Pelan-pelan aku mendekati Awan dan berdiri di sampingnya. Dia memegang tanganku lalu berdiri di depanku. Dia terus menatapku seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan namun ada sedikit ragu.
"Kas, kita tetap pergi tapi nggak sesuai rencana awal," katanya sambil menatapku takut aku kecewa.
"Nggak masalah, aku ngikut aja," jawabku sambil memberikan senyum terbaikku menunjukkan kalau aku tidak bermasalah dengan keputusannya.
"Tapi kita ke rumah sakit, daddy anfal," katanya dengan mata berkaca-kaca.
"Yakinlah Wan kalau semua akan baik-baik saja," kataku mencoba menghiburnya.
Di dalam mobil suasana hening dan kekhawatiran tampak jelas di mata Awan. Tidak seperti Awan yang biasa ku temui, Awan yang ceria dan suka bercanda. Memang dalam beberapa bulan terakhir ini penyakit jantung yang diderita ayahnya sering kambuh dan mengharuskan untuk rawat inap di rumah sakit. Sesekali ku usap bahunya sebagai bentuk supportku.
Kami tiba di rumah sakit dan di sambut oleh ibunya Awan. Aku masih bisa mengenali beliau, cantiknya awet, masih sama seperti padahal hampir dua puluh tahun berlalu. Hanya saja model rambutnya berbeda, kalau dulu rambutnya tergerai indah, sekarang digelung ala pramugari.
Kami menuju ke kamar pasien, di sana tampak seorang pria duduk bersandar sambil membaca buku. Garis ketampanan terlihat jelas di wajah pria berdarah Skotlandia-Jawa itu. Beliau tersenyum menyambut kedatangan kami.
"Daddy nggak papa, cuma disarankan istirahat," kata ibunya sambil menata bantal supaya ayahnya bisa nyaman duduk bersandar.
"Tadi Mbak Anti telepon katanya daddy nggak bangun-bangun," kata Awan sambil berdiri mendekati ayahnya namun tangannya tetap memegang tanganku.
"Mbak Anti kan dari dulu memang begitu, mudah panik," kata ayahnya sambil tersenyum.
Aku melirik ke arah Awan, wajah tegangnya sudah perlahan tampak tenang. Matanya terus menatap ke arah ayahnya dan pandangannya menunjukkan bahwa dia lega melihat ayahnya baik-baik saja. Dilepaskan pegangan tangannya dan beralih memegang tangan ayahnya. Dari sorot matanya dan tindakkan fisik yang dilakukan, terlihat jelas betapa Awan sangat menyayangi ayahnya.
"Kamu Kasih kan?" Kata ibunya yang sedikit mengagetkanku.
"Iya, Bu." jawabku sambil sedikit membungkuk tanpa hormat kepada beliau.
"Saat kuliah Awan sering pamit mau pergi sama Kasih, pakai nunjukkin fotomu juga, akhirnya kita ketemu juga," kata ayahnya melanjutkan pembicaraan dan menggoda Awan.
Aku hanya tersenyum lalu menundukkan kepala. Sedikit malu dan penasaran apa yang sudah Awan ceritakan ke orangtuanya mengenai aku? Aku tidak bisa berkutik dan merasa terjebak oleh keadaan. Ingin rasanya ku acak-acak rambutku, tapi aku harus menjaga sikap supaya terlihat manis.
"Kasih itu nama yang unik ya. Dulu waktu kecil Awan juga punya teman sekolah namanya Kasih, anaknya lucu, imut, menggemaskan. Tapi kasihan dibully terus sama Awan." kata ibunya yang membuat aku ingin tertawa namun aku berusaha menahannya yang ku balas dengan senyum.
"Bukan membully mom, tapi Awan gemes abis." kata Awan sambil tertawa.
"Tetap aja Awan nakal, sudah bikin dia menangis," protes ibunya sambil berusaha menjewer telinga Awan.
"Ya, itu kan dulu. Sekarang tugas Awan untuk buat dia tersenyum dan bahagia, iya kan Kas?" kata Awan sambil menatap lembut ke arahku.
Aku yang awalnya hanya menyimak pembicaraan mereka sedikit kaget dengan penyataan Awan. Ibarat orang main bola, aku belum siap tapi Awan mengoperkan bola padaku, dan tak bisa ku tangkap lalu mengenai mukaku dan komentator bola berseru 'terlalu cepat Awan memberi umpannya saudara-saudara'. Segera ku anggukkan kepala karena bingung harus berkata apa.
"Maksudnya gimana ya?" tanya ibunya sambil mengernyitkan dahi.
"Ini Kasih, Kasih yang kita bahas tadi, yang menurut mommy korban bullying," kata Awan sambil tersenyum lebar seperti baru mendapatkan jackpot.
"Sungguh?" kata ibunya dengan nada girang.
Ibunya lalu berjalan mendekatiku kemudian memelukku. Ku sambut pelukannya, pelukan dengan rasa yang sama saat beliau memelukku sambil meminta maaf karena kenakalan anak kesayangannya.
"Nggak nyangka kita masih bisa bertemu," kata beliau sambil melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Sebenarnya udah rencana malam ini mau Awan ajak ke rumah, eh malah kayak gini," kata Awan dengan senyum mengembang.
"So sorry, daddy sudah merusak rencana kalian," kata ayahnya sambil mengelus punggung Awan
"It's OK. Maybe next time kita kumpul lagi buat yang meriah, daddy harus selalu jaga kesehatan," jawab Awan sambil menepuk pundak ayahnya.
Setelah obrolan yang seru mengenang masa kecil, aku dan Awan pamit pergi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai kesehatan ayahnya. Seperti kata ibunya, ayah Awan hanya perlu istirahat, beliau seorang workaholic, ini lah cara supaya beliau mau istirahat. Mungkin ayahnya akan menjalani rawat inap selama dua atau tiga hari. Lalu malam Minggu berikutnya, kami akan berkumpul lagi untuk sekedar makan malam atau jalan-jalan.
Aku dan Awan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sejak resmi berpacaran tangannya tidak pernah lepas menggandengku saat berjalan. Kami sampai di area parkir dan masuk ke mobil lalu meluncur ke jalan raya menuju ke sebuah hotel miliknya yang cukup ternama di kota ini. Dia ada janji dengan rekanan kerjanya sebentar untuk menandatangani kontrak kerjasama.
"Kamu nggak papa ketemu rekan bisnis tapi pakaianmu begini?" tanyaku mempermasalahkan tampilannya yang super santai.
"Ini kan Sabtu, sayang. Hari santai, di luar jam kerja, masih untung aku mau datang" katanya sambil menepuk lembut pipiku.
Tanpa mengurangi rasa hormat, Awan memintaku untuk duduk di meja yang lain sementara dia duduk di meja depanku berhadapan dengan seorang pria yang berpakaian sangat rapi. Awan memesankan jus alpukat kesukaanku dan sepiring french fries. Ku ambil ponsel dari dalam tasku untuk mengisi waktu menunggu. Ada WA yang panjang dari Rayi yang intinya dia protes karena aku pulang tanpa pamit, dan saat dia ke rumahku, aku sudah tidak ada.
[Maaf, aku kencan sama Awan] ku balas chatnya yang sudah terkirim satu jam yang lalu.
[Mosok?] balasnya singkat dan cepat membuatku terkekeh.
[Ngambek?] tanyaku lagi
[ora] lagi-lagi dibalas singkat.
[ya udah] balasku lagi
Kalau Rayi balas chat pendek-pendek berarti ada dua kemungkinan, kalau tidak sibuk bisa saja dia badmood. Kebetulan Awan juga sudah selesai lalu duduk di depanku dan menikmati french fries sambil menatapku dalam.
"Kamu cantik, Kas" katanya dan tatapan matanya tidak lepas dariku.
"Baru sadar?" kataku sambil tersipu malu.
"Udah sadar dari dulu, tapi aku nggak tahu gimana mengungkapkan. Sama kayak aku cinta kamu dari dulu tapi baru mampu mengatakannya," katanya sambil memegang tanganku.
"Aku tuh merasa nyaman sama kamu sejak dulu, nggak nyangka juga kamu mau sama aku," balasku sambil menatap ke dalam matanya. Ah, kalau Rayi tahu, dia pasti mengatakan lebay seperti sinetron. Terserah apa kata Rayi, yang jelas saat ini aku sangat bahagia.
Aku meminta pulang karena biasanya di hari Sabtu aku membersihkan dan merapikan rumah. Awan setuju dan menawarkan bantuan, walau aku menolaknya, dia tetap saja bersikeras. Kami lalu berjalan bergandengan menuju lobi dan menunggu mobil diambil valet sebentar. Dari kejauhan tampak seorang perempuan berlari ke arah kami sambil memanggil-manggil Awan dan setahuku dia adalah Chloe, perempuan yang selama ini mengaku sebagai pacarnya Awan.
"Jangan dilihat, pura-pura nggak tahu aja," saran Awan sambil kami bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan area hotel. Aku sempat menoleh sebentar dan tampak kerumunan orang di tempat yang baru saja kamu tinggalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments