Khawatir

+62xxx

Red. Kamu dimana?

Seminggu sudah berlalu. Nomer ponsel gadis pengganggu itu selama enam hari tidak aktif. Kenapa baru sekarang, di akhir pekan pula Sea harus menghubungi Red segala.

Kekhawatiran pemuda Ardibrata sudah kadaluarsa ngomong-ngomong.

Bagaimana tidak.

Masih ingat liburan menyebalkan di lombok pekan lalu? Dimana Red mendapati kedua pergelangan dengan memar membiru pada gadis itu? Disaat Red kebingungan menggedor pintu kamar Sea untuk menuntut penjelasan, gadis itu seakan tuli, tidak perduli.

Red sampai menunggui ber-jam-jam dan berakhir sia-sia sebab kedua remaja yang super riweh yang hampir kelupaan atensinya memaksa Red untuk menemani keluar buat jalan-jalan. Sepulang ketiganya dari acara malam mengasyikkan, tanpa disangka, satu pesan membuat darah Red naik pitam—Sea berpamit duluan, gadis itu mengatakan bahwa dirinya sudah berada di Negara sebelah—Singapura—meninggalkan Red, Sky dan Blue di Lombok dalam keterkejutan, sialan bukan.

Red:

Gue lagi bareng Rubby. Jangan ganggu.

Kali ini Red tidak akan sudi untuk menuruti kemauan Sea lagi. Red segera memasukkan ponselnya kembali saat selesai membalas pesan dari nomer yang masih belum dipersilahkan diberi nama dalam ponselnya.

"Siapa?"

"Nggak penting."

Rubby diam. Gadis itu tak mungkin akan bertanya jika tak melihat raut kesal wajah kekasihnya setelah satu dentingan ponsel mengganggu acara mereka berdua yang sedang menikmati movie dari aplikasi Netflix.

Red sepagi tadi sudah mendatangi apartemen Rubby. Meminta makan, halah, itu hanya alasan, pasalnya Red sangat merindukan gadis pujaannya. Tapi jika itu menuntut urusan perut seperti awal, Red tetap memaksa Rubby untuk memasak makanan.

"Kamu ditanyain mama, kapan mau main kerumah, lama nggak main katanya." Red mengalihkan topik.

"Nggak dulu ya." jawab Rubby, gadis itu memalingkan muka lagi pada layar besar di depannya. Red total dianggurkan.

Red praktis Bingung. Pasalnya Rubby nampak ragu dalam menjawab meski gadis itu telah menolak. "Kenapa?"

"Yang jelas, aku pasti bakal lempar Sea pakai panci mama Kirana kalau sampai cewek itu tiba-tiba muncul dirumahmu. Dan aku belum siap buat ngelakuin hal keji itu."

Sontak Red tertawa. Perkara Sea belum berakhir di benak Rubby-nya. Ya mana ada sih yang rela pacarnya di sandera terus-terusan.

"Kamu gemesin tau."

"Iya gemesin. Terus kalau misal aku jadi lempar Sea pakai panci, bisa jadi mama Kirana masukin aku dalam daftar hitam calon menantu, dan aku nggak mau itu terjadi. Kamu ngertiin dong, aku sudah sabar banget ini."

Red hanya mengulum senyum, jemarinya menyisir rambut hitam legam milik Rubby. Red paham dan tak mau menjawab atau menambahi apapun. Jika Rubby sudah cerewet begini, gadis itu cuma ingin di mengerti tanpa Red harus menasehati.

Sedangkan hati Rubby masih berkecamuk benci. Meski sudah berkali-kali Red mengatakan jika Sea hanya dianggap teman biasa, tetangga dekat dan hanya akan berakhir menjadi kerabat, tapi tak menampik kemungkinan jika kekasihnya itu berjodoh dengan Sea. Takdir mana ada yang tau.

Tapi, ngomong-ngomong soal takdir, mau Rubby menali erat benang merah bersama Red, jika Tuhan memutus paksa mau bagaimana?

*+*62xxx

Aku lagi di cafe. Kamu nggak mau kesini, bagus tempatnya. Aku tunggu.

*+*62xxx

Share location

Kali ini Rubby menyaut ponsel Red yang baru saja pemuda itu keluarkan dari celana. Gadis dengan overprotective tinggi itu kian meradang melihat pesan masuk yang sudah dipastikan dari Sea.

"Kali ini, kamu mau pergi?"

Senyum kotak khas pemuda Ardibrata kesayangan Rubby melebar, membuat gadis itu tambah semakin panas di dadanya. Tapi gelengan pelan dari kekasihnya membuat Rubby mendadak lega.

"Kalau sampai kamu pergi. Aku nggak tau mau gimana lagi."

"Misalnya?"

"Ya nggak tau. Kan aku ngomongnya nggak tau lagi."

Red mengangguk-angguk. "Berarti aku boleh pergi dong. Kamu kan nggak akan ngapa-ngapin."

"Kamu masih berani mau pergi, ya udah sana pergi, kita pu.."

Satu kecupan mendarat, membungkam Rubby yang akan melemparkan badai mengerikan. "Jangan pernah ngucapin kata itu. Aku nggak suka." suara dalam dan aura mematikan membuat Rubby hanya mengedipkan mata berkali-kali, jika sudah begini, maka Rubby tak harus menimpali, tahu betul jika kekasihnya lebih dari pada serius.

Red sangat tidak suka jika harus mendengar kata putus dari Rubby. Apapun, apapun sudah Red lakukan. Jika ditanya kenapa akhir pekan Red selalu datang menemui Rubby daripada hal lainnya? Misal bertemu dengan teman-temannya atau menghabiskan waktu bersama keluara, ibu atau adiknya?

Semua hanya demi Rubby.

Alasan Red tidak punya teman banyak, khusunya perempuan hanya karena Rubby yang terlalu cemburu dan suka menaruh curiga, bahkan sejak keduanya duduk di bangku SMA, siapapun yang mendekati Red, tak segan-segan Rubby damprat secara langsung.

Parahnya, sampai sekarang, Red tidak bisa memiliki teman perempuan, yang selalu berada di dekatnya dari dulu hanya Sky. Tapi semenjak enam bulan yang lalu hadirlah Sea yang memang tak bisa ia abaikan seperti gadis-gadis lainnya.

Bagi Red saat ini hanyalah bagaimana ia harus tetap dekat dengan Rubby dan tak membuat gadis itu kecewa padanya, karena jujur, Red sudah jatuh terlalu dalam.

"Edward minggu depan mau ngajak main, eh bukan main sih, tapi ninjau lokasi sekalian pulang kampung."

"Ke Bandung?"

Red mengangguk. Edward adalah mitra bisnis sekaligus teman. Rubby kenal, sangat malah, ketiganya satu SMA di Bandung dulunya.

Perlu digaris bawahi. Hanya teman laki-laki yang bisa menempel kepada Red, itupun harus dengan persetujuan Rubby.

"Edward nggak ada niat cari pacar?"

Red praktis menoleh. Tumben kekasih cubby-nya ini perhatian akan nasib Edward yang menjomlo sejak embrio.

"Ada niat, tapi ya susah dapetnya, katanya nggak ada yang buat dia tergoda."

"Sejelek-jeleknya Edward aku yakin setan juga pernah godain dia."

Red hanya tertawa, kenapa Rubby jadi random begini. Apa benar efek cemburunya kepada Sea membuat Rubby benar-benar terserang zelophobia?

Kalau begitu, Red harus lebih tegas lagi untuk membentengi diri.

***

Red memarkir mobilnya, waktu menunjukkan pukul lima sore saat ia baru saja sampai di depan rumah. Hari sabtu ini sangat sukses ia habiskan dengan Rubby meski memang mengharuskan pemuda itu untuk tetap pulang, tapi lumayan bukan, sedari pagi buta sampai jam lima. Setidaknya masih ada sisa waktu untuk bercengkrama dengan Kirana, ibunya.

Red lebih bijak dibandingkan dulu. Sudah tidak pernah lagi menginap sesuka hati di apartemen Rubby. Semenjak Daren, ayahnya, berpulang ke pangkuan Tuhan. Red seperti mendapat teguran, seakan diingatkan jika waktu bersenang-sedang sudah habis.

Umur semakin bertambah, tanggung jawab juga semakin besar. Peninggalkan Ardibrata tidak main-main, jika Red ceroboh sedikit saja, ia tidak akan punya apa-apa untuk menunjang kehidupannya.

Diawal memang sangat mengawatirkan, kurang lebih sejak enam bulan yang lalu, semenjak ayahnya meninggal, ia harus kelimpungan mengurusi perusahaan, tapi untung seribu untung, ada Davis, sahabat ayahnya sekaligus tetangga yang suka rela membantu.

Ngomong-ngomong soal Davis, pria paruh baya itu sedang bejalan menuju ke arah Red yang baru saja keluar dari mobilnya.

"Sore om."

"Lho. Sea mana? Om ada perlu, om telfon hp-nya mati, om juga telfon kamu, tapi hp-mu juga mati."

"Sea nggak sama aku om."

"Gimana to? Tadi katanya pamitan mau pergi sama kamu."

Mampus. Red benar-benar mengabaikan Sea ternyata. Pasalnya semenjak pukul sembilan pagi Sea mengajak Red untuk bertemu di cafe.

Apa gadis itu masih disana?

"Enggak om. Aku nggak ketemu Sea."

Davis tak menuntut penjelasan apapun lagi, pria agak kebulean tapi berbicara dengan aksen jawa itu langsung merogoh ponselnya, menghubungi Bambang, pihak kepolisian untuk segera mencari Sea. Terkesan berlebihan, tapi anak gadisnya yang satu ini memang sesekali harus mendapatkan kejutan, Davis sudah teramat sering dibuat geram karena Sea sering sekali mendadak hilang, dan beberapa hari baru pulang.

Sedangkan Red membuka ponselnya yang memang sengaja ia matikan agar tak diganggu oleh Sea, ternyata keputusan Red adalah kesalahan besar. Sial. Benar kata Om Davis, ponsel Sea tidak bisa dihubungi.

"Om, aku cari di tempat-tempat dekat, atau yang biasanya dikunjungi Sea."

"Iya, cepat kamu cari sana, seret pulang kalau perlu."

Red bergidik ngeri mendengar kegeraman Davis. Tapi Red juga merasa bersalah. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Sea. Dada Red tiba-tiba nyeri saat membelokkan mobil ke arah kiri, ingatannya kembali pada pekan lalu, dimana ia menemukan pergelangan tangan Sea yang membiru, mendadak perasaan tidak enak berkumpul jadi satu dan membuat hati Red ngilu.

Red takut.

Red berhenti. Membuka ponselnya kembali. Melihat lokasi cafe terakhir yang dikirimkan Sea untuknya. Tidak terlalu jauh dan Red segera bergegas untuk mendatangi tempat itu.

Nihil.

Sea tidak ada di tempat.

Red:

Lo kemana bangsat?

Pending.

Red:

Brengsek, jawab gue.

Pending.

"Sial."

Red memutar kemudi lagi. Sekarang pemuda itu menuju perpustakaan umum di penjuru kota Jakarta. Sea sangat gemar duduk berjam-jam di tempat surganya ilmu. Cih, sok rajin. Bahkan Red saja tidak tahu Sea itu kuliah apa tidak, atau sudah lulus apa belum, entahlah, setidak-perduli itu Red kepada Sea.

Satu-persatu sudah Red datangi, tapi nihil, tidak ada, bahkan Red sudah keluar semenjak dua jam hanya untuk memutari kota Jakarta.

"Sky, sudah ketemu?" Red mengangkat telfon dari Sky, tanpa basa-basi pasti adik dari Sea itu juga tahu dengan kabar menghilangnya Sea.

"Lo apain kakak gue, bang?"

"Gue nggak ngapa-ngapain, cuma nolak buat ketemu. Lo tahu sendiri, ini akhir pekan Sky. Nggak harusnya gue ninggalin Rubby seperti minggu lalu 'kan?"

"Ya-ya, gue tau sih bang, tapi kan lo nggak harus nolak, setidaknya temuin kek, anterin pulang kek, kak Sea baru aja balik dari Singapura dan cuma pengen nemuin lo doang, dirumah ribut nih, mama nangis tau. Gue nggak akan bilang kalau ini gara-gara lo. Tapi jaminannya lo harus nemuin kak Sea. Gue sayang lo, tapi gue lebih sayang kakak gue."

Sial.

Panggilan ditutup sebelum Red sempat menjawab atau setidaknya menyangkal. Semua memang gara-gara Sea. Tapi lebih daripada itu, atau marah saat ini tidak perlu, Red kembali menancap gas lagi untuk melanjutkan mencari Sea.

Lelah.

Red berhenti dibawah pohon. Mengurung kepala di atas setir. Sedikit meredakan pikiran khawatir. Pemuda itu membuka ponselnya lagi.

Red:

Se, lo kemana sih?

Read.

Line dari Red dibaca oleh Sea. Sialan memang. Red langsung menelfon gadis itu.

"Lo kemana aja sih?"

"Kamu kenapa? Kok teriak."

"Sialan, kemana lo? Gue jemput?"

Sea memang gadis tidak tahu diri. Sesantai itu menjawab teriakan keras dari Red. Tidak tahukan Sea jika Red saat ini sudah kelimpungan mencarinya.

"Jangan! Aku nggak pulang."

"Setidaknya ngomong. Ngomong sama om Davis, atau tante Sekar. Biar orang-prang nggak khawatir goblok."

Red total marah. Kata kasar memang sudah tidak bisa disaring lagi. Sea masih diam dan semakin membuat Red geram. "Kemana lo? Kenapa hape lo mati sedari tadi?"

"Maaf Red. Aku nggak sempet bawa wifi."

Dada Red seperti berhenti berdetak. "Lo sekarang dimana?" Tanyanya lebih tegas.

Lupa bawa wifi!!!

Kemana lagi? Pasti diluar Negeri. Gadis itu kelayapan kemana lagi? Ya Tuhan. Red semakin lama semakin harus ikut campur tangan kah? Kenapa hal-hal seperti ini harus ditemuinya lagi.

"Ak-aku di Thailand. Tapi aku punya alesan kok. Temenku Lala, orang Thailand tadi telefon, katanya besok ada Songkran Water Festival, aku pengen banget lihat secara langsung, jadinya..."

"Jadinya lo sampai lupa kalau semua orang bakalan khawtir dengan tingkah tolol lo itu. Sea, gue bener-bener muak sama lo. Lo pulang sekarang, atau gue susul, gue seret sampai ngesot tanah lo."

"Enggak. Jangan Red. Oke. Aku telefon papa buat ngabarin, sumpah, aku emang belum sempet dapet wifi. Kamu stay oke. Tapi kamu sekarang dimana?"

Sekali lagi, kenapa sih Sea tidak bisa berteriak sama seperti bagaimana Red meneriakinya. Red jadi bingung katena tidak bisa marah dengan terus-terusan.

Tutur kata Sea memang seperti gadis terhormat, tersusun rapi dan teramat berwibawa, berbeda dengan kelakuannya yang seenaknya saja. Terkadang Red sedikit luluh jika Sea hanya menimpali dengan khas kalemnya.

"Gue di pinggir jalan. Dua jam nyariin lo."

"Kamu pulang. Aku bener-bener minta maaf. Ya. Maafin aku. Ya udah aku tutup. Aku mau telefon papa dulu."

Red merebahkan punggung di di kursi kemudinya, memejamkan mata sembari menaruh ponsel yang baru terputus sambungan telephone.

Perasaan khawatir yang menyerbu dadanya dengan sangat mudah berganti menjadi murka. Red tidak tahu pasti, kenapa dirinya teramat risih dengan kehadiran Sea tapi juga sangat khawatir jika gadis itu kenapa-napa.

Terpopuler

Comments

Dedo

Dedo

Kasaaaar red

2022-12-16

0

Dedo

Dedo

Wkwkwkw wajar kan cemburu, sea gitu sih

2022-12-16

0

Sarah

Sarah

Sea diluar nalar

2022-12-14

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!