14 Juli 2014
Senin, cuaca: cerah☀️
Tidak terasa sudah kelas sebelas saja. Hari ini aku bangun pukul setengah lima pagi (semangat tahun ajaran baru! :D), belajar sebentar, bersiap-siap, sarapan nasi goreng dengan sosis berbentuk gurita (yah, bentuknya sedikit kekanak-kanakan, tapi aku suka). Aku menyandang tas ransel berwarna lilac yang sudah berisi beberapa buku tulis dan binder yang cukup besar untuk mencatat pelajaran hari ini.
Sebenarnya aku ragu dihari pertama sekolah akan langsung belajar, karena masih ada pembagian kelas dan lain-lain. Dan benar saja! Kami tidak belajar dan pulang cepat hari ini.
Ngomong-ngomong, aku masuk dikelas 11 Bahasa 2. Jurusan kesukaanku. Sebenarnya, pembagian kelas serta jurusan ini juga didasari pertimbangan IQ Test yang kami lakukan saat kelas sepuluh kemarin. Hasilnya, tes itu menyarankan agar aku masuk dijurusan IPA. Namun aku telah memohon pada guru Konseling kami, Bu Betty, agar aku dipertimbangkan untuk masuk dijurusan bahasa saja, karena itu jurusan yang sangat aku minati. Aku tahu, nilai-nilaiku di mata pelajaran IPA sangat memuaskan, tapi kalau aku bisa memilih, kenapa tidak?
Aku senang sekali bisa masuk jurusan ini. Teman-teman sekelas juga terlihat baik dan menyenangkan. Setelah perkenalan sebentar dengan wali kelas dan teman-teman, kami diperbolehkan untuk istirahat, lalu pulang.
Oh ya, ada satu cowok yang menarik perhatianku. Kurasa dia berada dijurusan IPS. Aku tidak terlalu memperhatikan karena: 1) memperhatikan cowok-cowok memang bukan kebiasaanku; 2) sekolahku memiliki sembilan kelas untuk tiap angkatannya, jadi, ya begitulah.
Ngomong-ngomong tentang cowok tadi, aku rasa aku pernah melihatnya beberapa kali saat kami masih kelas sepuluh. Aku memperhatikannya karena ia yang pertama kali menatapku saat aku dan Wulan (teman pertamaku dikelas) makan soto di kantin. Rambut cowok itu sedikit panjang, wajahnya bersih dengan hidung mancung dan bibir tipis. Ia makan dengan teman-temannya, yang diantaranya adalah teman sekelasku waktu kelas sepuluh, Erik. Tubuh cowok itu sedikit kurus dan tinggi, kancing paling atas kemejanya sengaja tidak dikancing dan lengan baju yang panjang dilipat hingga dibawah siku. Ia menatapku dengan... Bagaimana cara menjelaskannya, ya? Intens, tapi ia juga menanggapi obrolan teman-temannya. Gawat, aku jadi penasaran dengan cowok itu. Mungkin besok aku akan mencari tahu tentang cowok itu?
Lalu tidak banyak yang terjadi di sisa hari ini. Sore tadi aku dan Papa ke toko buku untuk menambah koleksi bacaan kami, hehe. See you tomorrow! ^,^
***
Berbalik 180 derajat dengan catatan dibuku harianku, hari ini aku datang nyaris saat bel berbunyi. Setelah melihat kalender di ruang tengah, aku bingung, lalu aku berpikir aku hanya bermimpi. Jadi aku mencubit diriku sendiri dengan harapan aku bisa bangun setelah itu. Anehnya, mimpi ini tidak berakhir. Aku bahkan meminta Mama untuk mencubitku untuk jaga-jaga apakah cubitanku kurang keras untuk membangunkan seseorang dari mimpi aneh—ralat, mimpi buruk!
Setelah Mama mencubit dengan kuat, aku masih belum bisa mencerna apapun dari hal yang kualami saat ini. Namun Mama sudah menyeretku untuk mandi dan bersiap-siap. Efek dari kebingungan ini adalah aku jadi bersiap-siap lebih lama lantaran harus melamun sembari berpikir keras kenapa hal ini bisa terjadi.
Semalam, aku membaca buku harianku dan tidur sesudah larut malam, sehingga hal-hal yang seharusnya aku alami hari ini masih teringat jelas di kepalaku. Aku mengintip kedalam tas lilac yang aku sandang saat ini. Benar, aku membawa beberapa buku tulis dan satu binder yang berukuran cukup besar. Aku merasa darah diwajahku seakan disedot entah kemana.
“Kamu kenapa, Ra? Wajahmu pucat. Apa kamu sakit perut? Atau sedang tidak enak badan?” Papa bertanya dengan khawatir. Beliau pasti melihat wajahku yang memucat karena kaget.
Aku memaksakan senyum. “Aku baik-baik aja, Pa. Hanya sedikit pusing.” Aku merasa sedikit senang bisa mengobrol tanpa canggung dengan Papa.
“Apa kamu mau izin saja untuk hari ini? Papa bisa menulis surat dan mengirimkan kesekolahmu nanti.”
Tawaran yang menarik, tapi aku ingin tahu apakah sisa hari ini akan sama dengan apa yang sudah aku tulis dibuku harianku. Minus keterlambatan ini, tentu saja.
“Nggak usah, Pa. Aku sudah merasa lebih baik sekarang.” Jawabku mantap.
“Baiklah, kalau begitu. Apa kamu mau kita berhenti ke apotek dulu untuk membeli obat? Untuk jaga-jaga jika pusingnya kembali.” tawar Papa.
“Nggak, Pa. Aku sudah merasa lebih baik. Lagipula, kalau kita singgah ke suatu tempat, aku khawatir kalau Papa nanti terlambat.”
Papa tersenyum. “Ya sudah. Sekolahmu juga sudah dekat.”
Beberapa saat kemudian, mobil Jeep Papa mendekati gerbang SMA Pelita Bangsa. Aku menahan napas. Masih persis seperti bagaimana aku mengingat sekolah ini—pagar dan gerbangnya yang berdiri kokoh berwarna beige, gedung-gedung kelas yang besar berwarna senada serta pohon-pohon yang rimbun yang membuat sekolah ini terasa sejuk. Jika bukan kejadian ini, aku pasti girang sekali saat kembali ke sekolah. Aku ditahun 2014 memang senang sekali saat menginjakkan kaki ditahun ajaran baru ini.
Aku menunduk melihat seragamku. Bahkan rasanya sudah lama sekali saat terakhir kali aku mengenakannya. Blus putih, dasi berbentuk pita berwarna abu-abu dengan les hitam, rok bermotif gingham yang berwarna senada dengan dasi, blazer berwarna abu-abu gelap, serta sneakers Converse berwarna putih. Orang-orang yang melihat seragam sekolah kami, pasti berpikir bahwa seragam kami lebih mirip dengan seragam sekolah di Jepang atau Korea. SMA Pelita Bangsa memang salah satu SMA swasta yang terbaik di pulau Sumatera, dan masuk peringkat sepuluh besar terbaik diseluruh Indonesia. Bekerja sama dengan banyak yayasan diseluruh dunia, kualitas pendidikan sekolah dan juga fasilitasnya tidak main-main. Gedung-gedungnya mirip dengan sekolah yang biasa kita lihat di drama Korea. Kalian pernah nonton drama Korea Extraordinary You? Nah, gedung sekolah kami bisa dikatakan cantik seperti itu. Gymnasium indoor, kolam renang indoor, perpustakaan yang bagus, ruang laboratorium yang peralatannya lengkap, dll. Pokoknya fasilitasnya sangat oke. Oleh karena itu walaupun ditiap angkatan ada sembilan kelas, jumlah murid ditiap kelasnya paling banyak hanya 25 orang saja. Biaya bersekolah disini juga tidak murah, tapi dengan kualitas yang sudah pasti diacungi jempol, uang yang sudah dihabiskan untuk bersekolah disini rasanya sepadan.
Aku mencoba memejamkan mataku lagi. Berharap aku bisa tiba-tiba bangun dari mimpi buruk ini dan bersiap untuk persiapan wisuda.
“Good morning, Ra!” Tiba-tiba Mitchi sudah berada di sampingku. “Kamu kenapa berdiri disini?” Mitchi adalah teman sekelasku saat kelas sepuluh. Awalnya kami tidak akrab, hanya sekadar saling menyapa. Tapi karena pernah satu kelompok dalam suatu tugas fisika, kami menjadi dekat. Ternyata fisika, mata pelajaran yang paling tidak kusukai itu, bisa mendekatkanku dengan seseorang yang luar biasa baik.
Mitchi selalu datang saat bel nyaris berbunyi. Alasannya, karena rumahnya jauh.
Aku memejamkan mata lagi. “Aku mencoba untuk bangun.” Jawabku jujur. “Ayolah, bangun. Bangun!”
Mitchi menyemburkan tawa. “Pasti ada yang salah, Ra. Biasanya kamu selalu datang setengah jam lebih awal. Jadi aku tidak percaya bahwa memang kamu yang berdiri disini. Ayo, cepat masuk. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Kamu tidak mau kan Bu Peni datang dan menghukum kita?”
Seketika mataku terbuka. Tentu saja aku tidak mau dihukum oleh Bu Peni, guru kesiswaan yang paling killer sepanjang masa. Saat aku celingukan, aku melihat sosok kecil Bu Peni (jangan salah mengira dengan berbadan kecil, Bu Peni adalah guru yang lemah lembut, bahkan sebaliknya!) sedang berjalan kearah gerbang. “Ayo, Mitchi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments