Saat ini mereka sedang menuju ke kediaman Keluarga Winata untuk makan siang bersama Bunda dan Ayah Bintang.
Selama perjalanan menuju kediaman Winata, baik Aluna maupun Bintang tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Baik sekedar basa-basi untuk mencairkan suasana maupun hal lainnya.
Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hingga mobil yang ditumpangi keduanya memasuki kediaman Winata.
Terlihat Bunda Mona yang sudah menunggu kedatangan anak dan menantunya dengan wajah penuh kebahagiaan.
"Jangan dulu keluar!" Cegat Bintang saat Aluna hendak keluar dari mobil.
"Lah kenapa om?"
"Om lagi?"
"Eh iya, Susata deh."
Bintang mendengus, capek jika terus meladeni istirnya ini.
"Biar saya yang bukakan pintu mobilnya."
"Hah!" Aluna sedikit loading dengan ucapan Bintang.
"Kamu lihat Bunda sudah menunggu kedatangan kita di depan sana." Bintang menunjuk ke arah Bundanya diikuti tatapan Aluna.
"Trus apa masalah nya?"
"Saya tidak ingin Bunda curiga dengan pernikahan ini. Jadi saya akan membukakan pintu mobil untuk kamu, sebagai pengantin baru kita harus terlihat romantis bukan."
Aluna mengangguk pelan, dia sudah paham dengan maksud Bintang. Dia bahkan hampir lupa bahwa dia harus berakting bahagia dan menjadi wanita paling Bintang cintai di depan mertuanya.
Akhirnya Bintang turun dan sesuai dengan ucapannya tadi. Dia membukakan pintu untuk Aluna dengan senyuman yang menggembang. Mereka terlihat sangat romantis.
"Akhirnya anak dan menantu Bunda datang juga." Ucap Mona sambil memeluk Aluna dengan sayang.
"Iya Bunda."
"Gimana tadi macet nggak pas di jalan?" Ucap Bunda Mona sambil merangkul Aluna dan mengajaknya masuk.
Aluna melirik Bintang yang dengan santai berjalan di depannya dan Bunda Mona.
"Humm, ya gitu deh Bund. Lumayan macet, tapi kalau nggak macet ya bukan Jakarta namanya."
Mona mengangguk.
"Bund, Bintang ke atas sebentar ya." Ujar Bintang.
"Iya sayang. Tapi ingat jangan lama-lama, kasihan Luna. Lagian bentar lagi Ayah pulang dan kita akan makan siang."
"Iya Bunda."
"Huuusss sana .... sana, males banget ngelihat mukanya. Ya walaupun ganteng, tapi tetap aja dia tuh nyebelin banget." Batin Aluna.
Mona beralih menatap menantunya.
"Bunda pernah ada di posisi kamu."
Lagi dan lagi, Aluna tidak paham dengan maksud Ibu mertuanya.
"Posisi apa dulu nih? Posisi karena nikah terpaksa? Atau posisi karena dinikahin sama cowok paling menyebalkan di muka bumi ini?" Batin Aluna.
"Maksud Bunda?"
"Maksud Bunda, Bunda pernah ada di posisi kamu saat ini. Sebagai pengantin baru. Apalagi saat masih anget-angetnya, pasti nggak mau jauh-jauh kan dari suami. Dan Bunda lihat kalian berdua itu saling mencintai, pasti nggak mau pisah lama-lama kan. Padahal ketimbang pasangan nya cuma ke kamar mandi atau ke dapur doang lho. Kek nggak rela gitu jauh-jauhan, hehehe. Iya kan." Ucap Mona sambil tersenyum sedangkan Aluna yang sudah paham malah terlihat kikuk dan tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Justru gue malah pengen dia jauh-jauh dari gue Bun." Batin Aluna.
Mona menggenggam tangan Aluna.
"Bunda harap, semoga kamu segera isi yah."
"Bunda udah nggak sabar pengen gendong cucu pertama Bunda." Mona terlihat sumringah ketika berbicara seperti itu.
Aluna menggaruk lehernya yang tak gatal. Dia sangat bingung harus merespon seperti apa. Lagipula boro-boro dia akan memberikan cucu kepada mertuanya, tidur saja mereka pisah kamar. Bagaimana bisa membuatkan cucu untuk mertuanya.
"Tapi kamu nggak berniat menunda kehamilan kan Lun?" Tanya Mona was-was. Dia takut jika menantunya akan menunda kehamilan yang akan membuatnya tidak segera memiliki cucu.
"Eh ... itu ... anu Bund. Hmm ..."
Mona menarik sebelah alisnya, menunggu jawaban Aluna.
"Itu ... ehhh ..."
"Kita nggak nunda kok Bun. Segera mungkin, Bintang dan Luna bakalan ngasih cucu ke Bunda sama Ayah." Ucap Bintang yang baru saja datang.
Dia segera duduk di samping Aluna yang terlihat cukup kaget dengan ucapannya, tetapi coba Aluna tutupi dengan ekspresi bahagia pura-pura nya.
"Bener Lun?" Tanya Mona memastikan.
"Eh ... i-iya Bund. Kita nggak nunda kok, heheh. Akan segera ... kita ... n-ngasih cucu buat Bunda sama Ayah."
Bintang menarik sudut bibirnya melihat Aluna yang terlihat sangat tertekan dan terpaksa dengan ucapannya.
Mona menghela nafas legah. "Syukurlah kalau begitu. Bunda akan selalu doain, semoga secepatnya yah."
"Amin Bund. Doain aja."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Lo belum jelasin ke gue. Kemana aja lo selama 5 hari ini Lun?" tanya Nayla yang sudah kesekian kalinya.
Dari tadi dia mencoba mengintrogasi Aluna karena ketidakpercayaan dia jika Aluna sampai izin 5 hari hanya untuk menjenguk Tantenya itu.
Bersahabat lama dengan Aluna, membuatnya cukup mengenal Aluna.
Aluna bukan tipe orang yang suka izin untuk hal-hal seperti itu. Dia sangat menghormati dan menjunjung tinggi cita-cita nya lebih dari apapun itu.
Bagi Aluna, di dunia ini cita-cita dan impian hidupnya adalah nomor satu setelah kehilangan kedua orang tuanya. Selebihnya tidak terlalu dia pentingkan.
Bahkan ketika ada kerabat yang meninggal sekalipun, gadis itu tidak pernah izin lebih dari 2 hari. Paling lama sehari. Atau terkadang tidak sama sekali.
Semuanya itu dia lakukan agar tidak ketinggalan satu materi ataupun momen penting yang berhubungan dengan cita-cita nya menjadi seorang dokter hebat.
Untuk itu, Nayla sedikit tak percaya dengan alasan Aluna saat ini.
"Terserah kalau lo nggak percaya. Gue udah kasih tau lo bahkan lebih dari 10 kali Nay." Ucap Aluna sembari memeriksa rekam medis pasien untuk diserahkan kepada profesor Heru.
"Tetap gue nggak percaya sama lo. Lo boong kan, nggak mungkin lo izin cuma buat Tante lo."
Aluna menghela.
"Yaudah kalau nggak percaya."
Nayla memicingkan matanya. "Pasti ada yang lagi lo sembunyiin dari gue kan."
Aluna mendelik. "Dih ... mana ada. Nggak ada yang gue sembunyiin dari lo Naynay."
"Dokter Aluna, dipanggil ke ruangan Profesor Heru sekarang." Ucap Mia, salah satu perawat senior di rumah sakit ini.
Profesor Heru, Dokter pembimbing Aluna selama Koas. Profesor Heru adalah Dokter spesialis penyakit dalam dan kardiologi yang sangat terkenal akan keahlian nya dalam mengobati pasien-pasiennya. Dan Aluna belajar banyak hal dari Profesor Heru.
"Daripada lo ngurusin gue, mending lo urusin tuh pasien-pasien lo daripada dapat amukan lagi lo dari Dokter Citra. Bye." Aluna meninggalkan Nayla yang masih sangat kepo dengan alasan Aluna yang sebenarnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Aluna!!!"
Aluna berbalik ketika ada yang memanggil namanya.
Dia adalah Dimas dokter muda di rumah sakit ini. Yang berkat kecerdasan nya setelah selesai koas langsung ditempatkan di rumah sakit ini, sebagai dokter spesialis kardiologi.
Dimas juga adalah salah satu anak bimbingan profesor Heru. Sehingga tak heran jika terkadang Prof Heru mempercayakan Dimas untuk mendampingi Aluna dalam prakteknya.
Hal itu malah justru membuat keduanya menjadi dekat dan tak sungkan untuk saling memanggil dengan sebutan nama tanpa embel-embel Dokter di dalamnya. Kecuali di hadapan Profesor Heru dan Dokter lainnya.
"Baru dari ruangan Prof Heru ya?"
"Menurut kamu?"
Lawan bicaranya hanya menyengir.
"Kemana saja beberapa hari ini?"
"Jengukin Tante." Jawab Aluna santai sambil terus berjalan.
"Kok nggak ngasih tau aku."
Aluna berhenti.
"Harus banget ya ngasih tau kamu?"
"Nggak juga sih. Tapi kan aku juga ditugaskan Prof Heru untuk menilai kinerja kamu. Ya walaupun nggak sepenuhnya."
"Itu aja kan. Yaudah, nanti kapan-kapan aku izin ke kamu juga."
Mereka berdua kembali berjalan berdampingan.
"Nanti pulang mau aku anterin nggak?"
"Aku bawa mobil."
"Kan bisa mobilnya dibawah Nayla dulu. Kayanya hari ini dia nggak bawa mobil deh."
"Kamu lupa Dim? Terakhir kali dia bawa mobil aku, besoknya tuh mobil langsung baret dimana-mana. Ujung-ujungnya aku juga yang rugi perbaikkinnya. Huh!!"
"Iya juga sih. Okey, kalau gitu. Mungkin lain kali kita bisa pulang bareng."
"Hm."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments