak! Mama sama Papa udah nung—"
"Kalian sarapan aja. Gue harus cepet-cepet ke kampus. Hari ini ada Seminar yang harus gue hadirin." Sela Dean. Ia sama sekali tidak berminat dengan ide Danny itu.
Setelah memasukan laptop ke dalam tasnya, Dean bangkit lalu melewati Danny begitu saja. Danny yang masih enggan untuk menyerah, berusaha mencegat Dean, dan dengan refleks memegang lengannya.
Dean terdiam membeku. Sentuhan Danny di kulitnya mau tidak mau membuat hatinya yang semula dingin, kini menghangat. Hampir dua tahun tinggal di rumah bersama keluarganya, tidak pernah sekalipun ia berusaha memaafkan keadaannya. Ia bahkan seakan tanpa segan menjadikan orang-orang di rumah itu sebagai musuhnya karena luka masa lalunya yang belum sembuh juga.
Kendatipun Dean selalu membentang sekat meski Danny selalu berusaha mendekat, Dean tidak pernah luluh. Hatinya sudah terlanjur membeku. Namun hari ini, sekalipun enggan mengakuinya, Dean merasakan kembali kehangatan itu meski hanya dalam hitungan detik.
Menyadari Dean yang terdiam di tempatnya, Danny buru-buru melepaskan tangan Kakaknya dan meminta maaf. Meski ia tidak mengerti kenapa harus meminta maaf, tapi Danny tahu betul, bahwa menurut Dean, ia sudah melampaui batas yang tidak seharusnya ia lampaui.
"Udah gue bilang, gue nggak mau sarapan. Bisa, kan, lo nggak usah merengek lagi?" Desis Dean dengan cukup tajam, lantas melanjutkan kembali langkahnya yang terhenti.
Saat melewati meja makan, Dean bahkan tidak mendengarkan panggilan Papanya. Ia hanya berjalan tanpa menghiraukan apapun. Dan ketika Danny hendak menyusulnya keluar, Mamanya tiba-tiba menghentikannya.
"Danny, kamu akan terlambat. Cepat habiskan sarapanmu."
"Tapi Ma, Kak Dean—"
"Danny, dengerin Mama! Jangan membantah!" Ucap Faradina dengan sangat tegas.
Danny yang selama hidupnya tidak pernah membantah perkataan Mamanya, akhirnya menurut juga dan segera mengambil tempat di meja makan.
...****...
Dean yang saat itu sedang fokus membaca sebuah buku langsung terkesiap ketika menyadari tempat kosong di sampingnya tiba-tiba diisi oleh seseorang. Dean mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia tekuri sambil membuka earphone yang menggantung di telinganya. Begitu ia menoleh ke samping, senyuman meneduhkan milik Qiara langsung menyambutnya.
"Qia?" Pekik Dean dengan senyuman yang tidak kalah lebar dari Qiara. Kabut di wajahnya seketika memudar.
Qiara lalu menunjukan sebuah tas plastik berisi dua buah sandwich dan dua buah minuman di dalamnya. Beberapa saat yang lalu, Qiara sengaja membelikan sandwich itu untuk Dean.
"Tadaaa! Qia bawa sandwich buat Kakak."
Dean terkekeh pelan. Salah satu tangannya lalu terangkat dan mendarat di kepala gadis itu. Beberapa saat kemudian, Qiara segera mengambil satu sandwich untuk Dean, sementara yang satunya lagi untuk dirinya sendiri. Tidak lupa juga Qiara memberikan satu cup minuman untuk Dean.
"Selamat makan!"
Sekali lagi Dean tertawa. Gadis ajaib ini, selalu tahu bagaimana cara mengembalikan mood Dean yang rusak.
Ya, di antara semua orang yang Dean kenal selama dua tahun ini, hanya Qiara satu-satunya yang mampu merebut dan meluluhkan hatinya hanya dalam waktu yang cukup singkat. Di awal pertemuan mereka dulu, Dean memang bersikap dingin pada Qiara, sama seperti ia bersikap dengan yang lainnya. Dean bahkan seringkali membentak Qiara karena selalu mendekatinya. Namun sama seperti Danny, Qiara tidak pernah menyerah. Ia yakin, sekeras apapun Dean pasti akan luluh juga jika dia terus berusaha. Sama halnya seperti batu karang yang bisa mengikis apabila terus dihempas ombak.
Hari dimana ketika Dean mulai luluh pada Qiara adalah, hari ketika Dean mengenang kematian Ibu kandungnya, dan menangis sepanjang hari di sebuah ruang karoke. Dengan setia, Qiara yang diam-diam mengikutinya, menunggu Dean di depan pintu selama hampir dua jam lamanya.
Saat tangisnya mereda dan Dean keluar dari ruang karoke, ia sedikit tersentak ketika Qiara tiba-tiba saja muncul entah darimana sambil menjulurkan sebatang cokelat untuknya. Dengan polosnya, Qiara yang saat itu masih mengenakan seragam putih abunya berkata, "kata orang, cokelat bisa membuat perasaan seseorang menjadi lebih baik setelah memakannya. Kak Dean coba, ya?"
Dean menatap kedua mata Qiara dengan nanar. Entah kenapa, melihat gadis ini ia seakan melihat sosok Mamanya. Dan pancaran mata Qiara yang selalu terlihat tulus setiap kali menatapnya, mampu memecah bongkahan es yang menyelimuti hatinya selama ini.
"Gimana? Sandwich-nya enak, kan?" Tanya Qiara pada Dean sambil menunjukkan wajah imutnya.
Dean kemudian melirik ke arah Qiara dan malah terpana dengan gadis itu. Gadis yang sejak awal pertama sudah mencuri hatinya. Gadis yang sejak awal pertama bisa membuatnya merasa nyaman.
Beberapa saat kemudian, Dean menarik diri dari keterpanaannya. Ia kemudian mengangguk seraya tersenyum kecil.
"Terima kasih, Qia." Ujarnya kemudian.
...****...
"Qia!" Panggil Prissy dari kejauhan ketika melihat Qiara yang waktu itu berjalan sendiri hendak keluar dari lobby kampus.
Qiara menghela nafas berat saat mendengar sebuah suara yang begitu familiar memanggil namanya. Ia baru saja merasa seperti tertangkap basah.
Qiara menampakkan raut kesal, ia menggigit bagian bawah bibirnya, berusaha memasang sebuah senyuman yang terlihat manis, lalu menoleh.
Lihat! Apa akting ramahnya sudah cukup sempurna sekarang?
Dengan senyuman yang semakin ia buat-buat, ia menyambut kedatangan sepasang kekasih yang siang itu terlihat sangat bahagia dan serasi sedang berjalan menghampirinya. Prissy balas tersenyum padanya, dengan lengan yang melingkar manis pada lengan Danny yang hanya memasang wajah datar begitu melihat Qiara.
Dalam hati Danny mendesis. Mencibir akting Qiara yang cukup buruk baginya.
"Kok chat gue nggak dibales dari semalem sih, Qi?" Tanya Prissy yang benar-benar merasa penasaran. Sejak semalam, ia berusaha menghubungi Qiara, tapi hingga jauh waktu, Qiara tidak juga menjawab pesannya.
"Ohh lo nge-chat?" Qiara buru-buru memeriksa ponselnya, berlagak seakan benar-benar tidak tahu bahwa Prissy sudah mengiriminya pesan. Padahal sebenarnya, Qiara tahu. Ia hanya malas membalas.
Itu seperti sudah menjadi kebiasaan bagi Qiara; Malas membalas chat ataupun mengangkat telepon.
Danny yang memang sudah hafal kebiasaan Qiara, spontan mendesah tak kentara sembari tersenyum jengah dan memalingkan wajahnya, 'udah jelas-jelas semalam update story,' timpalnya dalam hati.
"Sorry banget ya, Pris. Gue nggak tahu lo nge-chat. Semalem habis balik dari studio gue langsung tidur."
'BOHONG!' Sahut Danny, lagi-lagi di dalam hati.
"Emmm... nggak apa-apa kok, Qi. Oh ya, ini gue punya oleh-oleh kecil buat lo." Kata Prissy sambil menjulurkan sebuah papper bag kecil berwarna biru muda.
"Oleh-oleh?" Tanya Qiara memastikan sambil menerima papper bag itu dari Prissy.
"Minggu lalu, gue habis dari Singapura. Celine sama Arga udah dapet kok."
"Aaah, makasih, ya? Jadi ngerepotin nih." Kata Qiara seraya mengintip samar-samar ke dalam papper bag itu. Dari celahnya, Qiara dapat melihat sebuah kotak jam tangan. Sepertinya mahal.
"Ya ampun, Qia! Nggak ngerepotin kok. Lo kayak baru kenal gue aja."
Qiara mengangguk, "i—ya. Pokoknya makasih, ya?"
"Sama-sama." Jawab Prissy singkat sambil menepuk pelan lengan Qiara.
Senyuman pura-pura yang sejak tadi bertengger di wajah Qiara, kini perlahan berubah canggung. Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Danny yang masih betah menatapnya dengan datar. Beberapa saat kemudian, Prissy langsung pamit setelah salah seorang temannya memanggilnya.
"Ntar aku susul, ya." Ucap Danny seraya melambaikan tangannya.
Melihat tingkah Danny yang mendadak berubah manis, Qiara rasanya ingin muntah. Asli!
Begitu Prissy sudah menghilang dari pandangan mereka, senyuman manis Danny serta-merta menghilang tanpa jejak. Ia lalu menatap Qiara yang berdiri di sampingnya sambil mencoba jam tangan barunya.
"Qia?"
"Hm?" Gumam Qiara pelan.
Danny tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama dan terlihat berfikir. Ia tidak tahu bagaimana harus membahasakan kebingungannya sekarang. Qiara bukan hanya sahabat dekatnya, tetapi juga... mantan pacarnya. Bagaimana cara Danny untuk menyampaikan isi fikirannya tanpa harus mengusik perasaan Qiara? Danny seolah-olah merasa, bahwa sedikit saja ia melakukan kesalahan, ia bisa menghancurkan segalanya. Segala yang telah ia jaga selama ini, termasuk... Qiara sendiri. Namun di sisi lain, Danny merasa perlu untuk menyampaikannya.
"Bisa tolong bersikap sedikit lebih baik sama Prissy?"
Degh! Qiara merasakan sebuah pukulan tepat di jantungnya. Fokusnya tiba-tiba saja kacau tanpa aba-aba. Tangannya yang sejak tadi sibuk berkutat dengan jam tangan barunya seketika lemas. Di luar kontrolnya, salah satu tangannya terjatuh begitu saja.
Atmosfernya berubah dingin dalam hitungan detik.
"Apa yang lo harapkan dari gue? Dan musti sebaik apa lagi gue harus bersikap ke dia?" Tanya Qiara dengan nada pelan, namun emosi dalam setiap kata yang ia pilih benar-benar terasa menusuk seperti jarum di hati Danny.
Mengkhianati kehendaknya, Qiara mendadak merasakan kedua matanya memanas. Pukulan di jantungnya kian menguat, menimbulkan sesak yang coba ia tahan.
"Gue nggak akan minta maaf kalau-kalau sikap gue selama ini nggak berkenan buat lo ataupun dia. Dan satu hal yang harus lo tahu, gue juga punya sesuatu yang di sebut dengan batas kesanggupan. Lo harus paham, bahwa sampai di sinilah batas itu."
Kali ini Qiara memberanikan dirinya menatap kedua mata Danny. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menumpahkan tangisan yang selama ia pendam di hadapan Danny. Namun sial, dalam situasi dramatis yang cukup menegangkan itu, nada keroncongan di perut Qiara tahu-tahu berbunyi, dan membuat air matanya yang nyaris saja pasang tiba-tiba surut. Qiara meringis pelan lalu menundukan wajahnya. Ia benar-benar malu sekarang. Egonya terluka gara-gara sel laparnya yang tidak sabaran ini.
Danny yang menyaksikan dan mendengarkan nada keroncongan dari perut Qiara langsung mengangkat salah satu tangannya untuk menutupi mulutnya. Ia kemudian tertawa tanpa suara.
Astaga! Dalam situasi seperti ini, Qiara masih saja terlihat lucu dan.... menggemaskan.
'Kenapa harus sekarang siiih?!' Geram Qiara dalam hati.
Begitu ia mengangkat wajah, ia mendapati sosok Danny yang sedang diam-diam menertawakannya. Ya, tentu saja! Akan sangat aneh kalau pemuda itu tidak tertawa dalam situasi ini.
"Gue pergi!" Tukas Qiara sambil berusaha mati-matian menutupi rasa malunya.
Namun, tepat saat Qiara akan berbalik pergi, ia tiba-tiba merasakan Danny menahan pergelangan tangannya.
"Apa lagi?" Hardik Qiara dengan galak.
"Berantemnya kita lanjut nanti aja, ya? Sekarang ayo makan dulu!" Ujar Danny dengan nada bicara yang cukup lembut setelah berhasil menghalau tawanya.
"Nggak perlu!" Jawab Qiara dengan ketus.
Mungkin Qiara sedang kebagian jatah sial hari ini. Karena sekali lagi, sel lapar dalam perutnya kembali berteriak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Udah ayooo! Gue teraktir!"
Danny melangkahkan kakinya tanpa melepaskan tangan Qiara dari genggamannya. Sementara dari belakang, Qiara hanya mengikuti Danny dengan pasrah dan marah.
^^^To Be Continued....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments