Mobil Yuta sudah berhenti di depan rumahku. Dan aku sedang bersiap melepaskan sabuk pengaman yang melilit di perutku. Tapi, masih ada hal yang mengganjal di kepalaku.
“Yuta... Aku tidak ingin menyakitimu. Dan aku sama sekali tidak berniat memberimu harapan kosong. Sejak awal aku sudah menegaskan komitmenku padamu dan kau bilang kau mengerti. Tolong jangan memberatkan hatimu sendiri seperti itu. Kau membuatku merasa bersalah.”
“Aku tidak apa-apa. Dan aku juga mendukung komitmenmu itu. Kamu hanya perlu tau satu hal. Kalau aku akan menunggu komitmen itu berakhir dan menikahimu. Itu komitmenku.”
“Yuta...”
“Jangan melarangku, Ra. Kamu sama sekali tidak berhak melakukannya. Kamu tidak punya ranah untuk menghentikan perasaanku. Aku yang paling mengerti tentang hatiku. Jika kau begitu kuat dengan komitmenmu, begitu juga denganku. Jadi jangan melarangku.” Tegas Yuta.
Aku hanya bisa menundukkan kepala saja. Menatap mata Yuta membuatku merasa bersalah. Aku tidak kuat. Dia pria yang baik dan aku tidak ingin menyakitinya.
Bahkan rencana Yuta sudah melesat jauh ke depan. Padahal kami baru semester pertama masa perkuliahan. Angan-angan rumah tangga masih jauh dari hayalanku.
Aku mengalah dengan ucapan Yuta karna sudah tidak tau lagi harus berkata apa. Yang penting aku sudah menegaskan kalau aku sama sekali tidak berniat memberinya harapan kosong apalagi sampai menyakitinya. Jadi, tugasku sudah selesai.
Masalah bagaimana Yuta menata hatinya itu urusannya. Aku tidak berhak untuk ikut campur.
“Mau masuk?” Aku menawarkan Yuta.
Yuta nampak melongok ke arah rumahku. Dan kemudian dia melepas sabuk pengamannya dan mengikuti ku turun dari mobil.
“Tumben tante di rumah.” Ujarnya saat melihat mobil ibuku yang terparkir di carport.
Aku mengajak Yuta untuk langsung masuk ke dalam rumah. Mendengar suara ibuku yang sedang berbincang dengan ayah di ruang tamu, aku segera mengajak Yuta kesana.
“Aku pulang.” Aku mengumumkan kepulanganku.
“Hai. Sudah pulang, sayang?” Seperti biasa, ibu menyambutku dengan hangat. Memelukku sebentar setelah aku menyalaminya.
“Oh, ada Yuta juga ternyata.” AyahKu memilih untuk menyambut Yuta.
Yuta tersenyum kemudian menyalami kedua orangtuaku. Lantas ia mengambil duduk di sebelah ayah.
“Tante Lisa dan Om Arya apa kabar?”
“Baik-baik. Tante jadi tenang kalau setiap hari ada Yuta yang mengantarkan Ara pulang.” Celetuk ibu.
Aku diam saja. Yuta memang sudah akrab dengan keluargaku. Karna ibu merupakan penasihat hukum orang tua Yuta yang merupakan golongan pejabat tinggi setempat. Dan kami sudah mengenal Yuta dan keluarganya bahkan saat aku masih duduk di bangku SMP.
“Papa sama Mama sehat?” Tanya ibu.
“Sehat, Tante.”
“Sudah lama kami tidak mampir kesana.” Ayah menimpali.
“Sindi! Tolong buatkan minuman, ya.” Perintah ibu kepada asisten rumah tangga kami.
Minuman sudah terhidang di atas meja. Ayah, ibu dan Yuta, mereka mengobrolkan apapun yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Sementara aku memilih untuk diam. Karna kalau aku ikut masuk dalam pembicaraan, yang ada malah aku yang menjadi bahan pembicaraan.
Ayah dan ibuku suka sekali mengolok-olokku sebagai calon istrinya Yuta. Astaga, seolah semua orang di sekitarku berharap aku menikah dengan Yuta. Walaupun aku tau itu hanya sebatas candaan mereka saja padaku.
Tidak ada tempat istimewa dihatiku untuk Yuta. Tidak untuk sekarang. Soal nanti, aku tidak tau.
“Sudah hampir malam, Tante, Om. Aku pamit pulang dulu.”Akhirnya Yuta mengucapkan kalimat yang sejak tadi ku tunggu-tunggu.
“Tunggu makan malam dulu baru pulang.” Cegah ibu.
“Terimakasih banyak, Tante. Tapi lain kali saja.” Yuta menolaknya dan aku tersenyum.
Berada bersama Yuta membuatku sedikit kurang nyaman. Seberapapun dia berkata kalau aku tidak perlu ambil pusing soal perasaannya, tetap saja, itu membuatku tidak nyaman.
“Sana antarkan Yuta.” Ibu mendesak dan memaksaku bangkit dari singgsana nyamanku dengan terus menyenggol lenganku.
Walaupun malas, aku tetap menuruti permintaannya dan mengantarkan Yuta sampai di depan rumah.
“Besok pagi tidak perlu menjemputku. Aku tidak ada kelas pagi.” Ujarku memberitahu.
“Oke. Kalau begitu aku pulang dulu.”
Aku hanya memperhatikan saja Yuta yang sudah pergi bersama dengan mobilnya. Kemudian aku kembali masuk ke dalam rumah. Ayah dan ibu masih di ruang tamu.
“Ara ke atas dulu ya, Yah, Bu.” Pamitku sambil menyambar tasku dari atas sofa.
“Iya.”
“Haahhh.”
Aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang tempat tidur. Berusaha melepas lelah yang kudapat dari seharian beraktifitas di kampus. Bahkan untuk mandi saja, aku merasa enggan sekali. Kalau badanku tidak lengket, mungkin aku akan absen mandi hari ini.
Berendam di air hangat saat hujan-hujan begini, membuat sel-sel dalam tubuhku merasa rileks. Bahkan aku hampir ketiduran di bak mandi.
Selesai berpakaian, aku langsung turun ke bawah untuk bergabung bersama kedua orangtuaku. Hal yang rutin kami lakukan. Yaitu makan malam bersama saat semua penghuni rumah ada di rumah.
Tidak ada bahasan spesial malam ini. Selain kabar perkuliahanku. Sebisa mungkin aku menghindari pembahasan yang menyerempet perihal Yuta. Karna akan jadi panjang ceritanya nanti.
“Dek, kamis depan temani Ibu, ya?”
“Kemana, Bu?”
“Edukasi di sekolah. SMA Halim. Apa kamu ada kuliah hari itu?”
Aku berfikir sebentar. Setelah aku memastikan hari itu jadwalku kosong, aku segera mengangguk pada ibu.
“Oke.” Kufikir lebih baik aku menemaninya ketimbang bingung di rumah seharian tidak ada kerjaan.
Aku sudah menyelesaikan makan malamku. Dan sepertinya tidak ada lagi yang bisa menjadi pembahasan di meja makan.
“Bu, Ara ke atas dulu, ya?” Pamitku.
Aku duduk terpaku di meja belajarku. Menatapi lima panggilan tidak terjawab dari nomor baru yang tidak ku kenal. Seketika ingatanku melayang kepada Awan. Apakah itu nomor Awan? Entah kenapa aku merasa menyesal karna tidak membawa ponselku tadi.
Aku ingin memanggil kembali nomor itu saat ponselku kembali berbunyi. Itu adalah nomor telfon yang sama.
Aku menata nafasku sebaik mungkin. Entah kenapa aku merasa gugup sekali. Padahal belum tentu itu telfon dari Awan.
“Halo?” Sapaku.
Tidak ada suara. Aku mengernyit heran.
“Halooo?”
“Ara?”
Ah, aku mengenali suara itu. Seutas senyum otomatis tersungging di bibirku. Suara Awan tedengar lebih seksi dan dalam saat di telfon. Membuatku langsung terbayang tulang rahangnya yang tegas dengan hiAsan lesung pipi disana.
“Hem?”
“Ah, aku fikir salah nomor karna sejak tadi kamu tidak mengangkatnya. Kemana saja?”
“Maaf. Aku baru selesai makan malam. Aku meninggalkan ponsel di kamar.”
“Ohh. Jadi, sudah siap membahas Rahwana?”
“Rahwana siapa?”
“Terserah padamu. Kau ingin membahas Rahwananya Sinta, apa Rahwananya Ara?”
Aku ternganga.
Rahwananya Ara? Berani sekali dia menyebut kalimat itu. Membuatku berdebar saja. Aku tau kalau sebenarnya Awan hanya menggodaku. Tapi tetap saja, hatiku jadi berdebar mendengarnya.
“Kenapa diam?” Suara Awan membuyarkan lamunanku.
“Baiklah. Ayo kita bahas Rahwananya Ara.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
mayza delita
aku selalu lemah ketika ada pihak k3 yang mendekati sempurna sayang tak selalu bisa bersanding dengan tokoh utama .sedih
2022-11-04
0
rintik
baru kali ini nama asisten rumah tangga cakep hihihi sindi
2022-10-31
1
Ana
apa Awan juga suka sama Ara
2022-10-31
1