Aku yang masih terkejut, berusaha mengendalikan ekspresi wajahku sebisa mungkin. Kemudian berjalan kembali ke kursiku.
“Terimakasih sudah meminjamkanku buku itu.” Ujarku.
“Kisah cinta Ramayana dan Sinta.” Ujar pria itu membaca judul buku itu. “Apa hubungannya kisah cinta mereka dengan perkuliahan?”
“Bukan kisah cintanya, tapi budaya dan perjalanan mereka. Mereka adalah sejarah. Banyak pelajaran yang bisa di ambil dari buku itu.” Jelasku kemudian. Kini aku telah selesai mengemas laptop dan merapikan buku-buku.
“Kalau begitu, kau pasti juga tau tentang Rahwana?” Tanyanya. Ternyata dia setertarik itu dengan bukunya.
“Tentu saja. Siapa yang tidak tau tentang kisahnya? Dia jatuh cinta pada Sinta yang merupakan reinkarnasi dari wanita yang di cintainya. Sudah ya, aku harus pergi. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya.” Ujarku dengan segera. Aku ingin segera mengakhiri kebersamaan canggung itu secepat mungkin. Lantas aku segera beranjak meninggalkannya. Sebelumnya, aku telah menyodorkan buku itu kehadapannya terlebih dahulu.
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuanku dengan pria yang bahkan lupa kutanyakan namanya itu.
Hari ini, seperti biasa, aku kembali ke perpustakaan untuk sekedar membaca buku di sela-sela waktuku menunggu jam pelajaran berikutnya. Karna aku malas untuk pulang ke rumah yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampusku.
“Hai. Ketemu lagi.” Sebuah suara mengejutkanku saat aku sedang duduk di salah satu meja di dekat jendela. Aku melihat kepada pria yang menyapaku itu. Wajahnya seperti familiar bagiku. Tapi aku tidak bisa mengingatnya.
Salah satu kelemahanku adalah, aku sulit menghafal wajah orang yang baru kutemui sekali dua kali. Tapi garis rahang tegas itu, mengingatkanku pada pria perpustakaan kemarin lusa.
“Oh, hai.” Sapaku kemudian. Kini aku sudah mengingatnya. Hal yang jarang terjadi padaku setelah bertemu sekali dengan pria itu. Aku bahkan tidak tau namanya.
“Sedang apa?” Tanyanya.
“Mengerjakan tugas, lagi.” Jawabku. “Apa kau kemari untuk mengembalikan buku?”
“Bagaimana kau tau?” Dia nampak heran dengan tebakanku.
“Kemarin kau yang memberitahuku. Apa kau lupa?”
“Ah, begitukah? Aku kurang ingat.” Ujarnya.
Jawaban polosnya itu membuatku terkekeh kecil. Dia lantas mengambil duduk di depanku seperti kemarin.
“Apa kau mendapat nilai bagus untuk tugasmu kemarin?” Tanyanya.
Kali ini, sikap pria itu terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kalau kemarin dia terkesan angkuh, tapi kali ini, dia ramah sekali dengan menyapaku terlebih dahulu.
“Hem. Berkatmu.” Jawabku sambil mengangguk.
“Tapi ngomong-ngomong, siapa namamu?” Tanya pria itu pada akhirnya. Sepertinya ia sedikit tertarik denganku.
“Kuara, Intan Kuara.” Jawabku sambil mengulurkan tangan. Aku baru ingat kalau kami belum tau nama satu sama lain.
“Awan.” Jawabnya sambil menyambut uluran tanganku di atas meja.
“Awan?” Apa aku salah dengar? “Awann.....” Aku menunjuk ke arah langit. Karna saat dia menyebutkan kata ‘Awan’, Awan di langitlah yang pertama terlintas di kepalaku.
Awan hanya terkekeh saja melihat ekspresiku yang seperti tidak mempercayainya. Ya aku memang tidak mempercayainya.
“Ya, bisa dibilang begitu.”
“Namamu tidak umum.” Ujarku
“Kan?” Awan nampak bangga dengan itu.
“Jadi, Awan, apa kau menikmati kisah Ramayana dan Sinta?” Tanyaku kembali. Aku penasaran tentang caranya menangkap buku yang dia baca.
“Tidak terlalu. Aku lebih tertarik dengan Rahwana.”
“Rahwana? Kenapa?” Jawabannya di luar ekspektasiku. Bagaimana bisa dia tertarik dengan tokoh ‘antagonis’ itu? Bukan tokoh utama, tapi tokoh antagonis? Sungguh hal yang tidak biasa menurutku.
“Bukankah kisah cintanya terdengar tragis? Ia adalah pria setia yang hanya mencintai satu wanita. Dan ia kembali jatuh cinta pada wanita yang sama saat wanita itu bereinkarnasi menjadi Sinta. Cintanya konsisten, tapi kenapa ia harus mati demi cintanya itu? Aku sama sekali tidak habis fikir.” Dengus Awan tiba-tiba. Membuatku ternganga. Ternyata pandangan dan simpatinya terhadap sosok Rahwana begitu dalam.
“Hahahahahaha.” Aku hanya bisa tertawa lirih melihat Awan yang nampak sebal itu.
“Jadi, apa kau fikir Rahwana harusnya bisa hidup bahagia dengan Sinta? Kalau begitu, lantas jodohnya Rama siapa dong?” Tanyaku sambil menahan tawa. Pria ini, lucu sekali.
“Rama bisa cari wanita lain kan?” Bela Awan. Jelas dia berada di sisi Rahwana.
“Rahwana juga bisa mencari wanita lain dan memberikan cintanya kepada wanita lain itu, kalau dia mau. Masalahnya dia tidak mau.” Jawabku asal.
Perasaan menggebu untuk berdebat dengan pria itu sedang memenuhi dadaku. Aku merasa tertantang dengan ungkapannya. Bukan karna kau membela salah satu tokoh buku itu. Tapi aku merasa pendapat Awan berbeda dengan yang lain dan itu memberiku tantangan tersendiri.
Dan kami memperdebatkan hal itu sampai satu jam lebih. Kalau perutku tidak terasa lapar, mungkin kami masih akan melanjutkannya sampai entah kapan. Rupanya Awan juga merasakan hal yang sama. Ia juga lapar.
Akhirnya, Awanlah yang lebih dulu mengajakku untuk makan di cafe di seberang perpustakaan. Dan disana, aku masih penasaran dengan kelanjutan perdebatan kami. Dan sampailah kami pada pembahasan nama.
“Tapi, aku masih tidak percaya dengan namamu.” Ujarku pada akhirnya. Aku benar-benar meragukan namanya.
“Namaku Rahwana.” Jelas Awan sambil menyeruput es teh yang baru saja di antarkan oleh pelayan.
“Uhuk. Uhuk.” Aku tidak jadi meminum minumanku setelah mendengar jawabannya. Aku sangat terkejut. Aku fikir, dia masih ingin bercanda denganku lagi. “Rahwana?” Tanyaku meminta kepastian. Pertama Awan, dan sekarang malah Rahwana? Yang benar saja.
“Kenapa? Tidak percaya?” Tanya Awan sambil tetap memakan makanannya.
“Kau punya selera humor yang tinggi.” Aku sama sekali tidak mempercayai Awan.
“Kau benar-benar tidak percaya?” Dia menatapku sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.
“Bagaimana aku bisa percaya? Namamu Awan saja aku sudah sulit percaya. Sekarang malah di tambah dengan Rahwana? Apa karna kita sedang membahas Rahwana? Jangan bercanda begitu.”
“Aku tidak bercanda.” Dan wajahnya nampak sangat serius saat berkata seperti itu. Aku jadi mengernyit ragu padanya.
Awan mengeluarkan kartu tanda pengenalnya. Sebelumnya ia menutupi hampir seluruh identitasnya kecuali nama depan dan fotonya. Ia menunjukkan padaku kartu itu sampai aku benar-benar bisa membaca namanya dengan jelas.
“R a h w a n a.” Aku mengeja namanya dengan setengah bergumam. “Benar? Waaahhhh...” Aku merasa malu sendiri karna sudah menganggap Awan berbohong perihal namanya. Dan ternyata itu adalah namanya yang sebenarnya.
Bukan apa, aku kagum dengan orang tuanya yang berani menyematkan nama Rahwana padanya. Itu sama sekali bukan hal yang umum apalagi Rahwana terkenal dengan sosok antagonisnya.
“Apa sekarang kau percaya?” Ujar Awan sambil memasukkan kartu tanda pengenalnya ke dalam dompet.
Aku hanya bisa mengangguk sambil ternganga. “Iya. Aku percaya. Hahahahaha.” Aku tertawa dengan sumbang.
Aku dan Awan kembali menikmati makanan kami. Namun tiba-tiba Awan menyodorkan ponselnya tepat di hadapanku.
“Apa?” Tanyaku heran.
“Berikan aku nomor ponselmu.” Pintanya kemudian.
“Untuk apa?”
“Untuk membahas masalah Rahwana.” Seloroh Awan sambil tersenyum.
“Rahwana?” Tanyaku memastikan. Maksudnya dia ingin membahas tentang dirinya? Begitu?
“Rahwananya Sinta, bukan aku. Tapi kalau kau ingin membahas tentangku, akan dengan senang hati. Hahahaha.”
Aku baru memperhatikan kalau ada lesung pipi di kedua pipi Awan. Membuatnya terlihat tambah manis saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
mayza delita
menarik semoga bisa buatku move on dari semesta ray
2022-11-04
0
kimmy
rahwana semoga pesonamu tak kalah dengan rey nya esta
2022-10-31
0
rintik
oke rahwana ,awal yang menarik
akupun makin penasaran dengan sosok rahwana
2022-10-31
0