5. Belajar! Bukan Jadi Jalang

...Bukan tidak mengerti, kadang remaja melewati banyak batasan hanya karena sebuah rasa penasaran. ...

-----CalMeVi

...»»---Sҽʅαɱαƚ MҽɱႦαƈα---««...

Laras merasa tidak nyaman duduk di antara banyaknya orang yang asik mengukir dosa, ekspetasi tentang obrolan ringan hancur setelah dirinya sadar menginjakkan kaki di tempat maksiat.

Sebuah club malam menjadi tujuan mobil yang dirinya serta Ara tumpangi, semula Laras merasa aneh dan tidak ingin masuk namun, melihat bujuk rayu Ara ia mengalah hingga akhirnya Laras terjebak sendiri dengan perasaan takut.

Mata terus mencari sosok yang membawa Laras ke tempat maksiat ini, ia sangat ingat dengan jelas bila Ara berpesan padanya untuk duduk sementara dia mencari keberadaan Arkan serta sahabatnya yang lain namun, hingga tiga jam lamanya Laras menunggu, sepupunya itu tidak jua menampakkan diri.

"Ara."

Bruk!

Secara spontan Laras berdiri saat tubuh seorang pria paruh baya jatuh tepat di bawah telapak kaki, Laras hendak melangkah pergi namun sebelah tangan pria paruh baya yang jatuh itu memegangi kedua kaki miliknya dengan wajah yang berantakan akibat minuman haram.

"Lepas!" Menghentakkan kaki kencang dengan tujuan lepas dari orang mabuk itu dilakukan Laras.

Pria itu nampak sempoyongan namun dipaksa menegakkan tubuh untuk menilai penampilan Laras bahkan kini ia telah mencengkram lengan tangan gadis polos itu dengan kencang. "****** baru? Masih perawan heh? Sama om yuk!"

Mendengar itu mata Laras melotot, hendak pergi tapi pria itu malah mencengkram lebih kencang sembari mengatakan hal melantur. "Kamarnya disana!"

Laras menangis ketakutan dan sekuat tenaga mendorong orang itu hingga terjatuh, mendapat kesempatan gadis bergaun toksa itu dengan segera menuju pintu keluar akan tetapi, karena posisinya yang berada di tengah ruangan, Laras harus melewati puluhan lebih orang yang menari mengikuti suara kerasnya musik yang menulikan telinga.

"Ara, kamu dimana." Ia menangis sembari berusaha melewati lautan manusia itu, tak jarang Laras harus mendorong jauh orang-orang yang menarik tangan ataupun berusaha menyentuh area pribadinya.

"Lepas! Lepasin!" Laras menolehkan kepala kesana-kemari sembari menangis pilu saat seseorang mengunci pergerakan tubuhnya di tembok sembari mencoba mencium bibir miliknya.

Di sisi lain, Seseorang yang baru saja tiba di club langganan terkejut ketika melihat seorang perempuan yang mirip dengan gadis unggulan yang paling dirinya benci terlihat dipepet oleh seseorang.

"Ngapain dia disini?"

Sebuah alasan penasaran membawa kaki Evan menuju titik dimana orang yang dilihatnya sebagai Laras, untuk memastikan bila penglihatannya tidaklah salah.

Ketika jarak sudah tersisa satu meter, Evan yang yakin akan sosok Laras segera memisahkan kedua ingsan yang hendak berciuman itu paksa bahkan dirinya sudah mengamankan Laras tepat di belakang punggung.

"Kalau mau itu cari cewek yang mau aja Bro!" ucap lelaki beraura dingin itu mengusir pria kurang ajar baruan.

Evan menatap datar Laras yang kini sudah menangis layaknya anak kecil. "Lo mau keluar?"

Laras mengangguk sembari terus menangis sedangkan Evan merasa kasihan dengan keadaan gadis unggulan itu, meski ia tidak menyukai Laras namun hati nurani merasa tidak tega, hingga akhirnya memutuskan untuk membawa gadis bergaun hijau toska itu keluar dari tempat maksiat.

Laras merasa lega ketika sudah berada di luar, kepalanya terangkat untuk melihat Evan. "Terima kasih."

"Katanya si anak unggulan, anak bersih dari pergaulan bebas, hidupnya cuma untuk belajar," sindir Evan, meski senantiasa bersikap dingin serta acuh akan tetapi, mulutnya takkan tahan senada.

"Evan, Ara dimana?" tanyanya.

Evan sekarang paham mengapa anak unggulan seperti Laras bisa tersesat di tempat seperti itu. "Lo sama Ara kesini?"

Dengan polos Laras mengangguk. "Iya, Laras mau pulang. Dimana Ara?"

Evan tetap pada mode dingin, tidak baik jika ia mengatakan seperti apa pergaulan dari sepupu orang di depannya itu.

"Emang lo kira gue emaknya! Pulang sono!"

Melihat pergerakan Evan yang hendak pergi, secara refleks tangan Laras menggengam lengan tangan Evan. "Tunggu, bantuin Laras cari Ara."

Evan melirik tangan Laras lalu menyentak kasar sebelum menatap Laras dengan tatapan tajam. "Lo pergi sekarang!"

Laras menundukan kepala, dia merasa takut dengan tatapan mengerikan yang dikeluarkan Evan. "Tapi Ara? Ini sudah malam."

Evan mengacak rambutnya frustasi. "Pulang sekarang!"

Karena tinggi Evan yang berada jauh darinya, Laras harus mendongak ke atas untuk melihat wajah tampan laki-laki itu. "Ta-ta-tapi, Laras mau pulang sama Ara, ini udah malam."

Dengan kasar Evan menarik tangan Laras paksa untuk masuk kembali ke dalam tempat terkutuk itu, membuat Laras kembali ketakutan.

"Evan! Lepas! Laras takut!"

Evans mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari perempuan yang sedari tadi ditunggu oleh gadis di belakangnya.

Jari telunjuk Evan arahkan ke tempat Ara berada. "Lihat! Itu Ara! Sepupu lo!"

Laras mundur satu langkah saking kagetnya ketika mata menemukan sosok Ara dengan seorang lelaki, mereka nampak asik berciuman mesra tak hanya itu, ia juga tidak habis fikir dengan penampilan Ara yang sangat jauh dari pertama kali menjemput dirinya, kini sepupunya itu mengenakan gaun pendek berwarna merah, serta sepatu yang sudah berganti menjadi high heels. Laras tidak menyangka jika yang dirinya lihat memang anak dari budhenya.

Evan tertawa kecil melihat ekspresi yang ditampilkan Laras. "Udah? Sekarang lo bisa pergi."

Dengan pikiran kosong karena melihat sesuatu itu Laras melangkah keluar namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat terkutuk itu setetes air mata jatuh tanpa ia mengerti, mungkin dia kecewa karena sepupunya melanggar janji atau bisa saja Laras sedih melihat kelakuan Ara.

Bruk!

Tidak fokus menyebabkan Laras tersungkur karena menabrak dada bidang seseorang, tidak terlalu sakit namun ia tetap tidak suka bila bertabrakan hingga akhirnya ia berusaha bangkit.

"Laras?"

Mulut Laras tebuka tanpa kata ketika sosok pujaan hatinya berdiri di depan mata, kelopak mata seolah enggan menutup barang sedetik, takut jika yang ada di depan hanya sebuah halusinasi belaka, perlahan senyum lebar tersinggung di wajah putih itu.

"Arkan?"

Arkan terkejut bertemu gadis unggulan yang menjabat sebagai sepupu Ara di sarang maksiat, menilai penampilan Laras sekaligus menganggap Laras munafik karena ternyata dia tidak sepolos wajahnya.

Laras mematung, tidak tahu harus berkata dan melakukan sesuatu kini, isi kepalanya seketika kosong hanya dengan melihat mata milik badboy di depannya.

Arkan sendiri merasa bingung, ingin berbicara tapi diurungkan karena nampaknya mereka tidak akan satu frekuensi, jadi lelaki tampan itu lebih memilih meninggalkan Laras yang kini nampak aneh ekspresinya.

Sedetik selepas kepergian Arkan kedua sudut bibir yang tadinya terangkat kini perlahan turun dan menampilkan wajah menyedihkan.

Laras membalikan tubuh ke belakang untuk melihat lautan manusia nampak menikmati kegiatan maksiat itu dengan tatapan tak terbaca sebelum, otak memerintah tubuh untuk meninggalkan tempat menjijikan yang semoga tidak akan pernah Laras datangi kembali.

🌻

Telapak tangan Laras menyentuh permukaan pintu utama berwarna putih di depannya, jarum pendek telah berada tepat diangka dua belas. Hal itu menunjukan jika ia tidak akan bisa masuk ke dalam sekalipun ingin. Laras tidak bisa seenaknya masuk karena ini bukan rumahnya sendiri, ia tinggal di Ibu Kota bersama Kakak dari Ibunya.

Laras berjalan menuju kursi di depan teras rumah lalu menjatuhkan raga letihnya dengan helaan nafas, ia hanya bisa berdoa untuk hari esok yang lebih baik, biarlah untuk kali ini kelopak matanya tertutup di tempat yang tidak nyaman untuk badan.

"Nona! Nona!"

Sayup-sayup Laras mendengar suara asisten rumah tangga, perlahan gadis itu membuka mata dan menemukan wajah wanita paruh baya dengan daster batik menatapnya dengan muka cemas.

"Nona cepet pindah ke kamar! Nanti ketahuan nyonya!"

Menyadari tempatnya sekarang, dengan nyawa yang belum sepenuhnya kembali, Laras berjalan memasuki rumah menuju kamar namun, ketika ia menaiki anak tangga gadis pendek itu baru sadar jika seseorang menatapnya dengan tangan bersedekap.

"Ta-Tante."

Wanita dengan baju tidur berwarna ungu muda kini menilai penampilan anak dari adik iparnya. "Temani Tante sarapan!"

Luna Ayuningtyas, nama wanita yang berprofesi sebagai kepala sekolah di tempat Laras menimba ilmu, sekaligus orang yang menjadi wali Laras di Ibu Kota selama kurun waktu dua belas tahun.

Laras duduk di depan Luna dengan gugup sedangkan orang yang ditakuti gadis itu, wajahnya sedatar tembok bahkan kini sedang mengoles coklat ke atas permukaan roti. "Habis darimana?"

Laras bingung, ia tidak ingin berbohong namun tentu tidak akan bagus jika dirinya berkata jujur. "Ke-ke rumah temen."

Luna memberikan satu lapis roti ke atas piring kosong di depan Laras. "Bagus ya, kerumah temen sampai lupa waktu."

"Ma-maaf Tante Luna," kata Laras sembari menundukan kepala, meski Tantenya tidak akan main tangan namun ia tidak bisa menganggap hal itu sebagai kata aman.

Luna mengambil handphone yang ada di samping piring lalu menunjukan kepada Laras. "Lalu ini siapa?"

Laras ingin menghilang detik itu ketika melihat foto dirinya dan pria paruh baya yang memegang tangannya kemarin malam berada di dalam handphone. Kini Laras sama sekali tidak tahu harus berbuat apalagi berkata apa.

"Kamu diambil dari Surabaya sama Om kamu itu buat belajar bukan jadi ******!" Luna menjeda kalimatnya beberapa detik. "Atau kamu emang mau jadi ******, iya?!" Laras menggelengkan kepala, ia sudah menangis dalam sepi. "Tante engga bakal bilang hal ini sama Om kamu, tapi bukan berarti kamu aman! Kamu harus turuti apa yang Tante mau. Mengerti?"

Laras mengangguk pasrah, ia juga yakin jika Tantenya tidak akan meminta hal-hal aneh sedangkan kini Luna menerbitkan senyum kemenangan. "Setelah kamu lulus, kamu keluar dari rumah."

Laras tidak kaget, ia tahu cepat atau lambat memang seharusnya dia hengkang. "Iya Tante."

"Inget perjanjian kita! Dan kamu jangan pernah kembali mengacaukan hidup tante."

"Iya Tante."

"Makan! Setelah itu pergi ke les seperti biasa!" ucap Luna serentak tanpa niatan mendengar kalimat jawaban Laras. "Lima ratus soal matematika sebagai hukuman sudah ada di meja belajar kamu!"

"Iya Tante."

"Jadi orang itu harus tahu diri. Jangan buat uang yang Om kamu keluarkan hanya jadi angin! Belajar bukannya jadi wanita malam!"

...»»--⍟--««...

Bagaimana dengan part ini?

19 Juni 2022

Terpopuler

Comments

IK

IK

mulut nya ga dskolahin

2022-12-23

0

IK

IK

edan 500 soal

2022-12-23

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!