Tekanan

"Jangan mengada-ngada, Gina. Nggak mungkin Hanna menghianati Gavin dengan pria yang dulu sudah dia tolak!"

"Tapi nyatanya seperti itu, Ma."

Tak ada yang ditutupi oleh Gina ketika ia menceritakan hubungan yang terjalin antara Hanna dan Kelvin sebelum Hanna dan Gavin bertemu.

Mereka saling mencintai, tapi entah alasan apa akhirnya hubungan itu tak berlanjut.

Dan semua Gina ceritakan secara gamblang pada mamanya sesuai yang dia tahu.

Terlihat Mutia mengeratkan rahangnya marah. Ia tak menyangka jika wanita yang baru dinikahi anak sulungnya adalah seorang pengkhianat dan ******.

"Mama nggak bisa biarkan ini berlanjut. Mama harus bicara sama mereka berdua. Terutama sama Hanna."

"Tunggu, Ma. Jangan menegur kakak, cukup tegur Hanna. Dia yang bersalah di sini. Suruh dia cerai sama kakak dan usir dia dari sini!"

Setelah beberapa detik berpikir, Mutia menganggukkan kepala setuju dengan usulan dari Gina. Hanna yang salah bukan putranya, maka dia harus melepaskan Gavin untuk kebahagiaan pria yang telah dia hianati.

**

Makan malam keluarga Ilham semalam tak mempertemukan mama papa Gavin dengan pasangan suami istri baru, Gavin dan Hanna.

Dan pagi ini, semua lengkap berkumpul di ruang makan. Hanna duduk di sebelah Gavin, sementara Mutia dan Gina duduk bersebelahan. Ridwan selaku kepala keluarga duduk di meja paling ujung.

"Ma, Pa. Maaf, semalam saat mama dan papa pulang, Hanna nggak keluar menemui kalian berdua." Ucap Hanna dengan suara lembut dan sopan.

Ridwan tersenyum mendengar permintaan maaf dari menantunya tersebut.

"Tidak masalah, Hanna. Papa tahu kau pasti lelah setelah acara pernikahan kalian. Sekarang kau sehat 'kan?"

"Alhamdulillah Pa, Hanna sehat."

Respon benci ditunjukkan oleh Mutia dan Gina ketika mendengar perbincangan singkat papa mertua dan menantu tersebut.

Namun, tak ada sepatah katapun yang mereka keluarkan demi menjaga waktu sarapan mereka berjalan dengan lancar dan baik.

Ridwan berangkat ke kantor selesai sarapan. Dan Gavin, masuk ke dalam kamar untuk menikmati masa cuti yang dia ambil.

Hanna membersihkan meja makan. Mengumpulkan peralatan makan yang kotor dan menumpuknya di wastafel.

"Biar saya saja, Non. Non istirahat!" Bibik hendak mengambil alih peralatan makan yang saat ini dicuci oleh Hanna.

"Bibik ngerjain yang lain aja. Ini biar aku yang cuci. Nggak ada kerjaan nggak enak!" sahut Hanna sembari menyunggingkan senyum.

"Kalau begitu, saya ke belakang untuk membersihkan area belakang ya Non."

'Iya, Bik."

Tinggallah Hanna sendirian mencuci piring di wastafel dapur.

Sambil mencuci peralatan makan, ia teringat kejadian semalam saat pertama kali dia satu ranjang dengan Gavin.

Sayangnya, tak ada yang spesial di malam itu. Gavin memilih tidur di sofa, dan dia tidur di ranjangnya.

Demi apa?

"Merajuk," gumamnya sembari tersenyum miris.

"Hanna?"

Hanna terkesiap namanya dipanggil secara tiba-tiba.

Ia segera meletakkan sabun cuci dan berbalik memandang sang ibu mertua yang sudah berdiri di belakangnya.

"Tinggalkan itu, mama mau bicara sebentar!"

Tanpa curiga, Hanna mengangguk mengiyakan ajakan dari mama mertuanya. "Iya, Ma."

**

"Harusnya pernikahan kalian jadi pernikahan terindah untuk kalian berdua. Terutama untuk Gavin, anak sulungku. Tapi kamu telah mengecewakan mama dengan membuat pernikahan ini menjadi hari terburuk Gavin." Ucap Mutia dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Betapa terkejut Hanna mendengar kalimat panjang mama mertua.

'Secepat inikah berita kemarahan Gavin padaku di dengar oleh mama?'

"Saat itu aku pusing dan ingin istirahat, Ma. Aku nggak sempat izin Gavin untuk kembali ke kamar karena dia sedang bersama dengan teman-temannya dan jaraknya jauh dariku. Aku-"

"Jika masalah itu mama sudah tahu dari Gavin sendiri. Dia yang bilang kau istirahat di kamar karena lelah. Namun, apa kau sadar ada hal lain yang membuat Gavin marah denganmu? Kau penghianat, Hanna. Kau tak serius mencintai Gavin, dihatimu ada pria lain!" tunjuk Mutia pada Hanna.

"Maksudnya, Ma?"

"Jangan pura-pura bodoh dan sok tak tahu. Apa artinya seorang suami meninggalkan istrinya di malam pertama mereka jika bukan karena kau telah mengecewakan dia. Aku kira kau wanita cerdas dan baik. Tapi sepertinya aku salah menilaimu, Hanna."

"Ini kesalahpahaman, Ma. Aku-"

"Mama ingin kau menjauh dari Gavin. Lebih cepat lebih baik!"

Hanna menggeleng cepat.

Permasalahannya dengan Gavin hanyalah sebuah kesalahpahaman yang bisa dibenahi. Dia dan Gavin pasti bisa menyelesaikan semua ini, tapi perlu beberapa waktu untuk melakukannya.

Hanna tak akan memenuhi permintaan mama mertuanya itu. Tidak akan pernah.

"Tidak, Ma. Maaf. Tapi kami hanya butuh waktu untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini. Aku dan Gavin bisa menyelesaikannya, mama tidak perlu khawatir."

Plak

Sebuah tamparan keras di terima oleh pipi kanan Hanna hingga rambutnya berantakan menutup wajah.

"Tidak perlu khawatir katamu? Kau tidak sadar kau telah membuat Gavinku murung dan tak selera melakukan apapun!"

Sekuat yang ia bisa Hanna menahan air matanya yang sudah membendung di pelupuk.

"Pikirkan baik-baik ucapan mama. Gavin seperti itu karena kau, bukan karena orang lain atau siapapun. Sadar diri. Jika kau sungguh menyukai Gavin, lepaskan dia untuk kebahagiaannya. Aku yakin dalam hatinya dia telah menyesal dengan wanita seperti kamu. Jika kau butuh uang, aku akan memberikannya berapapun yang kamu minta. Sekarang, pergilah!"

**

Hanna melangkah pelan ke belakang rumah dengan sorot mata menerawang ke depan. Tatapannya kosong. Matanya sembab, hidungnya merah. Dia sungguh menahan diri untuk tak menangis.

"Non baik-baik saja?" tanya bibik yang sedari tadi sudah memperhatikan Hanna.

Hanna sempat terkesiap ketika bibik menyapanya. Ia kemudian menggeleng dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

"Bibik ambilkan minum mau?"

"Nggak usah Bik." Tolaknya.

Hanna menyadari kebaikan yang diberikan oleh asisten rumah tangga suaminya padanya. Dan dia merasa hanya dialah orang yang bisa membuat Hanna bertahan di sini.

"Apa yang bisa Bibik bantu untuk, Non?"

Setelah mendengar pertanyaan lembut dan tulus itu, Hanna tak kuasa lagi menahan tangis.

Ia curahkan tangisnya di hadapan bibik dengan sesenggukan.

"Beri aku waktu untuk menangis, Bik!" katanya di sela isak tangis.

"Silakan, Non. Bibik akan menemani Non di sini!"

Tepukan pelan diberikan oleh bibik pada bahu Hanna. Hampir lima belas menit Hanna menangis, barulah ia mulai merasa tenang dan lega.

"Janngan bilang ke siapapun kalau aku menangis ya, Bik!"

"Iya Non iya. Rahasia Non aman sama Bibik!"

Setelah menumpahkan kesedihannya, Hanna kembali ke kamar. Dan ia temui adalah Gavin yang sedang berkutat dengan laptopnya.

"Apa kau ingin aku buatkan kopi?" tawarnya.

"Tidak."

Hanna bergerak mendekati Gavin dan duduk di sebelahnya, namun Gavin beranjak menutup laptop lalu pergi ke atas ranjang.

Kembali untuk kesekian kalinya Hanna merasa diabaikan oleh sang suami.

Hingga hari-hari ke depan keadaan tak kunjung berubah. Di dalam kamar ia dijauhi oleh Gavin, sementara di luar kamar Hanna mendapatkan tekanan dari adik ipar serta mama mertuanya.

Yang bisa membuat dirinya nyaman di rumah tersebut hanyalah Ridwan, papa Gavin yang sepertinya tak tahu menahu kalau keluarganya yang lain kini tak menganggap Hanna ada dalam rumah tersebut.

"Gav, bisa kita bicara sebentar?" Hanna memberanikan diri untuk bicara pada Gavin.

Ia sudah cukup lama berdiam dan menerima semua. Tapi sepertinya masalah tak akan berakhir jika dia terus saja berdiam diri.

"Apa?" Gavin berkata tanpa menatap Hanna. Ia sibuk dengan dasi yang ia pasangkan di leharnya.

Ini adalah hari pertama Gavin kerja setelah sepekan ambil cuti karena menikah. Dia sangat bersemangat sekali dilihat dari ekspresi wajahnya.

"Aku punya satu permintaan. Syukur kalau kau mau mengabulkan permintaanku ini, Gav.

"Apa?"

"Bagaimana jika kita beli rumah sendiri dan pindah dari sini?"

"Kau tidak betah di rumah ini?" tuduh Gavin pada istrinya.

"Jangan salah paham. Bukannya aku tidak betah, tapi aku ingin mandiri, Gav."

"Tidak. Kau harus banyak belajar jadi istri yang baik di rumah ini."

'Itu juga jadi hukuman karena kau telah tidur dengan Kelvin saat acara pernikahan kita belum selesai!' Gavin melanjutkan kalimatnya dalam hati.

"Haruskah begitu?"

"Kau menolak perintah ku?"

"Bukan, bukan begitu."

Hanna menghela napas panjang. Rasanya ia sudah tak ingin mendebat Gavin di saat hari bersemangatnya untuk masuk kerja.

Hanna membantu meraih dasi Gavin dan memasangkannya dengan benar. Hati Hanna kegirangan seketika ketika Gavin tak menolak bantuan darinya.

Ia ambilkan juga tas kerja Gavin dan memberikannya dengan senyum lebar di wajahnya.

"Hati-hati di jalan." Hanna meraih tangan suaminya lalu mencium punggung tangan tersebut.

Setelah Gavin berlalu mengendarai mobil sendiri, Mutia menarik tangan Hanna dan membawanya ke sebuah kamar tamu di lantai bawah.

"Ada apa, Ma?"

"Tandatangani ini!"

Terpopuler

Comments

✰͜͡ᴠ᭄⸙ᵍᵏ⏤ᴺᵁᵀᵀ--Kᵝ⃟ᴸ🦎

✰͜͡ᴠ᭄⸙ᵍᵏ⏤ᴺᵁᵀᵀ--Kᵝ⃟ᴸ🦎

ibu gavin kenapa jadi jahat

2022-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!