Lelaki di bawah pohon asem

Ayu terus berlari menerobos kerumunan ibu-ibu yang hendak kondangan. Ia lalu berhenti di pohon asem rindang, tidak jauh dari rumah kekasihnya. Ah saat ini statusnya harus sudah diganti, yaitu mantan kekasih.

Ia kembali terisak, "Tega kamu mas, tega, jahat kamu mas, kamu ingkar dengan semua janji-janjimu, mas Harsa kamu jahat," cerocos Ayu meracau sendiri, masih dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya.

"Ehhmmm."

Ayu terkejut dengan suara deheman lelaki yang ternyata sedang berteduh juga di pohon asem. Lelaki itu cukup rapi dengan setelan batik dan celana panjang berwarna hitam.

Ayu tidak menghiraukan kehadirannya, ia melanjutkan tangisan dan terus saja meracau. Hal ini bertujuan agar sampai rumah nanti dirinya sudah tenang, tidak membuat ibunya khawatir.

"Dih nangisnya tambah kenceng, nanti kesambet setan pohon asem ini lhoo Mbak," kata lelaki itu. Ayu mendengarnya namun ia hanya meliriknya sinis. Eh malah lelaki itu terkekeh. Seperti lucu sekali melihat Ayu menangis.

"Mas, kalau mau kondangan ke sana, jangan di sini, yang punya hajat di sana, bukan di sini," ucap Ayu akhirnya berani membuka suara.

"Sumpek di sana, banyak emak-emak pada heboh, usel-uselan, mending di sini sambil ngadem, anginnya sepoi-sepoi lagi. Eh Mbak, mau es tung-tung nggak?" tanya lelaki itu. Ayu tidak merespon, ia terdiam sambil melihat sungai yang mengalir tenang di bawah pohon asem.

"Nih." Lelaki itu memberikannya satu es tung-tung. Ayu meliriknya sambil bergumam dalam hati, sok akrab sok baik, tapi Ayu menerimanya karena rasanya tidak sopan jika sudah dibelikan tapi menolak.

Ayu melihat lelaki itu tampak menikmati es tung-tung yang dibelinya.

"Dimakan, nanti meleleh, jangan ngeliatin saya terus, saya sudah tahu dari dulu kalau saya itu ganteng," ucap lelaki itu jumawa. Ayu mendengus kesal, percaya diri sekali si es tung-tung, mengatakan dirinya ganteng.

Ayu memakan es nya sedikit demi sedikit, ada rasa tenang dalam hatinya, lelah juga sedari tadi terisak, es ini juga membuatnya terasa nostalgia zaman kecil dulu, saat dirinya belum memikirkan soal asrama dan lelahnya menjadi dewasa.

"Enak yah es nya," tanya lelaki itu pada Ayu. Ayu mengangguk, refleks saja karena memang enak.

Saat Ayu mendengar lagi iringan doa pengantin, air matanya kembali meleleh. Namun mulutnya tetap memakan es tung-tung.

"Kenapa?"

"Ternyata sakit sekali dihianati," ceplos Ayu. Entahlah tiba-tiba ia mengatakan demikian pada lelaki yang tidak ia kenal.

Lelaki itu terkekeh, "Pacaran bertahun-tahun tidak bisa menjamin kalau hubungan tersebut bisa berakhir di pelaminan. Bahkan, yang sudah melaksanakan tunangan pun masih bisa gagal dan tidak jadi menikah. Pasti rasanya sakit bukan main. Ditambah lagi, kalau tiba-tiba pasangan memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Duh, nggak kebayang, deh."

Ayu menatap lelaki yang ada di sebelahnya, "Memangnya kamu tahu apa yang sedang aku tangisi."

"Tahu, kan dari tadi kamu menangis sambil meracau-racau tentang pengantin pria yang sedang bersanding di pelaminan. Wanita yang dinikahinya itu saudara saya. Sedikit cerita saya tahu kenapa keduanya menikah, dan sepertinya kamu kekasihnya pengantin lelaki itu yah?"

Ayu terdiam, tidak menyangka jika lelaki yang sedari tadi mendengar cerocosannya adalah saudara dari mbak Mira.

"Ya, kehidupan ini terjadi dari berbagai fase. Anggap saja saat ini kita juga sedang menjalani sebuah fase. Saat yang lain berbahagia menikah dan membangun rumah tangga mereka, inilah fase kita untuk bisa lebih dewasa. Dewasa untuk kembali menyusun prioritas hidup. Dewasa untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Terus memperbaiki diri agar hidup ini jadi lebih berarti. Kamu sepertinya juga masih sangat muda." Kini justru lelaki itu yang terus bicara.

"Bhumi ... Bhumi... sedang apa kamu di situ?" Lelaki itu menengok ke arah sumber suara. Lalu bergegas berdiri, setelah itu pergi meninggalkan Ayu.

Ayu menengok sekilas, lelaki itu sedang berbincang dengan wanita setengah baya, mungkin saja ibunya.

"Bhumi mau kemana lagi, sesi foto sudah dimulai."

"Iya sebentar, itu mau pamit dulu sama hantu pohon asem Bun."

Ayu berdecak, menyebalkan sekali lelaki yang ternyata bernama Bhumi itu menyebutnya hantu pohon asem.

Bhumi menghampiri Ayu kembali, lalu berpamitan jika dirinya akan pergi, Bhumi berpesan agar Ayu tidak banyak melamun karena pohon asem yang ia gunakan untuk berteduh sangat angker.

"Sabar yah, mungkin ini hal yang klise dan sudah sering didengar. Pernikahan bukan perlombaan. Setiap orang akan menemukan cinta sejatinya di waktu yang paling tepat. Dan ya, setiap orang akan menikah pada waktunya. Meski begitu, tak bisa dipungkiri kalau kadang kenyataan yang ada bisa membuat kita begitu terpukul. Kenyataan bahwa tinggal kita seorang diri yang menemukan tambatan hati, membuat kita merasa dunia sangat tak adil. Kita merasa seolah semesta sengaja mempermainkan kita dan membuat kita jadi orang paling sedih di dunia. Lupakan pahitnya, jangan lupakan pelajarannya," ucap Bhumi meninggalkan senyuman lalu berlari masuk ke dalam tempat hajatan.

Ayu merenungi kata-kata Bhumi, apa yang diucapkan lelaki itu benar, tapi kenapa tiba-tiba ada lelaki itu, apa mungkin Tuhan menghadirkannya agar bisa menasehati Ayu dan sedikit mengurangi rasa galaunya.

Ayu bergegas meninggalkan pohon asem dan kembali menaiki motornya, takut apa yang dikatakan Bhumi benar jika pohon asem ini banyak hantunya, takut juga hilaf malah terjun ke sungai, kasihan ibu bapak nanti.

☘️☘️☘️

Sesampainya di rumah, bu Fatimah langsung menghampiri Ayu, ia sengaja menunggu putrinya sedari tadi, takut terjadi sesuatu pada putrinya.

"Ayu ..." Bu Fatimah memeluk putri semata wayangnya. Tidak ada lagi tangis yang mengalir dari mata Ayu, sudah terkuras habis tadi di bawah pohon asem.

"Ayu baik-baik saja Bu." Bu Fatimah melepaskan pelukannya, ia menatap Ayu, ada bekas tangisan di mata Ayu.

"Istirahat saja yah." Bu Fatimah mengantarkan ayu ke kamarnya.

Ayu menutup kamarnya, ia melihat sekeliling kamarnya, banyak barang-barang pemberian kekasihnya. Ia tidak istirahat, melainkan mengemasi barang yang pernah kekasihnya berikan. Ayu tidak ingin dibayang-bayangi kenangan dari mas Harsa.

Mas Harsa kini sudah menjadi suami orang, yang artinya takdir sudah berpihak pada mbak Mira. Ayu lah yang harus mengubur dalam-dalam kenangan indah yang pernah terjadi.

Ayu dan mas Harsa kini sudah ada pembatas yang sangat besar, tidak mungkin kembali seperti dulu lagi.

Ayu tentunya mulai memikirkan kembali segala kemungkinan terburuk yang terjadi saat dirinya mencintai pria yang sudah memiliki istri ini. Faktanya, mencintai suami orang lain adalah hal yang tidak bisa diterima.

Mas Harsa sudah menikah, dia sudah berkomitmen dengan orang lain, dan Ayu harus menghargainya. Ia akan mengubur dalam-dalam perasaannya terhadap mas Harsa.

4 tahun rasanya waktu yang sangat sia-sia. Ayu hanya ditakdirkan menjaga jodoh oranglain. Mbak Mira memang cantik, juga sudah dewasa, apalagi rumah mereka berdekatan, mungkin hal itu yang membuat mas Harsa akhirnya berpindah ke lain hati.

Seperti halnya pepatah jawa, trisno iku jalaran soko kulino. Karena bertetangga dan seringnya bertemu ketimbang dirinya yang jauh di Bandung.

(Jangan lupa like komen dan Vote yah sayang ku semua. Kabar emak Alhamdulillah sehat, dede bayi sehat sudah 2 bulan Alhamdulillah. Novel emak bakal sampai tamat, bakal nulis di sini terus kok tenang aja)

Terpopuler

Comments

Maaaaaak"utun"..nie🍉

Maaaaaak"utun"..nie🍉

😢😢😢🤣🤣🤣

2023-11-07

0

☠☀💦Adnda🌽💫

☠☀💦Adnda🌽💫

keren msk San dua nama orang digabungin JD bhumi & ayu ....

2023-09-30

0

w⃠Amy ✰͜͡ṽ᭄

w⃠Amy ✰͜͡ṽ᭄

kasian sekali ayu, tapi semua pasti ada hikmahnya, lanjut mak

2023-03-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!