Jam makan malam akhirnya tiba. Isaac berkumpul bersama dengan keluarga di ruang makan.
Pelan-pelan aja. Deketin Neva nggak perlu terburu-buru. Jangan sampai terlihat jelas dan dadakan banget karena baru aja ketemu lagi.
Isaac berpikir seperti itu sambil mengganyang ayam goreng dengan gesit, dipadupadankan bersama nasi panas dan sesendok sambal matah di piringnya. Namun, sari minyak yang lumer di dalam indera pengecap tidak mendeportasi Neva dari pusat pikirannya tentang apa yang terjadi hari ini.
Mengulang kejadian di awal yang sama, tapi kejadian dan akhir yang berbeda. Bahkan entah Neva, entah dirinya yang aneh dan pelupa.
"Ayah mau bicara sama kalian."
Satu kalimat ini baru bisa memecah perhatian Isaac dengan cepat.
"Mau bicara apa, Ayah?"
Pria yang sudah menyentuh kepala enam tersebut meletakkan ayam di piring, kemudian menatap kedua putranya bergiliran. "Kalian tahu, dua tahun terakhir ini bisnis sewa dan pembuatan papan selancar kita menurun."
"Dan bisa terancam bangkrut dalam waktu dekat." Noah menambahkan komentar setelah menghela napas.
"Kakak udah tahu duluan? Kenapa nggak kasih tahu aku juga sebelumnya?"
"Ya, aku tahu duluan karena aku anak tertua."
"Nggak masuk akal, aku juga anak Ayah, Kak."
"Aku bilang anak tertua, aku yang paling diandalkan di sini oleh Ayah."
Sang ayah, bernama Osric Meshach, menepuk tangan di antara udara hampa kuat-kuat. "Sudah, kalian jangan ribut. Karena Ayah sengaja berbicara dulu dengan Noah, baru nantinya kamu."
"Apa nggak ada yang bisa kita lakukan? Masa diam aja menunggu bangkrut?"
Noah menatap skeptis adiknya, seperti biasa. "Kamu punya ide apa?"
"Sekarang nggak ada, dadakan banget soalnya. Tapi, pasti aku dapat nanti kok, karena aku nggak bakal menyerah."
"Memangnya bisnis itu semudah membalik telapak tangan? Kita harus punya gebrakan dan modal untuk jaga-jaga, Sak."
"Ya, maka dari itu kita cari bersama dulu, jangan langsung putus asa begini. Aku nggak suka. Pasti ada jalan kok."
Noah yang hanya berjarak empat tahun lebih tua dari Isaac, memblokade jalan suara dengan kritis. "Aish, ini yang nggak aku suka dari kamu. Terlalu berekspektasi tinggi dengan apa-apa yang belum terjadi, dan lagi kemampuan kita terbatas sekarang."
"Daripada kalian yang langsung putus asa seakan menerima kebangkrutan?"
"Kamu ngatain Ayah begitu? Berani banget!"
Suhu di ruang makan yang masif dengan berbagai perabot tua makin menyesakkan dada. Tampak ada benang tegang yang bila disentuh akan putus akibat dua isi kepala berbenturan. Mereka bisa berkelahi nantinya.
Osric terbatuk-batuk mendengar keributan yang tak biasa ini selagi menaikkan satu tangan ke udara, menandakan mereka harus berhenti.
"Ayah!" Noah dan Isaac serempak berseru.
Akan tetapi, gerak Noah lebih cepat untuk menghampiri Osric sampai bulir keringat jatuh. Lalu menepuk-nepuk punggung sang ayah dengan lembut. Isaac hanya bisa menghela napas karena kekurangannya, tidak bisa bergerak cepat.
"Tapi, ada benarnya, Noah. Coba biarkan Isaac mencari jalan keluarnya dulu. Kita yang salah karena terlalu cepat putus asa."
"Ya, serahkan aja sama aku, Ayah."
Osric menatap balik Noah dengan penuh harap. Sampai tenggorokan anaknya itu tersedak air ludah sendiri.
"Hm, terserah kalian aja. Aku ngikut doang pokoknya."
"Semua kegiatan produksi tetap berlangsung, ya, Kak. Pokoknya toko harus terus buka bahkan hari kerja sekali pun."
Noah mengangguk saja. Lulusan sarjana itu sebenarnya paham situasi genting begini, tapi ia lebih memilih tidak mengambil jalan apapun demi melihat sejauh mana adiknya berusaha untuk menaikkan kembali usaha turun temurun sang ayah.
"Kak, sekarang tanggal berapa, hari apa, dan jam berapa?"
"Selasa, tanggal 29 Maret, jam tujuh enam belas. Kenapa?"
"Gapapa, tadi aku lupa soalnya."
Isaac merapatkan resleting hoodie abu-abu, setelah itu bangkit dan menyusun piring.
"Harusnya dari dulu aku buatkan website setelah promosi dengan banner dua tahun lalu ... ah, aku terlena sama ketenaran sesaat."
Isaac menghabiskan air putih dalam gelasnya di depan pintu samping dapur, berkata padahal malam itu ia ingin sekali minum cokelat panas. Setelah habis ia masih berkutat dengan ponselnya.
Saat melepas pandangan dari ponsel, mendadak mata Isaac mendapati figur Neva yang terpaku di hadapannya dengan hoodie hitam polos. Ia pun terperanjat dan hampir menjatuhkan gelas bersama ponselnya.
"Astaga, aku pikir kamu itu hantu! Kenapa lewat di sini malam-malam? Nguping, ya?"
"Kebiasaan banget nyerocos mulu, bosan dengarnya. Aku cuma nggak sengaja lewat sini tahu."
"Nggak sengaja? Jelas sengaja. Meski ada aja orang lewat sini tapi nggak berhenti pas di seberang pintu, kaya maling aja."
"Ck, mana ada maling kaya aku gini."
"Ngomong-ngomong, kamu dengar yang tadi, ya?"
"Aku nggak dengar apa-apa karena sibuk memerhatikan jalan."
Sesaat, rambut Neva yang terkena embusan angin memperlihatkan ekspresi wajahnya. Senyum terpaksa seolah menutupi alibi sebenarnya.
"Kamu nggak bisa bohong, kenapa datang ke sini?"
Neva malah tertawa pelan. "Ya, cuma mau ngecek keadaanmu aja. Soalnya aneh banget seharian ini kaya orang lain. Sekarang aku pergi dulu ke minimarket, dadah!"
"Ikuuuuut dong!"
"Nggak maaauuu! Nanti kamu borong semua es krimnyaaaaa!"
Nada mereka sama-sama memanjang. Terlebih Neva seolah mengolok Isaac yang berkacak pinggang. Lalu Neva tunggang-langgang, Isaac menyusul sambil tertawa seperti anak kecil. Manusia yang paling diinginkan Isaac itu ternyata masih orang yang sama, dengan teriakan ekstrem yang sama, dan tawa yang sama.
"Heh, siapa itu ribut-ribut di luar?" Noah berseru sambil membuka jendela.
Rupanya, kegiatan Isaac dan Neva ketahuan oleh Noah dari lantai dua. Mereka makin berlarian menjauh dari zona merah dengan akselerasi yang sama, seperti lomba lari antar kelas sewaktu SMA.
"Masih hebat aja kamu, Nev!" Isaac kemudian tertawa pelan.
"Woh, jelas dong. Juara satu lomba larinya masa turun stamina?"
Keduanya memijak trotoar sambil mencoba mengatur napas yang terputus-putus, kelelahan akibat berlarian tak jelas. Namun, sensasi kesenangan itu bagai candu untuk Isaac. Ia sangat rindu suasana seperti ini dan tak ingin semuanya berlalu, seperti saat mereka terpaksa berpisah dulu.
"Gimana? Rencana mau borong es krim apa aja selain cokelat kesukaanmu, Sah?"
"Tapi, aku bukan lagi yang dulu. Aku sekarang bukan orang berduit. Kamu juga dengar sendiri keadaanku gimana, kan?"
"Ya, aku dengar dengan jelas dari awal ayahmu bicara. Maaf."
"Daripada minta maaf, ada saran bagus nggak buat usaha ayahku yang tersisa satu-satunya ini?"
Neva melipat kedua tangan di dada. "Bikin akun sosial media buat toko?"
"Ada, tapi nggak begitu aktif."
"Tadi aku dengar mau buat website, ya? Cepetan deh. Terus masukin konten kreatif di setiap postingan sosial media, pakai hashtag spesifik untuk memudahkan orang untuk mencari, lalu kalau ada orang komentar atau kirim pesan cepat balas. Bisa sekalian bikin promo menarik gitu."
Isaac mengangguk sesaat lalu menoleh. Malah siluet Neva tampak begitu cantik dengan latar belakang pemandangan di malam kota pesisir. Langit. Sinar bulan. Berdua. Suasana yang selalu sama dengan saat pertama kalinya Isaac menyaksikan senyum perempuan tersebut. Sampai dirinya pun tersenyum.
"Heh, gimana pendapatku? Atau kamu gaptek sekarang, ya? Jadi cuma bisa senyum responnya? Jelek."
"Eh, kenapa kamu yang ngomel, sih? Aku sekarang lagi berpikir tahu."
"Oke, berpikir baik-baik aja dulu. Tapi, semuanya menguntungkan banget loh."
Isaac malah berpikir hal lain, seperti merasa percakapan mereka akan menjadi canggung karena sudah lama tidak berbicara satu sama lain. Namun, kekhawatiran setitik itu mengabur perlahan mulai dari sekarang.
Pria itu memasukkan kedua tangan pada saku jaket denim dongkernya sambil menikmati angin berdesir, melewati jarak terbentang di antara mereka.
"Nev, tujuanmu ke sini untuk apa? Kenapa tiba-tiba muncul di depanku padahal sudah lama kita nggak kontakan? Seakan sudah tahu aku ada di sini."
"Kamu pas pindah kota aja nggak ngasih tahu, masa iya tiba-tiba aku tahu kamu di sini? Lagian aku juga kemari seminggu doang karena ambil cuti libur."
"Jadi, benar-benar nggak tahu aku di sini, ya?"
"Iyalah, kamu pikir aku cenayang bisa menebak keberadaanmu gitu, Sah?"
Isaac tertawa, merasa lucu ketika Neva memanggilnya. "Sekarang manggilnya kaya zaman SMA, ya? Sah kaya lagi nikah atau emang udah sah?"
"Sah apaan, sih?" Neva merengut, melajukan sepatu kets untuk menjauh dari Isaac.
"Dih, masa gitu aja ngambek? Bercanda doang."
"Nggak ngambek, tapi kamu aneh banget. Aku jadi takut."
Salah sasaran. Stimulus Isaac tidak tepat waktu. Ia jadi merutuki diri karena terlalu bersemangat berbicara di luar konteks percakapan. Membuat Neva mungkin merasa tak nyaman sampai berlari mendahuluinya. Beradu dengan mekanik panas di jalanan walau tak begitu ramai.
"Hei, tunggu aku dong!"
"Kejar aku kalau bisa, si juara kelas!"
Hendak menyebrang tanpa melihat kanan dan kiri, Neva tak sadar ada truk tronton bermuatan batang kayu melaju dari arah kanannya. Isaac lagi-lagi senam jantung karena kecerobohan itu sampai berlari cepat untuk segera meraih lengan perempuan tersebut.
Karena tak pernah khawatir pada diri sendiri, akibatnya bisa ditebak. Isaac tersungkur karena terkilir. Layaknya sedang mengalami salah satu jenis wipe out paling fatal dalam berselancar, over the falls. Tubuhnya menghantam keras aspal. Terguling sampai ke tengah jalan.
Isaac mencoba bangkit perlahan, tapi sinar lampu kendaraan merusak fokus matanya. Kepalanya terasa berat dan mata mulai berkunang-kunang. Lutut kembali menyentuh aspal. Tidak ada siapa pun yang melintas, bahkan wujud Neva sendiri menghilang entah ke mana.
Apa aku akan mati lagi kali ini?
Isaac ditabrak oleh truk berkecepatan tinggi tanpa ditolong siapa pun. Semua berubah menjadi gelap gulita, dunia ikut tertelan kesunyian. Mungkinkah ini benar-benar berakhir?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Julia
betul
2022-10-23
2