"Hm, terserah kalian aja. Aku ngikut doang pokoknya."
Isaac terkejut saat dirinya membuka mata. Kemudian, menggebrak meja kuat seolah kekuatan berpusat pada telapak tangan sampai piring bergetar hebat. Tentu Noah dan sang ayah terkejut bukan main.
Noah menatap sinis Isaac sambil mengelus dada "Heh, ngapain gebrak meja, sih?"
"Kak, sekarang tanggal berapa, hari apa, dan jam berapa?"
"Selasa, tanggal 29 Maret, jam tujuh lima belas. Kenapa?"
Kedua anggota keluarga di wilayah breakfast nook dengan desain simpel dan praktis namun masif itu saling melirik heran. Isaac berlaku sangat aneh.
"Hanya kembali di waktu tertentu, bukan kembali di awal hari. Padahal aku tadi tertabrak truk ...," ucapan Isaac membuat suasana menjadi seperti benang tegang yang kemudian terputus.
"Heh, tertabrak truk apa?"
"Tadi ... sebelumnya aku tertabrak truk."
"Kamu itu nggak ke mana-mana, kok bisa bilang tertabrak truk?"
Isaac melempar tatapan nyalang. "Seriusan, aku tadi tuh keluar terus tertabrak truk dan saat membuka mata kembali lagi ke sini!"
Giliran Noah sekarang menggebrak meja. "Kamu ini habis makan ayam sama sambel kok jadi gini, sih?"
"Ah, aku mengalami perputaran waktu! Ya, sekarang waktuku berputar mundur!" Isaac membelalak.
Noah makin ribut dengan ucapan tak masuk akal Isaac. Suasana pun tak kunjung kondusif. Osric yang duduk di kursi paling ujung masih tidak mengucapkan apa-apa. Namun, ia mulai terbatuk-batuk kecil dan membuat Noah segera menghampiri.
"Sudah deh, berhenti berdebat! Aku mau bawa ayah masuk dulu dan kamu beresin piringnya."
Isaac langsung bergegas membersihkan piring di meja untuk dicuci setelah Noah memapah sang ayah. Ia menaruh piring bersih berkilauan di rak. Bahkan ekspresi mengenaskan terpantul dari tekstur gelas seperti cermin.
Setelah ini aku minum air putih dan berjalan keluar pintu samping, lalu bertemu dengan Neva yang menguping. Terus pergi ke minimarket selagi aku kejar, kemudian kecelakaan nahas terjadi.
Begitu pantai terlihat dari jendela, sekali lagi Isaac menarik napas dalam-dalam.
Tandanya, aku harus melakukan sesuatu yang berbeda kalau nggak mau mati. Sama seperti kejadian pertama. Bahkan tadi habis kakak ngomong gitu jalan ceritanya udah mulai beda karena aku yang mengubahnya.
Saat mengambil cangkir putih polos, tatapan Isaac terpaku pada satu titik. Melihat pintu samping dapur. Ia lantas mengintip dari lubang sebesar kelereng di tengah pintu, karena lewat jendela besar dekat bak pencuci piring tidak terlihat siapa-siapa.
Benar, ada Neva sedang mondar-mandir di area pintu sini.
Mengembalikan cangkir, menyisir rambut, membenarkan hoodie yang sebenarnya baik-baik saja, lalu menarik udara masuk ke rongga paru-paru untuk menjatuhkan suara lantang.
"Po-pocong! Ada pocooong!"
"Ugyaaaa!" Neva tersentak mundur menabrak drum kosong. Terjatuh. Mirip kodok kena lindas. Isaac bergeming, tapi tidak bisa mempertahankan mulut untuk tertawa. Bahkan sangat lebar sakan bisa merobohkan susunan piring di rak.
"Isah, keluar kamu!"
Isaac membuka pintu sambil masih tertawa."Lagian kalau kaget biasanya orang loncat terus jatuh ke depan, lah kamu ke belakang."
Neva menghela napas lalu bangkit. Rautnya terlihat sangat kesal oleh Isaac yang bersandar santai pada pintu. "Ya, jangan teriak pocong kenapa, sih?"
"Kamu takut pocong, kan? Jadi aku sengaja, deh."
"Ish, nyebelin banget. Ya udah, kalau gitu aku pergi aja."
"Minimarket, kan? Nggak usah."
"Aku belum bilang, tapi kamu kok sudah tahu aku mau ke sana?" Neva mengernyit.
Semenjak Isaac menutup pintu, reaksi kontras dari kesal menjadi sangat penasaran Neva membuahkan ide untuk pergi ke suatu tempat. Tak jauh dari toko dan penginapan yang perempuan itu tempati. Di tengah perjalanan Neva memberanikan diri untuk bertanya.
"Sah, beneran kamu jadi aneh banget, deh."
"Kamu sendiri juga jadi aneh. Adil, dong?"
"Ya, tapi ...,"
Isaac langsung merenggut tangan dingin Neva, seketika keajaiban lain muncul tak terduga. Pohon kacang tumbuh tepat di antara pasir. Batang pohon terus berkembang pesat menjulang, bahkan sedikit lagi hampir menyentuh awan malam menyelimuti kota.
Isaac dan Neva yang terkejut berpegangan pada satu dahan kokoh sampai terkatung-katung di udara dingin dengan satu tangan. Bahkan balon hijau spontan melintas lalu lenyap mengawang akibat dorongan napas Isaac.
"Ah, semua ini terjadi karena tanganmu, Nev. Apa kamu nggak sadar? Lalu, bagaimana dengan orang yang menyentuh tanganmu selain aku?"
Neva melirik tangan mereka yang masih tergenggam. "Benar, kayanya karena tanganku. Tapi, selama ini aku sangat menghindari kontak fisik terutama dengan tangan. Jadi nggak usah khawatir, cuma kamu yang begini."
"Kenapa menghindari kontak fisik dengan orang lain, tapi nggak menghindar dari aku?"
"Kamu adalah orang yang aku percaya, sedangkan mereka orang asing. Aku nggak mau. Aku takut."
Setelah itu Neva menengadah, melihat rasi bintang terukur dari sudut matanya. Isaac belum berkata apapun, bahunya malah melemas. Wajah Neva yang selama tiga tahun selalu ada di sisinya terlihat jauh lebih mungil, tapi tetap tembam sekarang. Ia tampak tercekat saat memandang mata Neva dari sisi kiri.
Akan tetapi, Isaac harus menyampaikan sesuatu yang membuatnya hidup dalam penyesalan selama delapan tahun. Ia tak bisa kabur lagi dari hal-hal yang tak pernah disampaikan dengan benar pada Neva.
"Lihat ke sini, Neva." Isaac mengeratkan genggaman mereka. Disangka akan menepis tangannya, ternyata Neva menoleh dengan tatapan yakin dan bertanya kenapa.
"Kamu nggak perlu takut berteman dengan banyak orang, mereka belum tentu menyakitimu."
Neva menghela napas. "Waktu SMA banyak yang mengganggu karena aku anak yatim piatu. Cuma kamu yang mau dekat sama aku dan itu karena kasihan, kan?"
"Untuk apa kasihan selama tiga ... delapan tahun? Sampai detik ini? Aku benar-benar mau berteman sama kamu."
"Karena apa? Punya alasan dong?"
"Semua nggak harus punya alasan, Neva. Sama seperti orang kasmaran, kadang bingung kenapa dia bisa jatuh cinta dan jadi orang bodoh."
Sejak kalimat itu muncul, pertahanan satu tangan Isaac jadi tak stabil. Tidak ada rasa yang lebih kuat dibandingkan isi hatinya sekarang. Tetapi, perasaan takut jatuh begitu dalam dan membuat tidak nyaman Neva. Meski Isaac sesekali mencegah perasaan menguasai dirinya. Namun, kembali goyah.
"Baiklah. Sekarang coba kita cari sesuatu yang bernuansa emas di sini seperti sebelumnya, Sah."
"Tunggu. Tunggu sebentar lagi, Nev."
Pemandangan malam kota dari ketinggian tak terhingga ini yang menunda minat Isaac untuk turun. Neva pun mengikuti kemauannya. Mereka memandang pijar-pijar lampu menginterpretasikan akan adanya tuan di dalam rumah. Bintang jatuh silih berganti menggores corak antariksa dan kendaraan dengan damai melintas.
"Cantik, ya?" puji Neva.
"Ya, semuanya sangat cantik."
Ekspresi elusif Isaac tergurat di mata Neva saat wajah mereka saling bertemu. Keduanya bertatapan tak sengaja.
"Kenapa lihat aku kaya gitu?
"Nggak boleh melihat sesuatu yang cantik selain pemandangan kota di sini?"
Neva melepaskan genggaman Isaac selagi berusaha naik. "Udah aku bilang, kamu itu aneh."
"Hei, aku duluan yang naik baru kamu. Takutnya jatuh!"
Tak peduli tak diacuhkan, Isaac cepat-cepat membalap demibisa meraih tangan Neva. Membantu perempuan tersebut bisa naik dalam jangkauan aman.
"Kenapa, ya, setelah kita menaiki benda ajaib ini dan terjatuh langsung berpindah tempat?"
"Hm ... sebenarnya aku sudah berpikir dari kemarin masalah itu."
"Kamu tahu kenapa?"
"Mungkin karena aku menyebutkan sebuah tempat di dalam hati saat kita akan terjatuh."
Isaac menggumam dengan suara lirih, tidak yakin apakah benar yang dikatakan Neva, tapi sepertinya patut untuk dicoba.
"Saat kita jatuh nanti, sebutkan nama restoran paling dekat di sekitar area toko dan penginapan. Tahu, kan?"
Neva mengangguk tanda sepakat meski terdengar sedikit tersengal-sengal karena capek menaiki beberapa dahan. Isaac meyakinkan diri sendiri sambil mencengkeraman kuat tangannya agar Neva tidak jatuh. Seketika, Neva melihat daun keemasan ditemukan terselip di antara dahan kering yang diinjak Isaac.
Pucuk itu segera dicabut setelah Neva berbicara pada Isaac. Pulut menguar dari pori-pori pohon, batang pohon bergetar seolah dihantam gempa bumi berkekuatan besar. Hal itu membuat Neva tergelincir dan lepas dari genggaman Isaac.
Beruntung refleks Isaac kali ini sigap meraih tangan Neva yang dimasukkan ke saku hoodie-nya. Walau sebelumnya terlihat gadis itu memasukkan tangan ke saku celana. Lalu mereka jatuh bersama dengan saling menutup mata.
"Wah, ternyata benar yang kamu bilang. Kita tiba-tiba udah berdiri di teras restoran. Tapi nggak tahu kerusakannya gimana."
Neva tidak berkomentar, hanya menatap Isaac saat menyesap jus apel. Seperti ada sesuatu mau ditanyakan dan mengganggu dirinya daritadi.
"Sah, kamu nggak takut sama hal-hal aneh yang terjadi bareng aku?"
"Awalnya takut dan merasa aneh, karena aku sangat menganut akal sehat. Tapi, makin lama ada sisi serunya yang pernah aku bilang."
"Aku sekarang masih takut. Kalau hal ini terjadi sama orang lain, pasti udah lari duluan kaya lihat setan."
Isaac menyandarkan punggung setelah meletakkan sedotan di pinggir gelas. "Tapi, nggak bakal juga, kan? Kamu menghindari kontak fisik sama orang asing juga. Cukup sama aku aja."
Neva justru memicing. "Kamu berniat mau menggenggam tanganku terus?"
"Sambil cari tahu ada apa dengan tanganmu itu, lho."
"Butuh waktu lama, dong? Sedangkan aku nggak lama di sini."
Momentum percakapan terputus akibat getaran ponsel milik Isaac. Neva menekurkan wajah begitu Isaac pamit untuk menjauh sesaat. Dari situlah bahu pria tak dikenal bersinggungan tak sengaja dengan Isaac. Tetapi, Isaac tidak peduli karena pria itu meminta maaf dengan sopan.
Baru saja ponsel mendekati telinga, pusat tata surya di dalam restoran menarik atensi Isaac karena adanya sosok pria lain mengajak Neva berbincang. Mereka tampak nyaman dari garis tawa yang terlihat.
Siapa pria itu? Katanya nggak bisa berteman dengan yang lain, tapi ... apa dia berbohong untuk memberikanku harapan karena sudah tahu perasaanku?
Fokus Isaac terbelah dua, tatapan menuju Neva sedangkan suara terpaku pada seseorang di balik ponsel. Adegan mengurut dada terus disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Pria itu lebih tampan, terlihat dewasa, lebih tinggi, dan lebih segala-galanya dari dirinya. Isaac jadi insecure.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya Isaac bisa masuk kembali dengan gelisah. Tentu karena pria asing tersebut.
"Aku pergi dulu," tukas pria bergaya kasual dengan curtain haircut.
Mereka berpapasan, pria itu mengulum senyum di hadapan Isaac dan berbisik, "Sampai jumpa dan maaf."
Isaac terkejut dan spontan menoleh, "Lho? Yang tadi aku tabrak, ya?"
Pria itu meneruskan perjalanan dan tidak menjawab apapun. Neva segera menepuk punggung Isaac.
"Lama banget telponnya."
"Tadi itu siapa? Kenalan barumu?"
"Oh, cowok tadi itu yang udah bantuin aku."
"Bantu? Bantu pas kamu sampai sini, ya? Kalian kelihatan akrab banget sampai senyum-senyum gitu."
Neva mencium sinyal aneh lainnya dari wajah rese' Isaac. "Kamu kenapa?"
"Ah, tiba-tiba agak pusing deh, pengen pulang aja kalau jus udah abis."
"Aneh, setelah delapan tahun kamu berubah sedikit aneh."
"Kamu juga nggak kalah aneh apalagi sama cowok tadi," sahut Isaac sewot.
"Ya udah, ayo kita pulang kalau sudah habis."
Isaac berdeham dengan tegas. Ia adalah tipe yang bersikukuh jika ia menginginkannya. Sudah terbiasa semenjak SMA, apa-apa dikerjakan mandiri. Sedangkan Neva adalah sosok yang tidak pernah berekspektasi pada orang lain. Jadi, walau seringkali Isaac mood-nya berubah bahkan membuat dirinya marah, Neva merasa bodo amat.
"Oh ya, aku minta maaf udah nguping di rumahmu. Tapi, aku punya ide yang bisa kamu kembangin."
"Nanti atau besok aku bakal buat website. Terus masukin konten kreatif di setiap postingan sosial media, pakai hashtag spesifik untuk memudahkan orang untuk mencari, lalu kalau ada orang komentar atau kirim pesan cepat balas, atau bisa sekalian bikin promo menarik gitu."
Neva melongo, jelas-jelas idenya belum dikemukakan pada siapa pun. Tetapi, dalam sekali sapu, Isaac menyebutkan semuanya seakan bisa membaca isi pikirannya.
"Heh, kamu keturunan dukun mana? Aku belum bilang, tapi akurat seratus persen sama dengan yang kamu bilang tadi."
"Aku keturunan Alam Mbah Dukun. Pokoknya tenang aja, isi kepala kita sama jadi no need to worry."
Setelah menghabiskan camilan, di sepanjang jalan pantai yang berbisik-bisik, mereka tak ada interaksi lebih. Bahkan tiba di depan teras penginapan yang Neva tinggali, Isaac hanya melambaikan tangan. Begitu di rumah, sampai punggung menyentuh matras empuk di kamar, Isaac bungkam seribu bahasa.
Ada banyak yang ingin dikatakan saat perpisahan tadi, tapi ia urungkan karena perasaannya sekelam selimut menyusupkan tubuh malam ini. Isaac tak mau mendapat label sahabat posesif.
Semoga besok hatiku bisa tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Ayu Lestari
lucu haha
2022-10-25
1
Julia
cerita ini ringan tp byk teka-teki
2022-10-24
1
Julia
kodok kena lindas HAHAHAHA
2022-10-24
0