Perhatian Kecil Menghangatkan Hati

"Bagaimana hubungan mereka berdua menurutmu?"

Gina belum menjawab pertanyaan itu lantaran dia melihat ekspresi tertarik Gavin atas ucapan dia sebelumnya yang menduga masalah yang dialami Gavin dan Hanna adalah tentang hubungan Hanna dengan Kelvin sebelumnya.

"Gin, katakan!"

"Mereka saling cinta, seperti yang pernah aku katakan padamu sebelum kalian menikah."

"Ya, dan Hanna juga sudah cerita itu." Bukan itu jawaban yang Gavin inginkan.

"Lalu, apa yang membuat kau marah dengan hubungan mereka, Kak?" tanya Gina setengah menyelidik.

Jujur Gavin sulit untuk merangkai pertanyaan yanng pantas pada Gina. Yang ada dipikirannya sebenarnya dia ingin tahu apa Hanna dan Kelvin pernah satu kamar dan melakukan hubungan yang tak seharusnya mereka lakukan.

Akan tetapi, jika ia menanyakan ini, dia hanya akan memperkeruh permasalahan rumah tangganya dengan Hanna saja.

Tak seharusnya juga Gina mengetahui apa yang menjadi keraguan Gavin tentang istrinya sendiri. Gavin merasa itu tidak pantas jika orang luar tahu tentang kecurigaannya.

"Kak?" panggil Gina lantaran Gavin tak segera menjawab pertanyaan darinya.

"Tidak, tidak apa. Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri." Tegas Gavin.

"Apa karena Hanna sudah tidak perawan?"

Deg

Gavin terpaku selama beberapa saat.

"Apa tebakanku benar?"

"Kau ini bicara apa?" Gavin tertawa kecil, namun terdengar miris.

Hanna tidak perawan?

Gavin saja tak berpikiran sejauh itu. Dia hanya menduga keduanya pernah bermesraan di dalam kamar seperti yang dia lihat saat resepsi pernikahannya.

"Sepertinya tebakanku benar. Hanna harus diberi pelajaran karena dia telah mengecewakan kakakku!" Gina sudah mau berdiri ketika Gavin meraih tangannya.

"Kau mau apa. Ingat, dia kakak iparmu. Menyentuhnya sama dengan kau menyentuhku!"

"Tapi dia sudah membuatmu kecewa. Kalau perlu ceraikan dia, Kak!"

"Jaga bicaramu Gin. Sekarang kembalilah ke kamarmu, dan jangan lakukan apapun pada Hanna. Dia sudah jadi urusanku. Mengerti!"

"Hemmm, kau sudah dibutakan oleh cinta. Terserah kau saja. Tapi ingat, jika dia terus menerus membuatmu marah, dia akan berhadapan denganku. Aku nggak rela kakakku satu-satunya tersakiti karena wanita itu."

Gavin mengacak rambut adiknya lalu tersenyum.

"Sudahlah. Lebih baik kau diam dan urus pekerjaanmu sendiri. Apa kau sudah selesai berimajinasi dalam kamarmu? Jika belum lanjutkan imajinasimu. Aku nggak mau lihat kau dikejar deadline saat akhir bulan."

"Puluhan buku novel romantis aku baca. Banyak wanita yang menikah ternyata mengecewakan suaminya karena dia tidak perawan. Biasanya lelaki yang telah merenggut keperawanannya adalah-"

"Itu hanya ada di novel karyamu. Pergilah, aku mau istirahat."

"Kenapa tidak ke kamarmu, apa karena ada Hanna?"

"Gina, bisa kau tinggalkan aku sendiri?"

"Baiklah baiklah Kakakku zeyeng."

Barulah Gavin bisa bernapas lega ketika Gina meninggalkan dirinya di ruang tivi sendirian. Namun, satu pemikiran mengganjal di kepalanya.

'Apa yang dikatakan Gina benar kalau Hanna sudah tidak perawan lagi?'

Kedua tangan Gavin mengepal erat di sisi kanan kiri tubuhnya.

Tak pernah ia memikirkan itu sebelumnya. Namun dari fakta yang ia lihat ketika Hanna ada di kamar Kelvin, dan ucapan dari Gina barusan membuat ia mau tak mau jadi memikirkan semua itu.

Selepas sholat dhuhur, Hanna kembali menunggu sang suami yang tak kunjung menghampiri dirinya di dalam kamar.

Krukkk

Bunyi lapar diperutnya kembali datang setelah tadi sudah sekitar dua kali bunyi itu nyaring terdengar di telinganya.

"Kalau aku keluar dan menemui Gavin, apa dia akan menghindari lagi?" ia kembali resah.

Namun, rasa lapar itu semakin menjadi. Tadi pagi ia tak sempat sarapan karena terus saja memikirkan keberadaan Gavin. Siang ini pun, perutnya belum terisi setetes air pun.

Maka dia memberanikan diri untuk turun mengambil makanan untuk dirinya sendiri serta untuk Gavin jika dia mau.

Saat ia akan membuka pintu kamar, ia melihat Gavin ada di depan pintu.

Pandangan keduanya bertemu.

"Gav-"

"Minggirlah!"

Titah Gavin itu kembali membuat Hanna kecewa. Ia pun menepi.

Saat Gavin masuk ke dalam, ia segera memeluk tubuh itu dari belakang dan menempelkan wajahnya di punggung sang suami.

"Ini hari pernikahan kita, Gav. Kenapa kau seperti ini padaku?"

Gavin merasakan punggungnya memanas akibat air mata Hanna yang meleleh menembus baju tipis yang ia kenakan.

"Jika aku salah, aku minta maaf. Kita tidak perlu membahas ini lagi, aku sungguh minta maaf."

Gavin mengeratkan rahangnya.

"Kau bilang tidak perlu membahas masalah ini lagi? Kau serius dengan ucapanmu!"

"Arrggg," Hanna kesakitan ketika Gavin membalikkan badan sambil mencengkeram tangannya yang mungil. "Sakit, Gav, tolong lepaskan!"

Tak peduli dengan raungan kesakitan Hanna, Gavin mendongakkan dagu sang istri hingga sang istri menatapnya.

"Hapus air mata palsumu itu. Aku sudah tidak peduli. Jika kau ingin keluarga kita melihat rumah tangga ini baik-baik saja, maka jangan menitikkan air mata atau membahas masalah ini dengan keluarga yang lain. Cukup kita saja. Dan jangan lupa dengan ucapanku sebelumnya. Diam dan tunggu sampai aku bisa kembali seperti sedia kala."

Hanna semakin menangis mendengar ucapan panjang lebar Gavin yang begitu mengintimidasi dirinya.

Bagaimana dia bisa diam seperti yang suaminya inginkan jika permasalahan yang membuat Gavin marah padanya saja dia tak tahu?

Krukkk

Perut Hanna kembali berbunyi, dan itu membuat arah mata Gavin tertuju pada perut sang istri.

"Ambilkan aku makanan. Aku lapar!" kata Gavin memerintah Hanna.

Hanna mengangguk dan segera mengusap air matanya dengan baju lengan panjang yang dia kenakan.

Ia pun ke dapur dan mengambilkan makanan untuk Gavin.

"Nona nggak makan sekalian?"

"Aku belum lapar, Bik."

Hanna kembai ke kamar dengan membawa satu piring makanan saja.

Mata Gavin memicing ketika melihat Hanna hanya membawa satu piring makanan saja.

'Apa dia tak memikirkan perutnya yang bunyi. Atau ini hanya triknya saja supaya aku memperhatikan dia?'

"Ini Gav, makanlah!"

Gavin tak menolak. Ia menerima piring itu dan kemudian ia meletakkannya di atas meja.

"Sekarang makan makanan itu hingga habis!"

"Tapi-"

"Tidak ada tapi-tapi. Aku tak mau kau banyak bertanya, Han. Ikuti perintahku!"

Hanna menunduk lalu duduk. Ia pun mengambil sendok dan menyuapkannya ke mulut.

Tanpa ia sadari, hatinya menghangat melihat perlakuan Gavin terhadap dirinya.

Pria itu tak menunjukkan secara terang-terangan bahwa ia sebenarnya peduli pada Hanna. Namun dengan cara berbeda. Dialah Gavin. Si pendiam yang dingin, tapi kadang juga bisa romantis dengan caranya sendiri.

"Jangan kira, aku peduli kepadamu." Ucap Gavin ketika ia melihat Hanna tersenyum samar setiap ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Besok lagi jangan biarkan perutmu kosong, karena kau masih memilik banyak tugas untuk melayani kebutuhanku!"

Hanna melihat Gavin masuk ke dalam kamar mandi.

"Aku menunggu tugas darimu, Gav."

**

"Mobil Gavin ada di luar. Apa dia sudah kembali dari hotel?" Mutia menunjuk mobil Gavin yang terparkir di halaman rumah.

"Sudah dua hari kakak tidur di rumah. Papa mana Ma?"

"Masih memarkir mobil di garasi. Kenapa kakakmu cepat sekali pulang? Katanya mau menginap di hotel sampai dia masuk kerja?" tanya Mutia kembali dengan wajah bingung.

Gina menarik tangan Mutia dan membawanya ke salah satu ruangan yang sepi.

"Ada masalah antara kakak dan Hanna, Ma. Masalahnya cukup serius jika aku liat. Bagaimana kalau aku ceritakan di kamarku saja, Ma?"

Terpopuler

Comments

Norma🦋

Norma🦋

hati sedih melihat Hanna 🤧 disalah pahami sama Gavin 🥺

2022-10-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!