Chapter 3: Tekad

Setelah upacara bendera, pembagian kelas dimulai. Seperti yang sudah seharusnya, aku masuk dikelas 11 Bahasa 2. Seperti dulu, aku memilih meja keempat dari depan. Postur tubuhku cukup tinggi jika dibandingkan dengan cewek-cewek seangkatanku. Jadi aku cukup tahu diri untuk tidak mengambil meja deretan depan. Mitchi berada dikelas 11 IPA 2. Aku tidak menemui Mitchi karena ingin mendinginkan diri (dan kepala) didalam kelas. Mungkin karena efek mimpi buruk yang masih terus berlangsung ini, aku jadi mudah berkeringat.

Aku memejamkan mata lagi. Kali ini bukan untuk mencoba bangun, tapi berpikir. Kenapa aku tidak mencari jawaban di internet saja, ya? Segera aku merogoh kantong blazer dan rokku, tapi aku tidak menemukan benda persegi panjang itu di sana. Lalu aku meraih tas dan mencari. Ketika aku sudah menemukannya, alisku bertaut. Tentu saja, Noura. Ini 2014 dan smartphone belum menjamur seperti ditahun 2020. Handphone ku saat ini adalah Nokia Asha berwarna merah muda. Mama pernah menawariku untuk membelikan smartphone, namun aku menolak karena merasa benda itu akan mengganggu produktivitas ku. Sekarang aku menyesalinya. Ponsel ini bisa mengakses internet, meskipun prosesnya akan lebih lambat. Tapi untuk mengakses internet, dibutuhkan paket internet pada kartu prabayar yang ada di ponsel tersebut. Dan aku tidak memilikinya saat ini. Aku ingat betul hanya memasang paket menelpon untuk menghubungi Papa supaya menjemput ku seusai sekolah. Karena untuk belajar di rumah, aku bisa menggunakan laptop dan Wi-Fi yang sudah tersedia.

Berpikir, Noura, berpikir. Aku butuh komputer. Kurasa aku bisa pergi ke laboratorium komputer dan mengakses internet di sana. Ya.

Aku berlari ke laboratorium komputer. Karena ruangan kelas sebelas terletak diujung sekolah, nafasku tersengal-sengal saat tiba didepan pintu ruangan tersebut. Pintunya tertutup. Biasanya walaupun tidak ada yang belajar di ruangan ini, misalnya saat class meeting, pintunya akan tetap terbuka. Aku berjalan dengan cepat keruang majelis guru. Saat mengarah ke sana, aku bertemu dengan Bu Ifa, guru bahasa Indonesia.

“Bu, maaf, saya ingin menggunakan komputer di lab.”

“Maaf, ya, Noura. Untuk hari ini kamu tidak bisa menggunakan komputer di sana. Pak Ahmad tidak bisa hadir, karena Ibu nya sakit. Kunci ada pada beliau.”

“Apa tidak ada kunci cadangan, Bu? Saya sangat butuh komputer saat ini.” Aku memelas.

“Tidak ada, Noura. Kunci-kunci tersebut dipercayakan pada Pak Ahmad. Lagipula hari ini belum belajar, karena itulah beliau tidak menyerahkan kuncinya pada guru disini.”

“Baik, terima kasih, Bu.” Aku kembali melangkah kekelas dengan lemas.

“Kamu tadi kemana, Ra? Lari-lari begitu, padahal aku sudah memanggilmu dengan keras.” Mitchi berjalan ke arahku.

“Maaf, ya. Tadi aku ada perlu kelaboratorium komputer.”

Mitchi berdecak. “Aku mengerti kamu anak yang rajin. Tapi apa tidak keterlaluan kalau kamu belajar bahkan dihari pertama sekolah? Ini hari yang bagus, dan hari terakhir pula sebelum kita kembali ke ‘neraka’.”

Aku tertawa. “Bagimu sekolah adalah neraka?”

“Mungkin jelmaannya, lebih tepat.” Mitchi manggut-manggut.

Bel berbunyi dan kami diminta untuk masuk kekelas masing-masing. Aku dan Mitchi berpisah. Seperti yang aku ingat, wali kelas kami, Bu Ayu datang, kami berkenalan dengan teman sekelas, lalu beliau menyampaikan beberapa hal yang penting seperti mata pelajaran dan hal lainnya. Aku memandang sekeliling. Pandanganku terhenti pada rombongan Karin. Aku tidak percaya sikapnya yang manis ternyata hanyalah topeng semata. Ia dan rombongannya sama sekali tidak akur padaku dari semasa SMA, sampai sekarang ini. Maksudku sampai ditahun 2020. Kupikir dengan masuk ke sekolah ‘unggulan’ dengan prestasi yang ketat aku tidak akan menemukan cewek-cewek menyebalkan seperti Karin and the gang, ternyata cewek-cewek seperti Regina George di film Mean Girls akan tetap selalu ada.

Tidak lama, bel berbunyi lagi dan kami boleh beristirahat. “Noura, mau kekantin bersama-sama?” Wulan, cewek manis berambut sebahu, mengajakku dengan riang. Wulan adalah teman pertamaku dikelas. Walaupun ada beberapa teman atau orang yang aku kenal dikelas, tapi Wulan menjadi teman pertama sekaligus teman dekat sampai aku lulus SMA. Wulan adalah cewek sederhana, namun cerdas. Kudengar dia mendapat beasiswa untuk bersekolah disini. Ia adalah gadis yang ceria, cocok berteman denganku yang pendiam dan kadang terlalu kaku ini.

“Ayo, mau makan apa?” aku bertanya sambil berpikir. Sampai detik ini, pemikiran tentang dunia-yang-mundur-ke-tahun-2014 selalu membuatku takut dan bingung, kecuali saat aku mengingat jajanan kantin yang luar biasa lezat. SMA Pelita Bangsa memiliki kantin yang luas dan beragam makanan dijual di sana, dari makanan kaki lima seperti nasi goreng dan siomay, sampai rendang mahal yang empuk dengan bumbu lezat. Aku rasa kafetaria lebih tepat untuk menyebut kantin disekolah ini. Terdengar lebih fancy.

“Ayo kita makan soto saja? Hari ini agak berangin. Pasti enak kalau kita makan soto.”

Ini dia. Hal yang membuatku takut, selain fakta bahwa aku kembali ketahun 2014 dengan sadar. Luis. Saat aku membaca buku harian semalam, aku teringat akan Luis dan semua kenangan yang telah kami lalui saat SMA. Tapi entah kenapa aku ingin mengingat kembali saat-saat ini. Jadi aku meng-iyakan ajakan Wulan.

***

Kantin sangat padat. Banyak mulut-mulut yang ingin diberikan makan. Ada juga mulut-mulut yang lebih tertarik untuk bergossip sambil menghabiskan jus mereka. Banyak siswa/siswi yang berdesakan didekat meja penjual soto. Ada yang membeli gorengan, memesan, bahkan ada juga yang mengajak Ibu kantin untuk bergossip. Aku hanya menggeleng-geleng heran.

“Ra, carikan saja meja untuk kita. Urusan memesan, biar aku saja.” Wulan berkata dengan mantap.

“Oke.” Aku memang orang yang paling malas kalau disuruh berdesakan dan mengantri. Aku melirik sekitar dan menemukan meja didekat sudut kanan kantin. Setelah mengamankan meja itu, aku melihat kearah meja yang akan diduduki oleh Luis dan teman-temannya. Masih kosong.

Wulan keluar dari kumpulan manusia dan berjalan ke arahku. Hebat juga, ia bisa memesan dan keluar dari desakan manusia itu, padahal tubuh Wulan kecil. “Ah, kau dapat spot yang bagus.” Ia nyengir.

Setelah mengobrol ringan, tidak lama soto kami datang. Luis dan rombongannya sudah duduk dimeja diseberang kami. Ada Erik, Agung, Miko, Gerry dan Dimas. Sahabat Luis. Aku melirik cowok itu. Sungguh, rasanya sudah lama sekali saat terakhir kali aku melihatnya. Aku bahkan lupa betapa tampannya sosok itu. Aku kembali fokus pada soto dihadapanku sebelum ia memergokiku yang terus-terusan menatapnya.

“Segar sekali, ya, kuah sotonya.” Komentar Wulan sambil menyesap kuah. Aku mengangguk. Lalu aku merasa ada yang melihatku. There is no surprise tentang siapa yang memandangiku. Tentu saja Luis. Pandangan kami bertemu. Intens. Ya, kata itu memang cocok untuk mendeskripsikan caranya saat memandangku. Rasanya aku ingin segera meninggalkan kantin ini.

***

Hari ini aku dijemput oleh Mama dan beliau mengajakku berbelanja bulanan terlebih dahulu. Padahal rencananya setelah pulang aku ingin langsung mencari fenomena kembali-ke-tahun-2014 ini. Berbelanja bersama Mama menghabiskan waktu beberapa jam sehingga kami pulang setelah jam makan siang.

Aku menyambar roti isi meses yang kubeli disupermarket tadi. Sengaja aku persiapkan supaya aku tidak perlu makan siang dulu, jadi aku langsung membawa laptop keatas kasur dan duduk didepan benda tersebut. Aku mengaktifkan laptop, lalu menyambungkannya ke jaringan Wi-Fi.

“Ra, kamu tidak makan?” Mama berteriak dari dapur.

“Nanti saja, Ma. Aku sedang makan roti. Belum lapar.”

Setelah tersambung, aku mengetik fenomena kembali ke masa lalu dan menemukan ribuan hasil pada laman Google. Aku membuka banyak tab artikel-artikel mengenai kembali ke masa lalu, membacanya, dan dari sekian banyak artikel yang ku baca, hanya satu hal yang dapat disimpulkan: kembali ke masa lalu adalah hal yang mustahil.

Aku meng-klik laman kedua dari Google, membaca lagi, mencari menjelajah ke masa lalu, membaca lagi, dan terus seperti itu. Aku bahkan mencari dengan mengetik kata kunci time travel dan bahasa Inggris lainnya yang serupa. Namun, kesimpulannya tetap sama: kembali ke masa lalu adalah hal yang mustahil.

Merasa lelah dan tiba-tiba pusing, aku berbaring. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aku memejamkan mata dan berharap bisa terbangun dari mimpi buruk ini.

***

Saat aku bangun, sudah pukul setengah lima sore. Aku bangun, mandi, sholat dan berharap semoga keanehan ini segera berakhir. Perutku terasa perih, karena belum makan nasi sejak siang. Aku bergegas ke dapur. Diruang tengah, ada Mama yang sedang membaca majalah kesehatan.

“Akhirnya kamu bangun juga. Mama tidak enak ingin membangunkan kamu untuk makan, karena tadi kamu kelihatan lelah sekali. Apa kamu baik-baik saja? Apa tadi disekolah kamu langsung belajar atau bagaimana?” Cecar Mama. “Tapi ini hari pertama sekolah, tidak mungkin langsung ada kegiatan yang berat-berat.”

Timpalnya. Kekhawatiran Mama membuat hatiku menghangat. Aku tersenyum. “Ma, temani aku makan, ya?”

Beliau cemberut. “Kamu ini sudah besar, tapi masih saja minta ditemani saat makan.” Walaupun begitu, ia tetap mengikutiku ke dapur. Ternyata Mama masak bacem tempe, tahu dan telur, serta sambal terasi dan tumis kangkung. Baiklah, setidaknya hari ini tidak begitu buruk. Mama menyeduh teh hijau. “Kamu mau, Ra?” Aku menggeleng. Beliau membawa cangkirnya kehadapan ku.

Iseng, aku bertanya, “Ma, hari ini tanggal berapa?”

Alis Mama bertaut. “Kamu ini seorang pelajar. Masa kamu tidak tahu hari ini tanggal berapa?” Ia geleng-geleng kepala.

Aku cemberut. “Sudah, Ma. Jawab saja. Mama tinggal jawab pertanyaanku saja.”

“Tanggal 14 Juli. Jangan bilang kamu juga lupa tahun ini tahun berapa.” Komentar Mama.

“Tahunnya aku ingat, Ma. Tapi ini tetap masa lalu.”

“Kamu bilang apa tadi, Ra?”

“Oh, tidak. Tidak apa-apa.” Aku menggeleng cepat. Takut-takut Mama merespon ‘keanehan’ pada diriku dengan membawaku kerumah sakit. “Ma, menurut Mama, kembali ke masa lalu itu mustahil atau tidak?”

“Pertanyaan kamu aneh lagi.” Mama menyesap teh nya. Tapi ia tetap menjawab, “Tentu saja itu mustahil.” Ia meletakkan tehnya di tatakan. “Kamu pernah dengar grandfather paradox?”

Aku mengangguk. Grandfather paradox adalah suatu teori dimana menjelajah waktu mustahil untuk dilakukan, karena, menurut teori ini, jika seseorang kembali ke masa lalu dan ia tidak sengaja membunuh kakeknya sendiri, maka orang itu akan menghilang dari dunia ini. Karena kakeknya tidak akan melahirkan ayah atau ibunya, dan otomatis orang tadi tidak akan lahir ke dunia ini. Aku sendiri orang yang berpikiran terbuka terhadap ilmu-ilmu sains, tapi rasanya, kembali ke masa lalu memang mustahil.

Mama melanjutkan, “Mama tidak akan pernah percaya bahwa manusia bisa kembali ke masa lalu. Bagi Mama, masa lalu adalah masa lalu, dimana kita akan melaluinya tanpa pernah diberi kesempatan untuk kembali ke waktu itu lagi. Begitupun dengan masa depan, tidak akan pernah ada yang tahu seperti apa kehidupan kita beberapa tahun atau bahkan beberapa detik kedepannya. Tapi semua itu bergantung pada masa sekarang. Saat ini. Jadi kita harus menjalani saat ini dengan baik, sehingga kita tidak akan menyesal ketika ‘saat ini’ menjadi masa lalu, dan berdampak dimasa depan.”

Suara mobil terdengar di halaman samping. Mama menyuruhku untuk menghabiskan makananku dan beliau bergegas untuk membuka pintu karena Papa sudah pulang. Dari pintu penghubung ruang tengah dan dapur, menyembul kepala Papa. “Ma, hari ini tidak usah buatkan kopi, ya. Aku mau mengajak Noura ke toko buku, sekalian kami minum di luar saja.” Wajah Papa berseri-seri. Mama mengangguk.

“Ada agenda apa ini?” Tanya Mama.

“Papa habis dapat bonus dari kantor. Jadi mau traktir Noura belanja buku. Mama mau dibelikan apa?”

“Tolong belikan deterjen kiloan di supermarket saja, Pa. Sudah kehabisan. Tadi Mama dan Noura lupa membelinya.”

“Baiklah.” Papa menoleh padaku. “Ayo, Noura. Cepat habiskan nasi kamu.”

Aku mengangguk dan tersenyum pada Papa. Ingatan tentang aku yang sudah jarang mengobrol dengan beliau di tahun 2020 menusuk hatiku. Di tahun 2014 ini aku dan Papa baik-baik saja. Tidak ada kecanggungan diantara kami. Entah bagaimana, aku ingin menjaga momen-momen seperti ini.

Mama benar. Yang paling penting adalah saat ini. Untuk apa kau meratapi masa lalu jika kau sedang berada di masa sekarang? Masa lalu tidak bisa di ulang; kau tidak bisa mengubahnya dan hal itu akan selalu tinggal menjadi kenangan. Tapi disinilah aku. Entah hal apa yang membawaku kesini—keanehan atau keberuntungan—yang aku tahu, Tuhan mengirimku dengan satu alasan: kesempatan. Kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, tidak mengulangi kesalahan, dan menyesal di masa depan.

Bahkan jika ini hanya mimpi, aku tidak peduli jika aku bangun besok, atau mungkin lima detik lagi, mimpi ini akan berakhir. Tapi yang pasti aku tidak ingin mimpi ini menjadi sia-sia. Jika di dunia di luar ‘mimpi’ ini aku tidak bisa memperbaiki hal-hal yang salah, setidaknya disini, aku bisa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!