Tanpa tulisan di buku harian pun, aku ingat bahwa hari ini aku dan Luis akan berjumpa di perpustakaan. Terkadang terasa lucu dan tak terduga bagaimana manusia bisa melupakan seribu hal, tapi mengingat hal-hal kecil tertentu seperti ini. Otak manusia memilih hal-hal yang akan ia ingat.
‘Skenario’ nya, hari ini, di jam pelajaran terakhir, kelas 11 Bahasa 2 akan belajar sastra Inggris klasik. Kami akan belajar di perpustakaan karena akan lebih mudah mengakses buku-buku sastra klasik disana. Ternyata, kelas 11 IPS 3 sedang belajar juga disana. Mereka belajar bahasa Indonesia.
Aku mengumpulkan tekad. Kalau aku ingin semua hal dengan Luis menjadi lebih baik, maka aku harus menjadi lebih baik. Dengan begitu, aku tidak akan menyesal seperti diriku di tahun 2020.
Setelah bersiap-siap, sekali lagi aku melihat diriku di cermin. Aku baru sadar bahwa tubuhku semasa SMA lebih kurus dan tidak berotot (yah, bukannya di 2020 tubuhku menjadi seperti Ade Ray, hanya saja, tubuhku tampak lebih berisi karena olahraga rutin yang aku lakukan).
Rambutku juga lebih panjang dan riasanku rasanya pucat sekali. Di tahun 2020, dimana teknologi sudah berkembang pesat, YouTube diakses lebih sering oleh pengguna smartphone dan kita bisa melihat berbagai video di sana.
Seandainya dulu aku sudah tahu tentang no makeup-makeup look, pasti penampilan semasa SMA tidak sepucat ini. Yah, walaupun sebenarnya tidak terlalu buruk karena wajahku tampak lebih alami, tapi aku ingin menutupi kantong mataku dulu. Semalam tidurku tidak nyenyak.
Aku mengendap-endap ke kamar Mama, lalu mengambil concealer dan Vaseline Petroleum Jelly milik beliau.
Aku beranjak ke meja makan untuk sarapan setelah memoles dan meratakan sedikit concealer di bawah mata, memoles sedikit gel Vaseline di kelopak mata agar tampak lebih dewy, mengusap gel itu ke bulu mata, dan memakai lip balm yang nyaris tidak berwarna. Sebelum ke ruang makan, aku mengembalikan concealer ke kamar Mama kembali.
“Selamat pagi, Ma.”
“Pagi, sayang.” Mama mengangsurkan dua lembar roti panggang. Ketika melihat wajahku, mata Mama sedikit membulat.
“Kamu pakai apa di kelopak mata?”
Ternyata riasan senatural ini juga tidak luput dari pandangan Mama. Walaupun yang tampak oleh beliau adalah gel di kelopak mataku. “Hanya Vaseline, Ma. Supaya mata tampak lebih segar saja.”
“Biasanya kamu hanya memakai bedak bayi dan pelembab bibir. Hapus Vaseline nya, Mama tidak ingin kamu di tegur oleh guru nanti.” Mama berdecak.
Aku mengusap kedua kelopak mataku sampai hanya sedikiiiit sekali Vaseline yang tersisa. Papa datang sambil merapikan dasi. Kami saling mengucapkan selamat pagi. Kami sarapan sambil berbincang-bincang ringan. Kebanyakan membahas kakakku, Nathan, yang akan menyelesaikan studinya tahun ini. Setelah selesai sarapan, aku dan Papa pamit pada Mama dan berangkat.
Walaupun tidurku semalam tidak terlalu nyenyak, aku berhasil sampai ke sekolah setengah jam sebelum bel berbunyi. Aku celingak-celinguk didekat gerbang. Mitchi masih belum kelihatan batang hidungnya. Lalu Wulan datang dan kami bersama-sama berjalan ke kelas. Wulan juga suka membaca sepertiku, jadi kami mengobrol seputar novel. Karena masih awal tahun ajaran baru, hari ini topik yang kami bahas bebas dari topik pekerjaan rumah.
Bel berbunyi dan siswa siswi langsung menyerbu untuk masuk ke kelas masing-masing. Dari kejauhan, aku melihat rombongan laki-laki yang berjalan malas dari kantin menuju kelas mereka.
Kebanyakan kakak kelas, namun aku juga melihat siswa angkatan kami dan adik kelas. Aku tidak melihat Luis. Yah, sudahlah, nanti juga bertemu.
Pelajaran pertama adalah Biologi, mata pelajaran IPA kesukaanku. Aku mengeluarkan alat-alat tulis saat Bu Ayu datang dan mengucapkan salam serta selamat pagi. Aku sibuk mencari brush pen berwarna biru di dalam kotak pensil, jadi aku tidak melihat Bu Ayu. Tapi samar-samar, aku merasa ada seseorang yang mengekor dibelakang beliau.
“Sebelum kita mulai pelajaran hari ini, Ibu ingin mengenalkan siswa baru pada kalian.” Bu Ayu mengumumkan. Seingatku, kami tidak pernah mempunyai siswa baru selama kelas sebelas. Dan aku yakin ingatanku tidak salah. Serta merta aku menatap ke depan. Aku tidak perduli lagi pada brush pen sialan itu. Seseorang yang berdiri di depan kelas membuatku berpikir, Apakah ini mungkin?
Yang berdiri didepan kelas adalah anak laki-laki dengan tinggi kurang lebih 175cm, bertubuh tegap, berbahu lebar, dan berwajah blasteran. Kau bisa melihat fitur wajahnya yang mengisyaratkan dia bukan asli orang Asia. Atau boleh ku bilang, dia blasteran Inggris dan Jepang. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena aku mengenal sosok itu.
Aku menahan napas. Sosok itu adalah Willfred Theodore Tsuyoshi Asahina. Penyanyi blasteran asal Jepang yang sangat populer di tahun 2020.
***
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Menguceknya juga. Sosok itu masih belum menghilang dari depan kelas. Malah, ia tersenyum pada Bu Ayu saat beliau memintanya untuk memperkenalkan diri pada teman-teman sekelas.
Teman-temanku sendiri, yang cewek-cewek tentunya, sudah berbisik-bisik riang, karena ada tambahan cowok tampan diantara mereka. Predikat sekolah unggul tidak menjamin gadis-gadis tidak akan senang apabila melihat cowok yang tampan.
“Perkenalkan nama saya Willfred Theodore Tsuyoshi Asahina. Kalian bisa memanggil saya Tsuyoshi. Mohon bantuannya.” Suaranya berat dan dalam, persis suara sosok penyanyi yang aku tahu di tahun 2020. Ia berbahasa Indonesia dengan lancar, hanya saja, logatnya sedikit terdengar asing ditelinga kami yang memang asli orang Indonesia.
Terdengar komentar teman-teman seperti, "Namanya nggak terdengar familiar, ya?" dan "Kenapa namanya sulit sekali, ya?"
“Tsuyoshi baru pindah ke kota ini, tapi saat ia masih tinggal di Jepang, ia sudah belajar bahasa kita melalui tutor selama beberapa bulan. Jadi ia sudah hampir fasih berbahasa Indonesia. Tapi tentu saja kemungkinan ia masih sedikit bingung di kedepannya, karena ini bukan bahasa aslinya. Untuk itu Ibu minta kalian membantu Tsuyoshi, ya.” Terjawab sudah pertanyaan teman-teman.
“Tentu saja, Bu.” Karin and the gang menjawab dengan semangat.
“Ibu juga ingin menunjuk salah satu dari kalian untuk membantu Tsuyoshi.” Wajah teman-teman yang perempuan jadi berseri-seri. Karin bahkan terang-terangan menawarkan diri. Sayang, tawaran itu ditolak oleh Bu Ayu.
“Terima kasih, Karin. Tapi Ibu juga mempertimbangkan salah satu dari kalian yang bisa berbahasa Jepang. Itu akan sangat membantu.”
“Noura saja, Bu. Ia bisa berbahasa Jepang.” Tiba-tiba Beni menyerukan namaku. Aku dan Beni sekelas tahun lalu. Kami juga sering mengobrol seputar anime dan film-film Jepang, jadi ia tahu kalau aku bisa berbahasa Jepang. Di tambah, nilai bahasa Jepang ku juga bagus. “Tapi saya tidak fasih, Bu.” Aku menambahkan. Beliau berkata, “Tidak apa-apa, Noura, setidaknya kamu bisa. Teman-temanmu yang lain tidak ada yang bisa berbahasa Jepang sefasih kamu bukan? Jadi Ibu berharap bantuanmu.”
Aku diam saja. Takut untuk menyanggupi. Bagaimana mungkin seorang artis bisa pindah ke sekolahku di ‘dunia’ ini? Tsuyoshi bahkan berusia dua tahun di bawahku.
“Bagaimana, Noura? Tolong bantu Ibu, ya. Dan bantu teman baru kamu.” Bu Ayu tersenyum. Aku mengangguk ragu. Aku tidak bisa menolak Bu Ayu, karena beliau adalah guru yang sangat baik. Aku melihat Tsuyoshi. Ia menatapku dalam-dalam, lalu ia tersenyum. Senyum yang hangat yang berbeda dengan senyum saat ia memperkenalkan diri tadi. Seolah ia tersenyum untuk teman yang sudah ia kenal sejak lama. Senyum yang bisa ia tampilkan tanpa harus menutup diri lantaran ia sudah mengenal sosok didepannya.
“Terima kasih, Noura. Nah, Tsuyoshi, kamu duduk di bangku kosong di sebelah kanan Noura. Kebetulan siswi yang seharusnya duduk disana pindah sekolah karena Ayahnya pindah tugas.”
“Baik, Bu.” Tsuyoshi berjalan kearah bangku disebelah kananku. Teman-teman sekelas masih melirik sosok cowok itu walaupun intensitas menatapnya sudah berkurang karena mereka menyiapkan buku dan alat tulis untuk belajar. Cowok itu duduk, lalu berkata, “Yoroshiku onegaishimasu, Noura-san.”* Aku membalas senyumnya dengan kikuk. Bu Ayu sudah mulai memasuki materi hari ini dengan pertanyaan-pertanyaan seputar topik untuk mengasah pengetahuan kami, ketika aku lihat Tsuyoshi hanya membuka buku catatan. Ia belum punya buku cetak yang digunakan sekolah ini. “Tsuyoshi, mau memakai buku biologi bersama?” Ia tersenyum dan mengangguk. Lalu ia mengangkat bangku dan mejanya agar lebih dekat dengan bangku dan mejaku. Aku bisa melihat Lisa, salah satu teman dekat Karin, melirik lalu membisikkan sesuatu pada Karin. Karin pun ikut melihat kearah kami. Aku tidak mengacuhkan keduanya.
Aku dan Tsuyoshi hanya mencatat dan mencatat penjelasan Bu Ayu selama beberapa saat, sampai aku merasa bahwa Tsuyoshi tidak lagi menggerakkan penanya di buku catatan, dan malah menatapku.
Jujur saja, sedari tadi aku sudah tidak berkonsenterasi terhadap penjelasan Bu Ayu. Aku hanya memaksa diriku untuk fokus agar nilai-nilaiku nanti tidak turun. Ditambah ditatap seperti itu, aku merasa pipiku panas. “Ada apa?” Aku bertanya. Aku memperhatikan wajahnya. Karena dulu, aku tidak pernah bisa menatap wajah cowok didepanku ini secara langsung, apalagi dengan sangat dekat. “Tidak apa-apa.” Tsuyoshi menggeleng dan kembali mendengarkan penjelasan Bu Ayu.
Zikri, yang duduk dibelakangku mencolek bahuku, dan saat aku berbalik, ia tersenyum penuh arti. Aku hanya memandangnya dengan tatapan kesal.
Hai! Lanjut lagi dengan kisah Noura. Kali ini Noura udah ketemu sama Tsuyoshi. Bagaimana kelanjutan dari cerita mereka? Di tunggu ya, di chapter berikutnya😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments