"Lho, kok aku ada di sini lagi? Bukannya tadi tenggelam?"
Isaac terperanjat dengan apa yang ia saksikan. Tubuh tegapnya berada di pinggir pantai, tepat di belakang tubuh Neva yang sebentar lagi akan menabrak segerombolan pria membawa papan selancar. Kejadian ini sama seperti sebelumnya.
"Hei, awas!"
Isaac bertindak cepat meski masih linglung dengan kejadian ini. Saat tangan Isaac meraih milik Neva, muncul anak tangga berputar yang terbuat dari pasir putih di bawah kaki mereka.
Pijakan lembut dan menenggelamkan kaki terus meninggi tak terhitung. Isaac lagi-lagi hanya bisa terduduk saking herannya dengan keadaan ini.
"A-apa lagi ini? Kenapa jadi ada anak tangga dari pasir?"
Tanda tanya itu menyelimuti seluruh sisi logis Isaac dan tangga pasir putih pun terhenti. Posisi kedua insan tersebut tepat berdiri lebih dari tinggi pohon kelapa. Cukup menakutkan untuk yang takut ketinggian. Akan tetapi, Neva dan Isaac tidak ada masalah sama sekali berada di sana.
"Aku tanya, apalagi ini? Sebelumnya menaikkan air laut!"
"Apa maksudmu, sih? Menaikkan air laut? Kapan?"
"Kok kamu yang jadi pelupa?" tanya Isaac dengan logat chindo.
"Kejadian ini baru terjadi sama kamu hari ini tahu. Aku nggak ngerti sama omongan kamu sebelumnya!"
Kontradiktif. Isaac jelas ingat bahwa setelah menggenggam tangan Neva, debit air laut membawa naik spesies laut. Namun, perempuan yang lebih tinggi satu anak tangga darinya itu sama sekali tidak pernah mengalaminya. Aneh. Bahkan mengulang kejadian di awal pun juga tidak masuk akal.
Sebentar ... aku tenggelam dan tiba-tiba terbangun di masa yang sama saat Neva mau ditabrak oleh gerombolan peselancar. Tapi, kejadian anehnya berbeda. Apa aku berhalusinasi?
Akan tetapi, ada yang lebih penting dari semua keanehan tersebut.
"Cari cara untuk turun sekarang!"
"Bagaimana aku bisa tahu? Jelas-jelas baru mengalaminya!" Neva bersedekap.
Isaac bangkit sambil meresapi sedimen dan partikel halus yang berterbangan akibat gesekan telapak kaki, lalu meraih tangan Neva dan mengajaknya berlari.
Animo Isaac kali ini muncul di sela-sela angin meniup ujung rambut hitamnya, bahkan rash guard bergerak fleksibel mengikuti aktivitasnya. Ada kegembiraan yang menyusup sambil sesekali melirik wajah Neva di belakang. Walau semuanya tidak masuk akal.
"Kenapa tersenyum?" Isaac memecah keheningan.
"Apa kamu lupa? Senyummu itu selalu menular ke aku."
Sekembalinya kepala ke depan, Isaac mesam-mesem. Jantung mulai tidak aman seakan membuat gumpalan berdegup yang siap meledak.
Senyum Neva itu, senyum yang selama delapan tahun tidak pernah ia lihat. Tidak pernah Isaac merasakan bahagia melimpah ruah seperti ini, di hari-hari yang membosankan sebagai pelatih peselancar dan penjaga toko.
"Seru, sih. Meski aku heran dan bingung. Semuanya seru dan indah!"
"Memang seru!" Neva tertawa.
"Nanti kalau kita jatuh tiba-tiba gimana?"
Neva menghentikan pelarian, Isaac spontan berbalik menatap manik hazel berkilat-kilat di bawah sinar mentari itu.
"Kamu akan menangkapku, kan?" tanya Neva.
"Ya, aku akan menangkapmu dalam kebahagiaan."
"Maksudnya mau ketawain aku kalau jatuh, kan?"
"Hahaha, nggak kok. Nggak salah lagi!"
Isaac berlari menjauh saat Neva mendesis kesal. Gadis itu mengejarnya dengan berbagai macam gerutuan gemas. Ia hanya tertawa selebar-lebarnya sampai berhasil menemukan akhir tangga. Tidak terasa menaiki puncak tangga jika bersama orang yang spesial.
Isaac duduk bersamaan dengan Neva di salah satu anak tangga, walau ada puncak yang cukup menampung mereka jika ingin berdiri berdua.
"Neva si cantik penggila hewan laaaaut!!"
Suara teriakan Isaac terbawa angin di sekitar laut yang memiliki irama berbeda dibandingkan dengan dulu. Ada sebuah kebahagiaan.
Di kota Buleleng, kota di mana mereka menghabiskan waktu SMA bersama. Kota yang sudah begitu lama ditinggali setelah Kuta, tempat Isaac saat ini. Atmosfer dingin makin berbaur dengan lautan biru, mengacak-acak rambut depan Neva.
"Kamu itu memuji atau mengolok, sih?"
"Kamu itu memang cantik, tapi maniak spesies laut. Ada yang salah?"
Neva menggebu-gebu untuk memukuli punggung Isaac sementara menahan rasa sakit sambil tergelak riang. Seolah kedua insan itu manusia paling dipilih semesta untuk bahagia setelah berpisah delapan tahun.
"Ah, di atas sini malah lihat pemandangan menjengkelkan."
"Apa itu?"
Isaac memandang hamparan karpet biru, kemudian menghentikan sorot mata di atas bahu kanannya. Neva tergerak oleh aktivitas serupa yang penuh antusias tadi.
"Di sebelah sana, di belakangku, ada banyak sampah plastik tergeletak di pasir pantai. Padahal banyak binatang yang tinggal di pasir loh, misal kepiting. Gimana kalau mereka makan plastik itu?"
"Kayanya kamu kesal banget."
"Iyalah kesal. Soalnya aku juga sering menemukan penyu di tengah laut terlilit plastik dan sampah kaleng."
Neva merefleksikan dirinya dari manik hitam milik Isaac, menatap dengan segala keseriusan. "Apa yang kamu lakukan saat itu?"
"Ya, aku bantu melepaskan plastik itu dan membawa sampahnya ke darat. Bahkan setiap hari Sabtu aku bersama kakak dan komunitas, membersihkan pantai dari pagi hingga sore."
Neva bertepuk tangan sampai telapak memerah. "Wah, ternyata kamu peduli banget sama lingkungan."
"Sudah aku bilang sebelumnya, harus di mulai dari diri sendiri untuk membawa perubahan."
"Kapan? Dulu waktu sekolah mana pernah kamu ngomong begitu."
"Aish, hari ini aku ada ngomong begitu."
"Ngaco banget pagi gini, kamu kenapa, sih?"
"Kamu kali yang pikun, aku ada bilang pokoknya."
Di tengah perdebatan, Isaac sayup-sayup mendeteksi suara ketukan pada sebuah kaca dari belakang telinga. Begitu menoleh, ia mendapati kepiting emas bersinar di dalam sebuah akuarium bulat nan tebal.
Isaac merengkuh permukaan bawah, lalu memperhatikan gerak-gerik kepiting bersama Neva. Sampai tak sadar, sorot mata Isaac beralih pada struktur wajah Neva. Kamu cantik banget. Tahu nggak, sih?
"Kita lepasin, kan?"
Suara melengking Neva memecah padangan Isaac seketika. "I-iya, pasti kalau dilepasin kita kembali seperti semula."
Benar saja, saat Neva mengubah posisi akuarium dengan rendah sebelah, hingga bagian terbuka bisa membuat kepiting berjalan keluar. Pijakan kepiting yang seakan berirama membuat anak tangga pasir satu per satu menghilang dari paling dasar.
Mereka bertukar pandang satu sama lain karena bingung. Bagaimana caranya untuk lari dari atas sana?
"Ditangkap, kan?"
"Nggak jamin, Neva."
Tibalah waktu mereka untuk mengucapkan salam perpisahan pada angin sepoi-sepoi di atas sana. Mereka terjatuh, mengapung di antara udara bebas setelah seluruh tangga menghilang.
Idealnya manusia akan memejamkan mata jika merasa takut, tapi Isaac tidak. Neva yang justru memejam mata sambil menggenggam tangan Isaac dalam diam. Reaksi pria yang awalnya tegang, malah berubah damai karena kegirangan dalam hati.
Ajaib sekali lagi, saat Neva membuka mata, mereka sudah berdiri di selasar toko yang sepi pengunjung. Kelimpungan. Alis mereka berjengit keras untuk mencerna hal-hal tak terduga ini.
"Sudah kembali, ya?"
"Ya, sudah kembali."
Di teras beratap bambu itu langsung terjadi percakapan dan kejadian yang belum pernah ada sebelumnya. Penuh teka-teki, misteri, dan tatapan kosong.
"Oh, aku ke sini kan mau berselan-"
"Nggak, nggak usah berselancar Neva. Di menit dan detik ini ombak lagi nggak bagus, kamu bisa hanyut nanti atau mengalami kram kaki. Lain kali aja, oke? Mana papannya? Di pinggir laut, kan?"
"The h*ll, aku belum selesai ngomong kamu udah nyerocos dan paling sok tahu lagi. Tapi, papannya memang ada di pinggir pantai tadi."
"Oke, biar aku aja yang ambil. Nanti uangmu bakal aku balikin. Besok lagi aja datang buat selancaran, paham?"
Neva cemberut menatap Isaac. "Kenapa jadi seenaknya? Tadi kamu bilang sebelumnya ombak lagi bagus."
"Ombak bagus? Berarti emang kamu tahu apa yang terjadi nanti kalau surfing, kan?"
"Ngomong apa, sih? Kamu bilang ombaknya bagus itu tadi pagi pas aku datang ke sini mau nyewa dengan wajah terkejut."
Astaga, bisa gila aku kalau begini.
Isaac menggaruk pelipis demi meluruskan alis yang selalu berkerut. "Oke, tapi sekarang udah berubah. Titik."
"Bukannya pembeli atau tamu itu adalah raja? Nggak bisa diginiin, dong!"
Seruan itu membuat Isaac setengah mati melempar tatapan nyalang pada Neva. "Aku lebih paham ombak, lagi pula kamu itu bukan pembeli atau tamu buatku."
"Terus, aku ini apa?"
"Ya, sahabat dari SMA, kan?"
Sampai di situ Isaac tersadar. Rash guard malah terasa dingin karena keringat yang menitik. Membentuk pusat terpilin di punggungnya. Sebenarnya, ia tidak mau mengatakan itu.
"Oke, deh. Aku nurut sama kamu."
Isaac tersenyum kecut lalu meminta izin untuk ke pantai sebentar. Selain bingung dengan perasaannya, ia juga bingung dengan semua kejadian aneh ini.
Meski awalnya serupa, hasil akhir di hari dan tempat yang sama ternyata berbeda. Ada apa ini?
Akan tetapi, setelah menimbang-nimbang, banyak momen manis tercipta. Isaac senyum-senyum sendiri walau dilihat orang-orang.
Tapi gapapa, selama waktu itu berulang bersama Neva.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Lihuan Parista
Halah isaac wkwkwkwkkw
2022-10-23
1
Julia
teknik selancar pula
2022-10-23
2