Moon

Moon

Memulai Masalah

...M O O N...

..."Seperti menggenggam bunga mawar dalam pelukan, semakin erat, semakin duri menancap dengan tajam."...

...p r o l o g u e...

Matahari menyongsong agak terik saat kaki jenjang berbalut sepatu—Betty Pumps on Patent Leather—dengan desain mengkilap berjalan melewati setapak tanah yang disamping sisinya tumbuh rumput hijau segar. Kaca mata hitamnya ditarik kebawah, menelisik dari kejauhan, bola mata cokelat cerah itu menatap segumbulan orang melayat yang satu-persatu mulai bersiap untuk meninggalkan tempat.

"Hampir sepi. Untung saja nggak telat."

Pijakan demi pijakan ia lanjutkan, rambut pirangnya pun ikut terbuai akibat hembusan angin. Tubuh dengan kulit cerah itu terbungkus baju hitam. Huft. Memang benar, warna gelap sangat cepat menyerap panas. Terbukti, peluh di dahi bercucuran tanpa henti.

Seakan menjumpai titik temu, satu tangan itu menjulur ke depan, menepuk sebidang bahu. "Sky." panggilnya pelan, sangat pelan.

"Kak Sea!!!" gadis bernama Sky menoleh lantas terpekik, tapi untung bisa ditahan. Jika tidak, bisa mengganggu ketenangan.

Rose Sea Martin, baru tiga puluh menit yang lalu menginjakkan kaki di pintu utama rumahnya, seorang bibi pembantu rumah tangga langsung memberikan kabar duka; bapak Daren Calvin Ardibrata, kepala keluarga yang menempati hunian tepat disamping kanan rumahnya telah berpulang akibat serangan jantung. Lantas Sea bergegas untuk ikut berbela sungkawa karena Mama, Papa dan Adik perempuannya sudah berada di sana.

"Kok kamu atau lainnya nggak ngabarin kakak kalau Om Daren berpulang?"

"Harusnya aku yang tanya. Kenapa kak Sea nggak ngabarin kalau mau pulang ke Indonesia? Gila!!"

Mulut Sea praktis mengatup. Rencananya memang untuk kejutan, makanya ia enggan memberi kabar. Ya sudah. Namanya juga musibah, meski belum bisa berpelukan senang karena tidak sopan bahagia di atas kesedihan orang lain, Sea beralih menatap tanah dibawah untuk mengucapkan doa.

Sea tahu, adik perempuannya itu masih melihatnya dengan tatapan tajam. Ya bagaimana tidak. Sea pantas mendapatkannya. Pasalnya memang ia yang kelewatan. Pulang ke Indonesia adalah hal paling langka yang akan dilakukan oleh Sea. Setidaknya, menurut Sky, ia harus memberitahu, agar si Adik bisa memberi penyambutan dengan baik.

Pundak Sky tertarik keatas lalu kebawah, bersamaan itu, ia meloloskan helaan napas halus. Meski kesal, Sky juga teramat bahagia.

Satu tetes air mata turun di pipi Sea saat suara isak masih saja ia dengar. Jika Sea ingat, istri Almarhum Om Daren-lah yang menagis sembari bersimpuh diatas gundukan tanah, tante Kirana namanya. Meski belasan tahun tak bertatap muka, wajah awet muda tante Kirana tidak Sea lupa.

"Mama." gumam Sea.

Tatapan Sea tak berpaling saat wanita paling dicintainya terekam jelas di depan sana, menenangkan Tante Kirana, menaruh kepala Tante Kirana dibahunya. Itulah gunanya sahabat. Sea juga tidak pernah lupa asal muasal bagaimana rumah besar orang tuanya bisa bersejajar dengan keluarga Ardibrata, tak lain dan tak bukan karena sudah direncanakan, dengan dalih—persahabatan—cukup klasik.

"Kakak nggak mau kesana?" Sky bertanya.

"Nanti saja kalau kerumunan sudah sedikit longgar. Kamu mau kesana dulu?"

Sky mengangguk. Pikir gadis itu sudah cukup bersembunyi dibalik punggung para pelayat lainnya. Alasan Sky melakukan itu karena ia tidak kuat melihat  Tante Kirana yang tidak bisa berhenti menangis. Sky memikirkan hal yang iya iya, seperti, bagaimana jika Papa-nya yang saat ini berdiri gagah sembari menepuk pundak Bang Jared mengalami hal yang sama? Meninggalkan dirinya saat ia masih sangat muda.

Sky merinding lantas menggelengkan kepala cepat, menghilangkan bayangan mengerikan.

Sky berjalan lurus menuju kearah Blue, putra kedua keluarga Ardibrata. Laki-laki itu sok tenang, sok kuat, sok sabar. "Blue. Lo mau nangis nggak apa-apa kok. Sini gue peluk. Hari ini gue baik sama lo, nggak tau deh kalau besok."

Blue praktis menggeleng saat Sky membuka lebar tangannya, laki-laki seperti dirinya tidak boleh menangis. Ia tidak mau dicap cengeng seperti Abang-nya. Lihat, pemuda berumur 26 tahun itu tak berhenti mengeluarkan air mata, sama persis seperti Mama-nya. Tak sampai disitu saja, Om Davis sampai ikut campur hingga melibatkan tangannya untuk menepuk pundak yang katanya gagah itu berkali-kali.

Sky masih tak mengubah posisi. "Beneran nggak mau? Gue nggak pernah ngasih penawaran kedua."

Lantas, entah angin dari mana, atau bisikan setan yang mendengung di telinganya mengingat tempat ini adalah pemakaman, Blue menerima pelukan yang ditawarkan oleh Sky. Masih dalam kontek aman, tidak macam-macam, sekedar sentuhan menguatkan, bukan sentuhan akibat hasutan setan yang akan berlari ke arah yang tidak benar.

"Life goes on, Blue. Masih ada mama lo, abang lo, keluarga gue. Lo nggak usah pura-pura kuat, nggak jago akting bodo. Nangis aja, gue nggak bakal bilang ke anak-anak kok, dengan lo nangis bukan berarti lo cowok lemah. Lo tetep ketua basket SMA Hype yang keren dan jago, yang selalu menang di setiap pertandingan, selalu menyabet MVP di setiap turnamen."

Bukannya tenang menangis dalam diam. Setelah Sky mengatakan kalimat cukup menggelikan itu, alih-alih mengabaikan, Blue justru terisak dalam pelukan, punggungya naik turun, suaranya berubah parau, alhasil, lendir yang sudah bercampur air mata menempel dan bersahabat baik dengan rambut kecoklatan milik Sky.

Ya Tuhan, beri hamba kesabaran yang berlipat ganda. Itu adalah doa Sky yang hanya terucap di dalam hati saja. Sebab, tubuh ingin memberontak namun otak menolak. Sembari menepuk-nepuk pelan punggung Blue dengan sabar, diam-diam Sky merelakan rambut wanginya basah, anggap saja hadiah dari Surga karena membantu anak tetangga menuntaskan kesedihannya.

Sedangkan Sea terpaku dengan pemuda yang berdiri di samping Papa-nya.

Dulu, saat malam datang. Di atas hamparan hijaunya rumput yang sedikit lembab akibat embun. Dua anak manusia merelakan bokongnya basah hanya untuk menikmati tempaan cahaya bulan yang sedang menyamar menjadi penerang.

Sea sempat menyalah-pahami bahwasanya orang yang selalu dipikirkan dengan perasaan suka yang tersimpan tepat saat ia menatap bulan adalah dia, namun nyatanya tak bertahan begitu lama, hingga berlarut dan meninggalkan kenangan yang biasa saja, rasa itu telah terlupa dengan mudahnya.

Itu semua bukanlah kisah istimewa. Hanya pertemanan masa kanak-kanak yang patut terhapus oleh masa.

Seperti sekarang. Tak saling mengenal, dan terasa asing untuk menyapa.

Tapi, Sea mendapati sesuatu yang berbeda.

Tampan.

Hanya satu kata itu yang terlintas di otak nakalnya. Rencana bercabang lantas muncul tanpa ampun. Sea seperti tahu bagaimana caranya pulang, bagaimana caranya memulai permainan, bagaimana caranya membuat hatinya senang.

Meski hanya sementara.

Karena Sea butuh obat segera. Maka, pilihan ia jatuhkan kepadanya. Kepada dia yang selalu Sea ingat hanya tiap kali ia memandang bulan—Arve Jared Ardibrata.

"Red," gumamnya, kedua sudut bibir Sea tertarik keatas sembari menatap pemuda yang ia sebut namanya dengan dalam, kedua pergelangan tangannya yang memar membiru namun tertutup balutan panjang ia elus dengan pelan. "Sorry, I'll trouble you after this."

Terpopuler

Comments

Dara

Dara

As always Opedee...novelmu selalu penuh kejutan...cerita yg lain daripada yg lain dg alur yg sangat keren...Te O Pe👍👍💖💖💖💖💖

2023-01-26

0

Fin

Fin

Gila, ada apa ini dgn Sea

2023-01-04

0

Fin

Fin

Baru nemu, bagus nih

2023-01-04

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!