Kejadian aneh kelima.

Aku ada di mana?"

Sinar mentari di pagi hari menembus awan sebelum menghujam permukaan molekul air di lautan. Pemandangan asing terapung-apung menguasai amygdala Isaac, hanya spektrum hijau kebiruan terlihat sejauh mata memandang.

Spring box putih penopang matras yang berbalut kain kotak-kotak kecil hitam sangat kusut, diakibatkan gaya gesek dihasilkan Isaac. Ia sibuk menoleh ke kanan dan kiri.

"Apa ini mimpi? Aku tadi kan tidur, tiba-tiba bangun ada di tengah laut bareng kasur begini."

Sekujur tubuh Isaac dipenuhi oleh rasa gugup yang terus mengembang. Saat ini, ia hanya mencoba melongok ke dalam laut bermuatan tumbuhan laut penghasil oksigen antara 70 dan 80 persen yang dihirupnya.

"Kalau ada ombak, apa aku bisa mati di dalam mimpi begini?"

"Bingung, ya? Kalau mimpi mungkin nggak mati."

Suara ringan seorang pria terdengar di belakang Isaac. Ia terkejut bukan main. Namun sayang, ia tak bisa menoleh seolah tertahan sesuatu yang berat.

"Si-siapa kamu? Suaramu kaya nggak asing, ya? Dan kenapa aku bisa ada di sini? Apa benar ini mimpi?"

"Perkenalkan aku Izel. Aku datang karena mengkhawatirkanmu."

"Bukan menjawab pertanyaan, tapi malah menumpuk tanda tanya. Buat apa kamu mengkhawatirkan aku?"

Pria tak diketahui itu sempat tersenyum teduh. "Saat melihatmu, aku khawatir kamu nggak bisa keluar dari semua kejadian aneh yang kamu alami."

"Melihatku? Kok bisa tahu? Aku nggak pernah cerita pada siapa pun."

"Aku tahu tanpa perlu diberitahu, karena aku sendiri terlibat."

Isaac menelan ludah. "Terlibat? Apa kamu yang membuatku terjebak dengan perputaran waktu?"

"Bukan, bukan aku yang menyebabkan ini semua. Aku membantu sedikit untuk mencapai tujuannya."

Tujuannya? Siapa itu? Berbagai pertanyaan mencuat bagai sengatan listrik statis di ujung rambut Isaac. Hendak bertanya ia justru tercekat.

"Nanti kamu akan tahu sendiri, tapi yang lebih penting bagaimana caramu keluar, kan?"

Isaac mengangguk pelan dengan mulut terkunci rapat. Izel berdeham sesaat sebelum memberi petunjuk penting.

"Kuncinya adalah katakan sejujurnya perasaanmu, itu saja."

Izel menepuk bahu Isaac sambil menyuruh membayangkan kamarnya. Berbeda dengan sebelumnya, terdengar nyanyian ombak dari kejauhan memecah keheningan.

Isaac bergeming seolah dihipnotis, sosok Izel lenyap setelah mengucapkan, "Ingat itu baik-baik," tanpa sempat bertatap muka.

Warna kuning matahari dan pekatnya warna karang memberi aksen di langit biru yang bertransisi halus menjadi sebuah plafon putih, lalu seutuhnya berubah menjadi kamar Isaac.

Remang-remang kilat di luar rumah, hujan mengairi atap gersang, dan Isaac masih tidak tahu apa yang terjadi. Isaac hanya tahu, kontras tajam naik-turun itu membuat kedua mata nyeri sampai berkedip cepat.

Kemudian, ia terpaku melihat kursi di meja belajarnya. Ada sosok Neva basah kuyup sedang menangis pelan.

"Ka-kamu ke mana aja? Aku selalu khawatir dan takut." Neva sesegukan.

"Neva, sejujurnya aku—"

...•••...

Getar alarm pada benda pipih membuka jendela mata pemiliknya begitu lebar. Makin bingung dengan plafon putih yang ditatapnya. Walau sudah menganalisis ruangan persegi itu dua kali, memastikan sesuatu.

Sumpah, itu kalau beneran mimpi, absurd banget.

Kosmos begitu baik pagi ini, sangat cerah. Sorot mentari bahkan melewati serat gorden tertutup. Meski mimpi itu didefinisikan pertanda tak baik, tapi mungkin ada makna implisit di baliknya. Isaac merasa pusing.

Pria yang masih setia dengan celana training kelabu bangkit membawa ponsel ke meja belajar, ia membuka laci terkunci untuk meraih pengisi daya. Melirik sebentar layar kunci bergambar laut lepas kebiruan.

"Sekarang tanggal 30 Maret jam tujuh, waktunya masih berjalan normal sekarang."

Lalu, Isaac merogoh saku kanan hoodie senada sebelum membukanya.

"Loh, sejak kapan ada kerang di kantong?" Dalam sedetik saja, Isaac mengukir senyum.

Bivalvia laut dalam keluarga Veneridae atau sebutan gampang bagi Neva yang menyukai lautan dan segala isinya, kerang venus. Benda itu berperan krusial menaikkan suasana hati Isaac pagi ini.

Isaac segera keluar setelah melakukan aktivitas pagi sambil bersiul. Tepat pukul setengah delapan, dirinya sudah berdiri di depan penginapan di mana Neva tinggal.

"Pagi-pagi bikin kaget aja nungguin di teras penginapan. Baru aja kelar sarapan itu tahu." Neva menggeleng.

"Terus, apa korelasinya kedatanganku sama sarapan?"

Neva mengangkat kedua bahu selagi mendeteksi emosi Isaac. "Kayanya pagi ini kamu ceria kaya biasa?"

"Habisnya ada cewek yang diam-diam taruh chamelea gallina ke dalam kantong jaketku, gimana nggak senang paginya?"

"Kerang venus nama gampangnya!"

"Jangan marah pagi-pagi." Isaac tertawa sambil menatap Neva karena mengingat sesuatu. "Oh ya, aku butuh bantuanmu masalah promosi nih. Karena aku hari ini sibuk bikin pesanan papan, kakakku pasti jadi pelatih, dan ayahku nggak bisa bikin konten kece zaman sekarang."

Neva mengangguk-angguk. "Oke, karena aku juga nggak ada rencana ke mana-mana, aku bantuin deh. Tapi, pinjam gadget toko kamu buat edit dong."

"Ada kok, tenang aja."

Selang dua puluh menit kemudian, setelah berbincang sebentar dengan Osric, Neva diperbolehkan membantu untuk urusan promosi sosial media dan tidak meminta bayaran seperser pun.

Ruangan persegi panjang berisikan papan seluncur setengah rampung, berbaris rapi pada tiap dinding jadi tempat ternyaman Neva untuk duduk manis dekat jendela. Selagi memperlihatkan desain simpel tapi menyegarkan pada individu yang berdiri di sebelahnya.

Sampai sepuluh menit kemudian ...

"Ya, aku sudah paham cara buatnya meski singkat. Soalnya aku juga yang bikin konten."

"Tapi, desainmu lebih bagus lagi dengan warna cerah, Sah."

"Iya, nanti aku pakai template yang sama kok. Sekarang aku mau ngerjain papan dulu.”

Isaac bergegas merenggut kayu, amplas, gergaji, spidol dan segala peralatan lain ke atas meja. Pria berkaos oblong putih itu memotong papan kotak dengan ukuran tiga kali satu meter sesuai templat yang sudah ada, lalu di sketsa memakai spidol sebelum di gergaji. Sangat kompeten sekali.

Neva terpaku dengan keterampilan baru Isaac selain mencerna buku cetak semasa sekolah. Ia sempat tersenyum bangga.

"Gimana kuliahmu? Dan kenapa bisa jadi pembuat papan selancar bahkan pelatih."

"Kuliah lancar sampai lulus, ambil pariwisata. Tapi, mendadak banting setir pas baru setahun kerja jadi tour guide, Kakek meninggal dan mewariskan ini buat Ayah. Kalau kamu?"

"Aku juga lancar sampai lulus, ambil jurusan yang sama kaya kamu. Bahkan pekerjaannya juga sama, Sah."

Isaac tersenyum asimetris saat membuat tulang dan ranting dari frame papan selancar menggunakan electric planner.

"Kenapa samaan terus, sih? Berarti-"

"Oh, aku sudah upload satu konten seru buat promosi tokomu, nih."

"Mana? Coba lihat." Isaac tersenyum kecut, seolah sudah ditolak secara halus.

Isaac menggebu-gebu menghampiri Neva yang berdiri dan tak sengaja tubuh mereka bertabrakan. Membuat tubuh perempuan itu oleng, namun Isaac melindungi bagian kepala agar tidak berbenturan dengan papan seluncur di samping kanannya.

"Maaf, aku nggak sengaja."

Neva menunduk lalu mengangguk pelan. "Gapapa kali, aku juga berdiri tergesa-gesa tadi."

Fokus mata mereka tertuju lagi pada layar tablet sepuluh inci berwarna-warni. Isaac spontan bertepuk tangan memberi apresiasi kerja keras Neva demi tokonya, saat melirik hasil akhirnya.

"Nah, aku udah selesai bikin satu konten, mau coba amplas dong."

"Yakin bisa?"

Neva mengunci layar tablet, meletakkannya di meja lalu berjalan zig-zag untuk menghindari sisa-sisa material kayu lalu mendapatkan satu amplas di meja. Tak perlu basa-basi, ia mengekspos diri sendiri sebagai bintang tamu di tengah ruangan itu.

Padahal di mata Isaac, jemari itu saja tidak cukup kokoh mempertahankan objek pada posisi vertikal. Sehingga ia mengambil alih dengan merengkuh kedua punggung tangan Neva, memperagakan cara yang benar dan cepat menyelesaikan amplasan.

"Kamu ini mulai lagi soknya. Bisa-bisa tangan mungilmu kena amplas tahu."

Isaac berusaha tetap tenang, walau tubuh Neva berada dalam dekapannya. Namun, Neva hanya menyikut lengan Isaac sambil tertawa karena tindakan sembrononya saat mengamplas.

"Ah, ampasnya terbangan ke mataku, Sah!"

"Mana? Coba sini lihat aku."

Isaac memperhatikan seksama wajah lalu bola mata berkedip-kedip Neva begitu berbalik. Tak ingin melihat air mata turun dari sudut mata Neva, pria itu segera meniup area sensitif tersebut. Neva berterima kasih, Isaac tersenyum.

"Sebentar, aku tutup dulu jendelanya baru kita lanjut."

Neva justru menahan tangan Isaac sambil menggeleng. "Gapapa, kalau kelilipan lagi ada yang niupin."

Pria bermarga Meshach itu tersenyum senang saat bola mata Neva berdilasi di hadapannya. Perasaan yang ditahan-tahan, yang menunggu waktu, seakan bisa meledak saat itu juga.

Ya Tuhan, kenapa prototipe manusia abstrak seperti Neva hadir untukku? Apa dia juga menyukaiku?

Hingga dua jam berlalu begitu cepat, mereka sedang mengistirahatkan diri di teras ruangan pembuatan papan sambil uncang-uncang kaki karena hati mereka sedang senang.

Isaac mengangkat wajahnya yang berlumuran salju. Ini sudah bukan pemandangan familier untuk negara dengan iklim tropis baginya. Matahari meredup sempurna, gelap gulita seperti dunia yang terlukis oleh tinta arang hitam. Angin tajam menggetarkan tumpukan salju dari dahan yang terbelit.

Ilusi optik ini hanya terjadi di area Isaac dan Neva saja yang bergandengan tangan. Sedangkan tangan lainnya sibuk memegang tongkat es krim.

"Ah, daritadi dong gandengan tangan. Jadi adem banget."

"Dadakan juga tiba-tiba salju begini. Apa karena aku sedang makan es krim, ya?"

"Kalau nanti kamu makan bebek peking, bakalan banjir bebek gitu? Wah, aku bisa kenyang dong."

Neva menendang kaki Isaac yang tenggelam di salju juga. "Kalau gitu aku bisa buka usaha nggak pakai modal kali!"

Saat mereka tertawa bersama, pintu dibuka seseorang dengan keras sampai mengagetkan mereka sampai terduduk.

"Eh, enak banget makan es krim siang-siang. Bantuin di luar tuh rame!" Noah berseru dari ambang pintu.

"Beneran rame banget? Sebentar, Kak."

Isaac segera membuka tablet di atas meja, mengecek segala media sosial yang berhubungan dengan toko. Terlihat beberapa notifikasi yang tidak terdengar sebelumnya. Beberapa akun terlihat memberi tanda suka dan mengikuti akun milik toko. Isaac tersenyum lalu berdiri.

"Oke, aku bakal bantu keluar."

"Kak Noah, apa aku boleh bantuin juga?"

"Wah, kayanya ide bagus kalau Neva ikutan juga." Noah mengacungkan dua jempol ke arah Neva. "Cepetan, ya!"

Neva menyikut Isaac setelah Noah pergi. "Kak Noah juga nggak lihat salju ini, ya?"

"Jelas nggak lihat, kalau lihat pasti heboh kaya reog." Isaac menyelidiki sekitar. "Kira-kira, cara apalagi yang bakal membuat semua kembali seperti semula?"

"Sah, kayanya boneka salju di belakang pohon kelapa deh. Hidung wortelnya keemasan tuh."

Keduanya sepakat berlari ke arah sana, tapi Neva yang mengambil hidung tersebut. Semua pemandangan es mengalami penyubliman, ditemani asap berkelok-kelok. Entitas beku itu bergumul sebelum membentuk gumpalan bak kapas putih, kemudian meledakkan kristal biru pastel di atas kepala mereka. Lenyap tak bersisa dan meninggalkan keindahan.

"Wah, keren banget," celetuk mereka spontan, bersamaan.

Lalu, pemandangan berangsur normal seakan tak terjadi apa-apa. Kedua insan tersebut dengan gegas menuju teras toko dengan wajah sumringah. Neva membantu Osric, sedangkan Isaac menjalankan tugasnya bersama Noah di tepi pantai.

"Karena ada ayangnya yang bantuin jadi semangat, ya?"

"Ah, apaan, sih? Jangan godain aku, Kak."

Noah makin mengeluarkan tawa paling mengesalkan, terbahak-bahak nyaring. "Wah, beneran udah ayang? Soalnya Kakak lihat sering pegangan tangan terus."

Isaac menatap sinis lalu meninggalkan gerutu tak jelas di hadapan Noah. Telinganya mulai bersemu jika diolok seperti itu, malu.

Tak sadar, gesekan sandal Isaac membawanya bertemu kembali dengan Neva yang hendak menaiki tangga toko. Ia pun sama. Hanya berjarak satu anak tangga saja.

"Mau ngapain ka ...,"

Neva tergelincir. Ia tak sengaja menginjak cipratan air di salah satu anak tangga. Mengakibatkan dirinya terpelanting ke belakang, otomatis menabrak Isaac kencang. Mereka tersungkur, mengerang kesakitan.

"Aduh, pinggangku!"

"Pinggang? Pinggangmu apaan? Berdiri cepat!"

Isaac mengerjapkan mata dengan cepat, kalkulasi spontan sedang memproses suara lantang itu.

Kenapa jadi suara Kak Noah yang marah-marah? Kok bukan Neva?

Terpopuler

Comments

moonmaker

moonmaker

apayooo

2022-10-25

0

Ayu Lestari

Ayu Lestari

uwu2 apa iníii

2022-10-25

2

Ayu Lestari

Ayu Lestari

iy lo mimpi

2022-10-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!