"Kamu gimana sih, Han. Harusnya ini malam pertama kalian, tapi kamu malah membuat abangku minggat?!"
"Bukan gitu, Gin. Aku sungguh nggak tau kenapa Gavin tiba-tiba marah sama aku. Dia tiba-tiba nggak mau dengar apa yang mau aku katakan, dia-"
"Cukup. Aku yakin kak Gavin pergi karena kau telah mengecewakan dia. Ini semua salah kamu Han. Nggak ada suami yang pergi ketika malam pertama dengan istrinya. Kamu pasti yang salah. Atau mungkin kamu udah nggak perawan lagi. Dasar, ******!"
Tut tut tut
Hanna memandang ponselnya yang kembali ke beranda setelah Gina menutup panggilannya secara sepihak.
"******? Aku nggak seperti itu, Gin." Ucapnya jelas tak bisa di dengar oleh Gina.
Kesalah pahaman ini semakin menjalar kemana-mana. Hanna menyesal karena telah menghubungi Gina malam ini. Harusnya dia diam saja dan menunggu. Ia yakin Gavin akan pulang menemuinya lagi besok, jika malam ini ia tak pulang.
"Aku kurang bersabar menunggu Gavin pulang." Ia merutuki dirinya sendiri dengan gestur cemas.
Dua hari kemudian, Gavin tetap tak menampakkan dirinya di hadapan Hanna. Semakin cemas Hanna menunggu di hotel.
Ponselnya pun tetap tidak aktif. Hanna sempat menelpon Kelvin dan menanyakan keberadaan Gavin dengan pertanyaan yang tak mencurigakan. Dan ia menuai kekecewan lagi lantaran Gavin tak masuk kerja dua hari ini. Dirinya baru ingat kalau Gavin sudah ambil cuti kerja selama satu pekan untuk pernikahan mereka.
Terpaksa Hanna memutuskan untuk pulang ke rumah mertuanya. Dia sudah siap menerima kemarahan adik iparnya, tapi tetap berharap mertuanya tak tahu menahu perihal permasalahannya dengan Gavin.
Sampai di sana, asisten rumah tangga keluarga Gavin datang membukakan pintu untuknya.
"Non Hanna. Mari silakan masuk. Pucat sekali wajahnya."
Hanna hanya tersenyum.
"Bik, apa Gavin pulang ke rumah hari ini?" tanyanya dengan suara pelan, seolah tak ingin ada orang lain yang mendengar pertanyaannya itu.
"Ada. Ada di kamarnya sekarang. Dua hari ini selalu pulang pagi dan mabuk, Non. Apa nggak bilang sama Non?"
Hati Hanna bergemuruh mendengar jawaban dari si asisten rumah tangga.
"Makasih ya Bik, aku langsung ke atas aja."
"Iya, Non."
Hanna segera naik ke lantai dua menuju kamar Gavin.
Sampai di sana ia dihadapkan oleh Gina yang sudah memandangnya penuh benci.
"Aku kecewa karena kamu telah membuat hari pernikahan kakakku menjadi hari terburuk baginya, Han."
"Gin, aku harus menemui Gavin dan menjelaskan semuanya. Permisi!"
Saat Hanna melangkah, Gina mencengkeram lengannya lalu menamparnya.
Plak
"Kebencianku ke kamu sempat hilang karena kakakku begitu mencintai kamu, pun dengan kamu yang cinta kakakku. Tapi sepertinya aku salah menduga. Kau memanfaatkan kakakku untuk kepentingan kamu sendiri. Kau hanya ingin menjauhi Kelvin saja kan?"
Hanna memegang pipinya yang nyeri setelah ditampar oleh Gina. Ia menggeleng pelan tak membenarkan tuduhan Gina terhadap dirinya.
Dia dan Gina sempat bersitegang hanya karena Kelvin yang menyukai Hanna, dan Hanna pun menyukai Kelvin. Namun, Gina juga mencintai pria itu sehingga Hanna memilih mengalah dan menolak Kelvin.
Masalah selesai ketika Hanna bertemu dengan Gavin dan mereka saling mencintai. Akan tetapi, entah karena apa Gavin membenci dirinya di hari pernikahannya membuat Gina membencinya kembali.
"Maafkan aku jika aku salah, Gin. Sekarang izinkan aku menyelesaikan permasalahanku dengan Gavin. Permisi."
Gina mendengus, namun dia tak menghalangi wanita itu masuk ke dalam kamar kakaknya.
Di kamar, Gavin tidur menelungkup dengan selimut berantakan tak sepenuhnya menutup tubuh pria itu. Sebagian jatuh ke lantai berserakan.
Sepasang sepatunya juga tak berada di tempat yang tepat. Satu di kiri ranjang, satu lagi berada satu meter dari salah satunya, jaket tersampir di sofa, serta tas kecil yang sering Gavin bawa teronggok di atas lantai dekat kamar mandi.
Sepertinya Gavin membuang tas tersebut lalu menjatuhkan diri di atas ranjang.
Satu persatu Hanna memunguti barang-barang Gavin dan meletakkan semuanya pada tempatnya.
Ia juga menyelimuti sang suami dengan benar.
Dengan lekat ia pandangi sisi wajah Gavin yang nampak. Kusut dan seperti tak terurus. Berbeda ketika ia di hari pernikahan.
Hanna pun beranjak naik ke ranjang dan merebahkan diri di sebelah Gavin. Ia memiringkan tubuh menghadap ke arah suaminya.
"Harusnya kita bersenang-senang di hari pernikahan kita." Gumamnya pelan.
Hanna mengusap air mata yang tiba-tiba keluar dari kedua matanya.
"Kenapa kau begitu marah padaku? Aku pingsan dan kepalaku sakit Vin, beruntung ada Kelvin yang membantuku, kau bisa bertanya padanya. Lalu, alasan apa yang membuatmu marah seperti ini?"
Cukup lama ia mencurahkan isi hatinya tanpa di dengar oleh Gavin. Tanpa terasa Hanna tertidur pulas di sebelah Gavin sambil melingkarkan tangannya ke pinggan suaminya. Tak peduli pria itu bau alkohol. Bau yang sangat tidak ia sukai.
**
Gavin mengerjab, membuka mata sedikit dan merasakan kepalanya yang berdenyut sakit akibat mabuk semalam.
Sampai-sampai dia tak bisa mengemudi mobilnya sendirian hingga harus diantar pulang oleh salah satu karyawan bar.
Saat ia membuka matanya dengan sempurna, ia melihat Hanna ada di sebelahnya tengah tertidur.
Ia terkejut. Tangan Hanna pun melingkari perutnya.
'Apa aku ada di hotel?'
Seingatnya dia meminta palayan bar mengantarnya ke rumah orang tuanya, bukanya ke hotel.
Setelah mengedarkan pandang, barulah ia menyadari bahwa ia sekarang ada di kamar pribadinya sendiri.
Ia pun melihat wajah Hanna yang teduh sedang tidur pulas di sampingnya.
Ada gejolak di hati Gavin untuk menyentuh sang istri sang sangat ia cintai itu.
Namun...
"Bangun!" Gavin menyentak tubuh Hanna hingga membuat wannita itu membuka mata kaget.
"Vin, kau sudah bangun?"
Gavin beranjak berdiri. Ia hampir terhuyung jatuh, tapi dia memegang sandaran ranjang dengan cepat.
"Aku akan ambilkan kau minuman hangat. Duduklah dulu!"
Gegas Hanna keluar dari kamar menuju ke dapur.
Di sana ia dibantu oleh asisten rumah tangga untuk membuatkan teh jahe.
"Ini, minumlah!"
Prannkk
Hanna terkesiap ketika gelas itu berlari ke lantai dan pecah jadi beberapa bagian setelah ditepis kasar oleh Gavin.
"Vin?"
"Jangan memanggilku dengan mulut kotormu itu!"
Tak tahan lagi dengan sikap Gavin yang membuatnya bingung, Hanna melangkah maju dan memegang bahu suaminya itu.
"Katakan, ada apa? Dengan kau marah seperti ini, kau pikir aku tahu kesalahanku yang membuatmu marah?"
"Kau bisa pikir sendiri kesalahan apa yang telah kau buat."
"Meninggalkan resepsi pernikahan kita. Itu kan, Gav?" tebak Hanna.
"Aku bisa menjelaskannya Gav," Hanna melanjutkan ucapannya setelah tak ada jawaban dari Gavin atas pertanyaannya tadi.
"Aku jijik, jangan menjelaskanya!" Gavin menngangkat tangannya meminta Hanna untuk diam.
'Jijik?' kata itu terginang di kepala Hanna.
Hanna tersenyum miris mendengar itu. Ia berpikir Gavin jijik karena dia telah meninggalkan resepsi saat dia sedang sakit kepala.
"Oh, jijik. Jadi kau menganggap alasanku meninggalkan resepsi itu menjijikkan? Ok, Gavin. Jika memang itu yang kau mau. Sekarang maumu bagaimana?"
"Diamlah dan kita lalui semua ini biasa saja. Sampai aku mau kembali padamu seperti dulu!"
Tanpa berganti baju, Gavin keluar kamar dan membanting pintu kamarnya.
Hanna hanya bisa memandang dan terdiam duduk di tepi ranjang.
Gavin berada di ruang tivi dan merebahkan diri di sana. Gina datang dan menanyakan perihal masalah yang dialami pengantin baru tersebut.
"Kau bisa cerita. Apa yang telah Hanna lakukan sampai kau marah begini, Kak?"
"Tidak ada."
"Kau tidak bisa membohongiku. Apa ini mennyangkut hubungan Hanna dan Kelvin?"
Seketika Gavin memandang Gina dengan tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments