Di Ujung Penantian
Angin pagi terasa menusuk tubuh. Amara berdiri di belakang rumah menatap langit biru yang begitu terang memanjakan mata. Udara di sekitar tampak begitu sejuk karena ditumbuhi pepohonan dan taman cantik yang begitu terawat.
Bibirnya mengulas senyum manis, menunjukkan deretan giginya yang tersusun rapi.
Amara Khaira Shaza, wanita berusia 25 tahun. Putri tunggal dan satu-satunya dari pengusaha properti di kota Surabaya.
Sejak satu minggu yang lalu dia telah memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan dan fokus mengurus pernikahannya yang akan diadakan dua minggu lagi.
Membayangkan dia bersanding dengan pria yang sangat dicintai membuat senyum Amara semakin terlukis indah. Dia tidak sabar menunggu waktu untuk bersanding dengannya.
Lamunannya buyar ketika pelayan di rumahnya mengatakan calon suaminya datang. Amara segera meminta pelayan untuk mengantarkan tamunya datang.
Tak lama seorang pria datang menghampirinya. Pria yang selalu tampan dalam setiap pandangan matanya. Amara tersenyum menyambut calon suaminya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam,” jawab Amara sambil menggeser duduknya. “Apa kabar Mas Toriq? Lama gak kelihatan,” sambungnya lagi dengan ramah, tetapi tatapannya masih lurus ke depan. Menatap hamparan pekarangan yang luas dengan perasaan yang hampa.
“Baik, Bu Mara. Saya permisi duduk di pojok seperti biasa,” kata Toriq segera menuju tempat duduknya. Dia selalu datang menemani bosnya ketika bertemu calon istrinya. Agar tak hanya berdua-duaan saja, katanya.
Amara mengangguk, dia menatap calon suaminya sejenak, kemudian kembali menatap lurus ke depan.
“Kenapa Mas Haris gak ngabarin dulu kalau mau datang. Kalau tahu aku suruh Bi Nur masak makanan kesukaanmu.”
“Aku mau bicara sesuatu yang serius, Mara.”
“Silakan, Mas. Aku mendengarkan.”
Tampak suasana hening untuk beberapa saat. Haris tak juga mengatakan apa yang diinginkan, seperti ada sesuatu yang coba disembunyikan.
“Mas!” panggil Amara sambil menoleh, menatap calon suaminya yang kini tampak berkaca-kaca. “Ada apa?”
“Maaf,” kata Haris memalingkan wajah.
“Untuk?”
Haris seperti ragu untuk mengatakan sesuatu, tetapi Amara mendesaknya hingga sebuah pernyataan dari pria itu membuatnya terkejut, terpaku untuk beberapa saat.
“Maaf, Amara. Aku gak bisa melanjutkan pernikahan kita. Sepertinya aku sudah menemukan wanita yang lebih baik dari kamu. Semoga kamu berlapang dada dan menerima, juga memaafkan apa yang kulakukan,” kata Haris bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.
Amara menatap Haris dengan rasa tidak percaya. Pernikahan mereka akan diadakan dua minggu lagi, dan pria itu ingin membatalkannya begitu saja. “Apa salahku, Mas?” tanyanya dengan lirih.
Dia coba untuk menerka apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin dia tanpa sengaja membuat Haris kecewa, tetapi selama beberapa minggu, mereka bahkan tak berkomunikasi lagi setelah terakhir kali bertemu.
“Kamu gak salah, hanya saja kita memang gak berjodoh. Keluargaku lebih setuju aku bersama dengan Farah dibandingkan denganmu. Jika kita tetap melanjutkan pernikahan, banyak hal yang harus dikorbankan. Dari awal keluargaku memang gak setuju dengan hubungan kita karena banyak alasan, salah satunya karena masa lalumu.” Haris menatapnya sekilas.
“Jadi kamu sekarang menyalahkan aku? Kenapa harus sekarang jika dari awal kita bisa menolak dan saling menjauh. Setelah hubungan kita serius, kamu justru menyakiti. Aku memang bukan wanita yang baik di masa lalu, tapi aku sedang mencoba menjadi baik, Mas.” Amara mengatakannya dengan bibir yang gemetar. Sejak awal Haris yang mencoba masuk ke dalam hidupnya yang dulu bebas. Haris yang menariknya dari hiruk piruk dunia yang dijalani.
“Karena aku butuh istri yang salihah, keluargaku butuh menantu yang paham agama agar tak sampai membuat malu.”
Membuat malu? Amara tersenyum miris, apa sebegitu buruknya dia hingga kata-kata menyakitkan itu yang justru keluar.
“Lalu kenapa kamu menyeretku dan masuk ke dalam hidupku jika memang dari awal kamu tahu bahwa kita gak bisa mengubah masa lalu, Mas. Kenapa, Mas!” Amara hanya menunjukkan kesedihan, tetapi tidak ada kemarahan yang ditunjukkan. Dia tetap tenang dan menyembunyikan kelemahannya.
“Maafkan aku, Mara. Semoga kamu menemukan pria baik yang bisa menerimamu apa adanya.” Haris bangkit dan pergi tanpa menjelaskan apa pun lagi.
Pria itu pergi setelah menyakitinya, menghilang dari pandangan dan hidupnya. Amaraloka yang diharapkan justru sengsara yang diterima.
To Be Continue ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
neng ade
hadir
2024-11-18
0
komalia komalia
lanjut baca
2024-07-08
0
Anonymous
keren
2024-06-03
0