Kagumku akan ketampanan Awan masih berlanjut. Wajahnya manis dengan garis rahang yang tegas. Postur tubuhnya juga tinggi. Aroma wangi yang menyeruak darinya terkesan menyengak tapi pada saat yang bersamaan juga menenangkan. Aku tau kalau jenis farfum yang di gunakan berharga mahal.
“Aku tidak tertarik membahas Rahwana yang ini.” Balasku sambil terkekeh. Pria ini benar-benar lucu.
Baru bertemu dua kali, namun kami berdua sudah sangat akrab. Hal yang sebetulnya baru kali ini kualami dengan keterbatasanku mengingat wajah yang baru ku kenal.
“Apa kau salah satu mahasiswa disini?” Tanyanya kemudian.
Aku mengangguk seraya menyuapkan suapan terakhir makananku.
“Jurusan?”
“Ilmu Sejarah. Semester pertama. Kamu?”
“Aku? Cuma pria biasa. Hahahahha.” Seloroh Awan. Menyebalkan sekali jawabannya.
“Apa itu? Kau tidak mau memberitahuku?” Aku mendesak.
“Apa?”
“Waah. Apa kau sedang bermain menyembunyikan identitas?”
Rasa ingin tahuku terhadap pria tampan ini sangat besar. Kalau ada kemungkinan, aku ingin mengenalnya lebih jauh dan kalau kesempatan, aku ingin berteman dengannya. Ya, hanya berteman. Karna aku punya komitmen tersendiri untuk rencana masa depanku.
“Hahahahahha. Kau akan tau pada waktunya.” Jawabannya lagi-lagi sangat menyebalkan. Mengambang tidak jelas.
Kami sudah menyelesaikan makanan kami. Dengan tidak mengurangi rasa kesanku padanya, aku menyarankan untuk membayar makanan kami. Aku fikir dia akan menolak saranku. Seperti di drama-drama itu. Pria yang akan membayar semua makanan. Romantis bukan? Kulihat Awan sudah hampir mengeluarkan dompetnya. Ternyata dugaanku benar. Aku tertawa dalam hati.
Aku memang tidak mengharapkan Awan akan melakukan hal itu. Memikirkannya bahkan membuatku merasa geli sendiri.
“Biar aku yang mentraktirmu. Sebagai ganjaran karna kau telah membantuku tempo hari.” Ujarku.
Mendengar ucapanku, Awan langsung memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celananya. Aku terkekeh lucu melihatnya.
“Oke kalau begitu. Sepertinya aku harus sering-sering membantumu agar aku bisa makan enak.” Seloroh Awan kemudian. Aku fikir dia akan menolaknya.
“Hahahaha. Boleh, boleh.”
Selesai membayar makanan di kasir, kami kemudian keluar dari cafe. Kami sama sekali tidak menyadari kalau ternyata rintik hujan mulai turun. Yang akhirnya memaksa kami berhenti di depan cafe untuk menunggu hujan mereda.
“Gawat.” Gumam Awan sambil menengadahkan wajah menatap langit.
“Kenapa?”
“Aku tidak suka hujan.” Imbuh Awan.
“Kenapa?” Tanyaku heran.
“Karna suaranya berisik. Membuatku tidak bisa mendengar apapun. Aku merasa hidup seorang diri di dunia ini.”
“Kau terlalu berlebihan, Awan.” Aku terkekeh mendengar jawabannya. Jawaban-jawaban yang terlontar dari mulutnya sama sekali tidak bisa ku prediksi. “Padahal hujan itu menenangkan. Lihat rintiknya, cantik bukan?”
“Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya karna mereka ada terlalu banyak. Yang mana yang kau bilang cantik?” Seloroh Awan kemudian. Ia pura-pura menajamkan matanya untuk mencari rintik yang cantik. Benar-benar menyebalkan.
“Hahahahahaha. Kau ini pria yang lucu.”
“Aku setuju.” Dan dia juga sangat percaya diri sekali.
“Dan kau besar kepala.” Ejekku.
Awan mengernyit. Ia kemudian memegangi kepalanya dengan tangan. “Apa terlihat jelas kalau kepalaku sebesar itu?”
“Astaga. Itu kiasan, Awan. Bukan berarti kepalamu benar-benar berukuran besar. Jangan berpura-pura bodoh seperti itu.” Aku mendengus kesal. Kesal karna tidak bisa mengimbangi candaannya.
Udara dingin mulai menembusi pori-poriku. Hujan yang di sertai dengan angin membuatnya tersapu ke arahku. Aku yang berdiri di depan Awan reflek memundurkan langkah saat terpaan air hujan berjatuhan ke arahku.
Namun hal yang membuatku langsung membeku adalah, punggungku yang mendarat tepat di dada Awan. Ada perasaan aneh yang tidak bisa di jelaskan yang mampir ke ulu hatiku. Perasaan tidak enak dan canggung.
Seketika aku langsung memajukan langkahku kembali. Namun lenganku di cegah oleh Awan. Dia memegangi lenganku dan menghentikan langkahku.
“Basah.” Ujar Awan yang menarik lenganku untuk kembali ke posisi semula. Memaksa tubuhku untuk kembali mundur dan sedikit menempel padanya.
Aku hendak menolak tapi kakiku tidak bisa di gerakkan. Jujur aku menikmati perhatian aneh itu dari Awan.
Rintik hujan sudah mereda. Meninggalkan genangan di beberapa titik depan cafe. Satu dua pengunjung yang juga menunggu hujan reda sudah pergi.
“Sudah reda.” Lirihku memberitahu. Padahal aku yakin Awan juga mengetahui hal itu juga. Aku hanya ingin memecah kecanggungan yang terjadi. Kulihat Awan mulai bergeser ke sampingku.
Hembusan angin lembab khas setelah hujan mulai menyeruak. Aku merasakan tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Tapi anehnya, wajahku terasa panas sekali.
“Aku akan mengantarmu pulang.” Tawar Awan kemudian.
Aku tersenyum mendengar tawarannya. Kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 14. 22. Ternyata kami lama juga berada di cafe.
“Tidak perlu. Aku masih ada kelas lagi.” Jawabku.
“Sesore ini masih ada kelas?” Dia mengernyit heran.
“Pukul tiga sore. Kelas terakhir hari ini.”
“Waah. Sepertinya dunia perkuliahan sangat merepotkan.” Gumam Awan lagi.
Apa dia tidak kuliah? Apa dia putus sekolah?
“Apa kau akan pulang?”
Awan mengangguk. “Sepertinya aku sudah harus pulang.”
“Baiklah. Sampai ketemu lagi.”
“Aku antar sampai depan. Motorku juga ada disana.”
Lantas kamipun berjalan beriringan menyeberang jalan menuju ke perpustakaan.
Aku mengernyit heran saat Awan berjalan menuju ke sebuah sepeda motor mewah yang terparkir di depan perpustakaan. Dia bahkan mengambil helm fullface merk mahal yang bertengger di atasnya. Benar dugaanku, kalau Awan pastilah berasal dari keluarga berada.
“Waaahh. Kau berniat untuk meminta traktiran sementara sepeda motormu seperti ini?” Ejekku berseloroh. Semoga Awan tidak tersinggung dengan ucapanku.
“Hahahaha. Jangan tertipu. Motor ini orang tuaku yang membelinya. Aku hanya di pinjami. Aku benar-benar tidak punya uang. Belum. Hehehehe.”
“Apa kau pengangguran?”
“Anggap saja begitu.” Seloroh Awan kemudian. Ia tersenyum sampai memunculkan lesung pipinya.
“Baiklah. Karna kau sudah berbaik hati padaku, aku akan mentraktirmu kapanpun kau mau.”
“Aku tau kau gadis yang baik. Terimakasih.”
“Ya sudah. Pergilah. Aku hampir terlambat.” Padahal dalam hati aku masih enggan untuk mengakhiri pertemuan itu. Karna entah kapan aku bisa bertemu dengannya lagi.
Setelah berucap begitu, dengan perasaan setengah berat aku mulai membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Awan. Dalam hati aku berharap kalau pria itu akan memanggilku.
“Kuara!” Teriak Awan.
Senyumku otomatis mengembang saat mendengar dia memanggilku. Lantas aku segera menoleh kepada Awan. Pria itu sudah mengenakan helm dan hanya membuka kacanya saja.
“Apa?!”
“Nanti malam, bolehkah aku menelfonmu?!” Pertanyaan yang membuat senyumanku semakin mengembang.
Aku mengangguk pasti. Kulihat Awan mengacungkan jempolnya kepadaku. Kemudian dia menutup kaca helmnya dan mulai melajukan sepeda motornya. Aku masih menatapi kepergiannya sampai menghilang dari pandanganku.
Setelah memastikan aku tidak lagi melihat Awan, aku kembali melanjutkan langkahku menuju ke gedung Fakultas Ilmu Budaya yang berada tepat di belakang gedung perpustakaan.
Sepanjang jalan, aku terus tersenyum pada diriku sendiri. Memikirkan tingkah Awan yang menurutku sangat lucu, sekaligus aneh. Aku merasa menemukan kecocokan di antara kami untuk menjalin pertemanan.
*
yuk warga,, hari senin nih... votenya... biar aku tambah semangat nabung bab. bulan depan bisa up dobel...yuuhhuuuu...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
mayza delita
cinta pada pandangan pertama ya ara
2022-11-04
0
kimmy
awalnya berteman selanjutnya terserah anda
2022-10-31
0
rintik
ada gk sih pertemanan lawan jenis tanpa melibatkan perasaan
2022-10-31
0