Rayi berlari menyusul masuk ke dalam rumah sambil terus memanggilku.
"Kas, aku mau ngomong ni lho, kamu berhenti dulu," katanya sambil menarik bagian belakang bajuku.
"Kowe marah?" tanyanya
"Nggak! Kan lebih enak kalau bicara di dalam," kataku sambil menarik tangannya dan mendudukkannya di sofa.
"Aku tuh cuma mau minta shampo, ada?" tanyanya dengan muka tanpa dosa.
"Gara-gara kamu, tadi aku nggak gosok gigi," protesku.
"lha?? opo salahku?" tanyanya lagi dengan muka bengong.
"Kalau tadi kamu nggak ninggalin aku, kita sudah mampir ke minimarket, jadi kita punya sabun, odol, shampo dan seperangkat alat mandi dibayar tunai," kataku
"Oalahh..ya udah kita ke minimarket sekarang," kata Rayi sambil menarik tanganku.
Dengan sepeda motor andalan kami, kami melaju menuju ke minimarket yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah.
Karena sudah terbiasa berbelanja di sini, kami hafal dengan baik lokasi rak untuk semua keperluan yang kami beli sehingga tidak membutuhkan waktu yang banyak. Kami segera pulang karena nyanyian kelaparan sudah berkumandang. Kami mampir di warung kaki lima langganan kami untuk menikmati ayam penyet favorit.
"Besok aku sudah mulai pindah ke departemen merchandiser langsung disuruh berhubungan sama buyer besar. Jantungku iki lho, ndak berhenti berdetak," kata Rayi menggebu-gebu.
"Ya jangan berhenti berdetaklah, bahaya itu," kataku mengoreksi kata-kata Rayi.
"Maksudku iki, berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Wis kayak lagune Ahmad Dhani," katanya sambil mengelap meja dengan tisu.
"Siapa sih buyernya?" tanyaku mulai penasaran.
"Aku lupa lagi. Pokoke info-infone beliau mau pesan seragam untuk karyawannya. Sekitar lima ratusan gitu," jelas Rayi.
"lima ratusan udah kayak tahu bulat aja," kataku bercanda.
"500 pieces, 25 kodi non, kalau nggak lolos bisa diceramahi sama ibu ratu," katanya dengan nada sangat serius dan terlihat nervous.
"Kamu nggak didampingi Bu Linda?" tanyaku juga serius. Ini bukan waktunya bercanda.
"Bu Linda kan mendadak resign toh? Jadi ya aku iki otodidak," jawab Rayi
Kami lalu diam sejenak saat pesanan kami dihidangkan.
"Makan sek lah, daripada pingsan," ajak Rayi.
Kami sibuk sebentar mengambil sedotan, rebutan kobokan dan mulai makan dengan tangan. Sangat nikmat makan pedas tanpa sendok. Pantang bagi Rayi untuk berbicara saat makan pedas sehingga suasana menjadi sedikit tenang.
Selesai makan, kami buru-buru tancap gas dan pulang karena Rayi mengeluh sakit perut. Begitu sampai di rumah, tanpa ba-bi-bu Rayi langsung berlari membabi-buta menyerang WC. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Rayi yang tidak jelas sama sekali.
"Terus kamu sama Awan gimana?" tanya Rayi begitu selesai buang air.
"Tadi dia ngajak ke rumahnya, mau dikenalin sama orang tuanya," aku menjelaskan apa adanya.
"Mosok? Bukane kowe wis kenal?" tanya Rayi sedikit ragu.
"Iya, tapi kenalnya sebagai temannya Awan. Awan mau kenalin aku sebagai calon istri," ku katakan ke Rayi tanpa ada yang ku tutup-tutupi.
"Edan, baru pacaran semalam sudah main panggil calon istri aja," kata Rayi sambil berteriak.
Aku lalu berusaha menutupi mulut Rayi yang tidak terkendali. Bisa-bisa teriakannya terdengar oleh warga se RT.
"Opo toh yo? Aku ndak bisa napas ki lho," kata Rayi sambil berusaha melepaskan diri.
"Ya kamu nggak usah teriak-teriak gitu, bikin panik tau nggak?" kataku dengan nada yang ketus.
"Terus kamu gimana?" tanyanya sambil berusaha mengatur napas.
"Aku belum siap, mungkin lain kali," kataku santai.
"Mosok?" kata Rayi menggunakan kata yang sering digunakannya untuk memastikan kebenaran info yang diterimanya tanpa banyak bicara.
"Mosak mosok terus," protesku.
"Ah sudahlah, aku sudah mengantuk. Aku pulang dulu. Kamu juga tidurnya jangan kemaleman biar besok pagi bangunnya ndak kesiangan," kata Rayi sambil berlalu pergi membawa barang belanjaannya.
Aku lalu ke kamar mandi untuk gosok gigi dan mandi ulang. Segar rasanya, aku lalu masuk ke kamar tidurku, menyetel televisi untuk menonton berita namun akhirnya aku tertidur.
...****************...
Jam menunjukkan pukul lima pagi saat aku membuka mata. Aku lalu mandi dan kemudian ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Cukup segelas susu dan beberapa lembar roti tawar yang diolesi margarin. Selesai sarapan aku lanjut ke rumah Rayi. Ku kira dia belum apa-apa ternyata dia sudah rapi duduk melamun di teras rumahnya.
"Selamat ya, Ra!" kataku sambil mengulurkan tangan.
"Selamat untuk apa?" katanya bingung namun tetap menyambut uluran tanganku .
"Selamat pagi," kataku sambil menjabat tangannya.
"Bocah gendeng," katanya judes sambil melepaskan tanganku.
Aku tertawa kecil, wajahnya terlihat sangat gugup. Tapi aku tahu, Rayi pasti bisa mengatasi masalahnya. Aku lalu mengajaknya segera berangkat. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini.
...****************...
Lelah rasanya setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Tadi siang aku makan siang sendiri karena Rayi harus keluar bertemu dengan buyer. Sepi juga sehari ini tanpa mendengar celotehan Rayi. Ternyata dia sudah bersiap-siap di parkiran menungguku. Mungkin dia sudah kembali sebelum jam pulang. Dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat ke arahku. Aku tersenyum lega, melihat keceriaannya itu berarti hari ini pekerjaannya beres. Wajahnya juga menyiratkan banyak hal yang tidak sabar ingin dia ceritakan.
"Kita pulang, aku mandi sek, terus ke rumahmu, kita podcast," katanya sambil menyalakan sepeda motor.
Sepanjang perjalanan Rayi bernyanyi riang mulai dari cublak-cublak suweng, gundul-gundul pacul dan diakhiri dengan lagu stasiun balapan. Semua mata tertuju pada kami, mungkin mereka terganggu dengan suara Rayi yang luar biasa cempreng. Aku hanya bisa menundukkan kepala namun dalam hatiku tertawa sangat keras mendengarkan suara Rayi.
...****************...
"Wuedan, anaknya itu Pak Surya itu gantenge pol. Cowok kok kulitnya putih, bersih kayak perawatan mahal gitu. Rambutnya gondrong dikucir rapi, kharismanya wis kayak Genji Takiya," kata Rayi sambil memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya.
"Bentar, bentar! Kita ini bahas apa?" tanyaku bingung.
"Anaknya Pak Surya," kata Rayi bersemangat.
"Pak Surya itu siapa?" tanyaku lagi memohon penjelasan.
"Buyer sing kemarin aku cerita itu lho," kata Rayi menjelaskan dengan ngotot.
"Bukannya kita mau bahas masalah orderan buyer?" tanyaku berusaha meluruskan topik pembicaraan malam ini.
"Order itu berjalan lancar tanpa kendala," kata Rayi sambil menepuk dada tanda bangga.
"Oke? lalu anaknya Pak Surya namanya siapa?" tanyaku mencoba mengikuti alur cerita Rayi
"Aku nggak tahu, tadi hanya berjabat tangan. Kita sebut saja Genji Takiya gimana? Ayolah, apalah arti sebuah nama," katanya setengah merayu.
"Tak kenal makanya tak sayang. Kenapa mesti nama jepang gitu sih?," kataku.
"Aku iki wibu lho," kata Rayi.
"Wibu-wibu PKK?" kataku meledeknya.
"Wis ora urus. Tapi kedepannya urusan seragam diserahkan ke dia, jadi aku punya banyak waktu untuk kontak-kontakan sama dia," kata Rayi penuh harapan.
"Ketinggian kamu mimpinya," kataku sambil memonyongkan bibir.
"Kowe iri ya?" balasnya tidak mau kalah.
"Ngapain?" kataku menolak pernyataannya.
"Iya, nggak boleh iri. Kamu sudah punya Awan," katanya sambil menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.
Ponselku lalu berbunyi dan itu adalah telepon dari Awan. Aku menunjukkan ke Rayi sebelum menjawabnya.
"Sana, jawab tuh panggilan mas yayang, aku mau pulang aja mimpiin Genjiku," kata Rayi sambil berlalu pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments