Sorot matanya menjamah kumpulan awan yang tengah menggantung dan berlarian bersamaan dengan molekul udara yang menciptakan warna biru muda yang amat terang.
Apakah hatinya memiliki rona yang sama?
Rasanya terlalu gamblang jika mengatakan iya. Pasalnya rindu yang mendera bagaikan kesakitan yang menumpuk tanpa jua. Terlampau pekat yang tak mampu teruraikan dengan kata-kata.
Suara ketukan pintu mengganggu ketenangan pria yang sedang memandang cakrawala lewat celah jendela. Mendengar suara itu berulang hingga ke tiga kalinya, terpaksa, Vee menghembuskan nafas pelan lalu meraih kacamata dengan lensa warna hitam dari kantung jas untuk disampirkan ditempatnya, lalu ia menekan tombol hijau yang tersimpan di balik meja, seketika melakukannya, pintu bermaterial besi itu terbuka.
Setelah memastikan tubuhnya terlahap habis oleh pintu. Pribadi dengan setelan jas dipadukan warna emas menyala; menunjukkan kesan nyentrik itu mengerutkan alis, lalu bertanya, "lagi?"
"Jangan tanya apapun, Hyung!" Jawab Vee sedikit acuh.
Pria yang lebih tua dari Vee itu lantas tak heran. Pertanyaan itu tidak begitu saja terucap jika saja tidak mendapati Vee yang terduduk dengan kaca mata membingkai rupanya. Tahu betul bagaimana keadaan mata dibaliknya.
"Hari ini 'kan?"
Vee hanya mengangguk. Ibu jarinya mulai mengelus gambar dibalik bingkai kaca di atas mejanya. Seorang laki-laki dan perempuan berbalut seragan sekolah menengah atas sedang melahap permen lollipop bersama; terlihat bahagia dalam tangkapan kamera.
Lihatlah. Dengan begitu saja cairan yang mengumpul di balik kacamata mulai jatuh lagi di pipi. Itulah mengapa pribadi yang memandangnya dari arah sofa bertanya pertanyaan yang memang sudah dapat ditembak jawabannya.
Pria bernama lengkap Jung Hobi itu sudah mengira bahwasanya pria dengan penampilan mengenaskan didepannya pasti semalam penuh menangis sebab kekasih yang tak bisa ia sentuh lagi meski sekedar bayanganya saja.
***
10 tahun yang lalu.
"Sweet heart, coba tebak apa yang aku bawa!"
"Aku tidak suka main tebak-tebakkan, Vee."
Laki-laki berseragam sekolah menengah itu mengerutkan bibirnya lucu. Merasa kekasihnya terlalu cuek dengan kejutan yang akan ia diberikan.
Mendapati perubahan ekspresi si laki-laki, Rubby membalik pandang. "Kau lucu sekali, Vee." Lantas perempuan yang duduk disampingnya mencubit kedua pipi yang mengembang dibuat-buat.
Duduk di kursi kayu dengan pemandangan danau didepan, membuat keduanya hanyut dalam lautan pikiran. Angin semilir seakan membisikkan sesuatu yang mungkin akan memberi sedikit sengatan keterkejutan bagi gadis yang sedang memejamkan mata menikmati kesejukan.
Vee menoleh pada gadisnya, jika sedang seperti itu, wajah dengan mata kucing itu membuat pemuda pemilik senyum kotak menjadi candu berkali-kali lipat. Memikirkan masa depan yang mendadak datang mengoyak, Vee dengan senyum sedihnya harus merelakan jika sebentar lagi akan ada perpisahan.
"Rubby, seminggu lagi aku berangkat ke Kanada."
Sontak Rubby menoleh pada sumber suara, memasang ekspresi tidak percaya, dirinya menggeleng tanda tak terima. "Baru saja kita lulus, dan kau pergi secepat ini. Vee, tidak bisakah kau tunda? Sebentar saja." Gadis itu memohon dengan sedihnya.
Vee menggeleng lemah, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Keputusan dari sang Ayah tidak bisa dibantah begitu saja—mutlak.
Berpindah tempat, Vee bersimpu dengan lutut menjadi penyangga tubuh di bawah gadisnya yang masih terduduk di kursi. "Kau bisa menunggu 'kan? Aku sangat mencintaimu, kau harus menungguku. Hm!!"
"Apakah itu sebuah pertanyaan yang harus dijawab? Ha!! Hiks, aku masih belum bisa berpisah denganmu, Vee. Bagaimana nanti jika aku merindukanmu, hiks."
Tidak bisa ditahan lelehan air mata itu terjun bebas dan membasahi pipi gembulnya. Rubby menunduk dengan kesedihan yang teramat dalam.
Vee mencoba mencari tatapan mata indah dari gadisnya, meraih dagu untuk saling memandang dengan kesenduhan. "Hanya lima tahun. Aku janji akan segera pulang setelah kelulusan." Bersamaan itu jemari panjang Vee menangkup untuk mengusap air mata yang tidak tertahankan untuk keluar dari gadis di depannya.
Masih dengan seseguknya, Rubby mencoba untuk menetralkan suara. "Lima tahun sangat lama. Disana banyak gadis cantik, nanti kau menca-"
Satu kecupan mendarat empuk untuk membertemukan dua ranum itu. Vee tidak tahan jika tuduhan mengenai wanita terus diucapkan; hal itu sangat mustahil untuk dilakukan seseoramg seperti dirinya.
"Tidak akan sweet heart."
Dengan begitu, penyatuan itu kembali lagi dengan nyamannya. Ranum saling beradu dengan decapan kenikmatan yang menggebu. Saling bertukar slavia untuk meredam lara akibat perpisahan yang akan membuat mereka saling merindu.
Rubby lebih dulu memundurkan kepala untuk melepas ciuman. Tangannya merogoh saku dari kemeja yang membalut pria di depannya. "Aku tidak suka bibirmu, lebih manis ini." Satu lollipop itu sudah ditangannya. Benda dengan kemanisan tiada tara yang dibawa oleh laki-lakinya.
Vee mendengus kesal, bisa-bisanya Rubby membandingkan bibir yang di idam-idamkan kaum hawa seantero jagat raya hanya dengan sebuah lollipop. Ingatkan Vee untuk tidak membawa benda itu lagi.
Namun, kekesalan itu ditepis habis-habisan oleh Vee, sebab melihat kekasihnya senang tiada tara membuat dirinya cukup lega.
"Rubby, ayo habiskan seminggu ini dengan bersenang-senang."
***
Memandang hamparan luas di depannya, Vee meniti langkah pelan menuju batu pilihan dengan ukiran nama yang mencocol di atasnya. Hari memang sudah sore, sangat jelas dengan bentangan langit menguning bersiap menyembunyikan cahaya mentari untuk dimunculkan besok lagi.
Vee bersimpuh dengan tangan mengelus batu muaram yang tertancap dari dua tahun yang lalu. "Selamat sore sweet heart," ucapnya bersamaan itu menaruh bunga pilihan yang dibawanya untuk hiasan. "Maaf, aku sengaja datang sore," lanjutnya lagi seperti kebiasaannya selama ini.
"Ah! Aku membawa lollipop ini untukmu. Tapi aku saja ya yang makan?" tangannya meraih permen manis dengan rangkaian warna-warni dari kantung jasnya.
Vee berbicara sendiri seolah kekasih yang sudah terkubur dan membaur jadi satu dengan tanah itu menampakkan telinganya untuk mendengar segala ocehannya.
Pria dengan kaca mata hitam membingkai keparipurnaan wajahnya itu mulai membuka bingkisan permen dan memakannya seperti anak kecil. "Kau benar, ini memang manis, tidak seperti bibirku. Pantas kau sangat menyukainya."
Tidak sampai habis memakan. Vee menghembuskan nafasnya pelan sembari membenahi tatanan rambutnya yang terombang-ambing akibat hembusan angin. Memilin cincin yang masih setia melingkari jari manisnya sejak remaja—cincin pertunangan lebih tepatnya.
"Rubby, seminggu lagi aku akan menikah. Bolehkah sweety?"
Teringat waktu dahulu saat pria itu berpamit untuk menempuh pendidikan diluar Negeri. Saat itu, gadisnya menangis tersedu, lalu apa jadinya dengan hari ini saat tahu prianya akan menikahi orang lain. Meski sudah menutup mata untuk selamanya, Vee masih menganggap kekasihnya masih hidup disampingnya.
"Aku tidak rela cincin ini tergantikan. Kau juga begitu 'kan sweety?"
Perasaannya masih sama hingga sekarang. Tidak akan dan tidak ada yang bisa menggantikan posisi Rubby dihatinya. Vee sudah total jatuh yang tak mampu bangkit lagi. Perasaan cinta itu sudah terkubur dibawa pujaan hati hingga tak mampu diambil kembali.
"Aku harus melakukannya bukan? Kau tahu sendiri Ibu begitu pemaksa. Aku tidak bisa melawan untuk jadi anak durhaka."
Dirasa waktu semakin cepat untuk berlalu. Kesunyian tempat ini seakan menghantarkan titik pusat tata surya untuk tenggelam di ufuk barat, langit semakin menggelap dengan deruan angin yang semakin menggila.
"Aku mencintaimu Kim Rubby. Selamanya."
***
Suara mesin beradu dengan roda mobil yang bersinggung dengan aspal. Vee membelah jalan Seoul untuk menuju rumah besarnya sebelum sesuatu yang mendesak tiba-tiba mencomot tujuan awalnya.
Berhenti di sebuah minimarket hanya untuk membeli ramen; malam ini Vee ingin makan sesuatu yang hangat dan berkuah. Pintu minimarket terbuka dibarengi dengan dentingan nyaring diatasnya. Pria itu memilah bahan yang dibutuhkan di rak khusus mie instan.
Samar-samar terdengar suara dua orang saling berbincang. Bukan maksud untuk menguping dengan lancang. Hanya saja, gurauan yang tertangkap telinganya sangat menggelikan.
"Jeff, bagaimana dengan olahraga malam?"
Vee tersenyum miring mendengar penuturan gamblang dari mulut wanita yang entah itu siapa; radius satu meter darinya.
"Baiklah, belilah minuman yang banyak." Jawab pria yang berada disamping wanita itu.
Vee masih setia mendengar tanpa niatan menoleh atau semacamnya, karena memang itu bukanlah urusannya, unsur ketidak sengajaan yang memaksa indra dengarnya untuk terusik. Sampai sebuah nama terdengar jelas sampai membuat kepalanya untuk memutar guna menangkap atensi di samping kanan.
"Di rumah apa di apartemen, An?"
"Di apartemen saja bagaimana?" Jawab Anna dengan senyum merekahnya.
Vee melihat, memincingkan mata dan memastikan bahwa nama itu adalah sosok yang sama dengan calon istrinya.
****.
Seperi itu wanita yang akan hidup berdampingan dengan dirinya kelak?
Vee menampilkan senyum remeh. Tapi untuk berbagai alasan, pria itu membiarkan saja. Berpindah haluan, Vee hanya ingin memastikan kemana mereka berdua akan pergi bersama.
Vee masih setia berada di dalam mobil hingga dua jam. Memarkirkan tepat di bawah pohon untuk mengintai apartemen mewah di daerah Gangnam. Benar saja, Vee mengikuti Anna sampai wanita itu benar-benar masuk kedalam dengan pria yang akan berolah raga dengannya.
Mobil yang sama memasuki apartemen dua jam yang lalu kini keluar dari sebuah gerbang. Vee mengamati dengan jelas siapa pria dari balik kemudi hingga kendaraannya melintas di depan miliknya. Benar saja, pria itu sudah berganti pakaian juga. Jika Vee tidak salah lihat, sosoknya sama seperti pria tempo hari yang berada di kelab malam bersama calon istrinya.
"Jika kau punya kekasih kenapa mau menikah denganku? Kau ****** apa bagaimana, Anna?" Gumam Vee dengan meremat setir dengan kuat.
Tak lama, pria itu meninggalkan area untuk pulang ke kediamannya dengan membawa perasaan yang sangat murka. Bukan karena kecewa atau semacamnya. Hanya saja, Ibunya sangat berharap banyak pada wanita yang menurutnya sangat tidak pantas untuk menjadi menantu keluraga Kim.
Bunyi notifikasi dari ponsel mengganggu aktifitas menyetirnya. Dengan terpaksa, Vee membanting setir ke kanan guna menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Matanya kian memanas kala membaca pesan dari benda plasma miliknya.
Ibu:
Cepatlah pulang, besok pagi-pagi sekali kau harus fitting baju dengan calon menantuku.
Dengan begitu, Vee memukul keras setir di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
💨nihira✨
nemu novel yg menarik lg,asyiiiiik
2023-01-10
1
Dedo
Kiringijir ngt mulut
2023-01-04
0
Dedo
Asem tenAn
2023-01-04
0