Hari-hari berikutnya adalah hari penuh gemerlap untuk Ganis. Gadis itu tengah naik daun. Tengah menikmati puncak kariernya. Namanya menggema di mana-mana. Banyak sekali undangan pertunjukan yang secara khusus meminta dirinya untuk menari. Tak jarang juga, ia menerima undangan untuk menari secara pribadi. Undangan tunggal yang hanya dia seorang penarinya. Pengaruhnya pun menjadi cukup besar. Pak Wiryo sangat mempertimbangkan pendapat Ganis karena Ganis adalah icon utama dari sanggarnya saat ini. Karena itu jugalah, Ganis bisa dengan mudah, meminta pak Wiryo untuk menerima Agung sebagai penabuh gamelan di sanggar.
"Kamu beneran berhasil masukin aku ke sanggar Nis."
"Tentu saja. Aku kan sudah janji sama kamu Gung."
"Hebat kamu! ucapanmu sangat didengar sama pak Wiryo."
"Iyalah karena saat ini, aku itu mesin pencetak uang di sanggar ini. Buat sanggar ini dan buat pundi-pundi uangnya pak Wiryo juga."
Jawaban Ganis mengundang gelak tawa keduanya.
"Iya-iya tapi jangan pakai istilah begitulah! Konotasinya negatif."
"Iya Gung iya, anggap saja kalau aku lagi naik daun dan sedang jadi penari paling hits saat ini."
"Nah itu baru benar."
"Iya."
...🍁🍁🍁...
Keseharian Ganis begitu sibuk. Undangan tari terus berdatangan. Kalau tidak latihan, ya pasti sedang tampil. Selalu begitu hingga rasanya, tiada hari bersantai barang sekedar duduk di teras rumahnya. Ketika ada libur, ia gunakan untuk tidur. Meski begitu, Ganis sangat menikmati kesibukannya tersebut. Selain karena telah menghasilkan banyak uang, juga karena ia sangat menggemari seni tari. Ibarat kata, sambil menyelam, minum air. Ia menari untuk menyalurkan hobi sekaligus mendapatkan duit. Lengkap sudah, sungguh profesi yang menyenangkan untuk digeluti.
...🍁🍁🍁...
"Ganis.."
Seseorang memanggil Ganis kala gadis itu hendak pulang dari sanggar, Ganis pun menoleh.
"Nis.. mau pulang?" tanya seorang laki-laki yang tadi memanggilnya.
"Mas Ari (anak pak lurah)?"
"Iya. Kamu mau pulang Nis?"
"Iya mas."
"Oh.."
"Mas Ari mau ke mana?"
"Sebenarnya sih, mau nemuin kamu."
"Aku? ada apa?"
"Kita ke sana yuk! ngobrol bentar di sana!"
"Emm.. iya, mas Ari duluan saja!"
"Iya."
Mas Ari pun melajukan motornya disusul Ganis yang mengikuti dari belakang. Mereka berhenti di bawah pohon rindang. Memarkir motor masing-masing di sana lalu berbincang berdua.
"Ada perlu apa mas Ari mencariku?" tanya Ganis membuka perbincangan.
"Enggak ada yang penting sih cuma mau lebih kenal saja sama kamu. Akhir-akhir ini, namamu lagi melambung ke langit. Tarianmu itu bisa menghipnotis setiap mata yang melihatnya, termasuk aku."
Ganis tersipu mendapat pujian dari mas Ari.
"Jadi, mas Ari salah satu penggemarku nih?"
"Betul sekali," jawab mas Ari cepat yang lekas membuat Ganis tertawa kecil.
Perbincangan itu pun menghangat dengan cepat. Keduanya menjadi akrab dan kian intens berkirim kabar. Bahkan, mas Ari juga mengklarifikasi perihal kedekatan Agung dan Ganis. Tentu saja, ia lekas bersorak senang kala Ganis mengatakan kalau ia dan Agung hanyalah teman. Bisa dibilang juga sebagai sahabat yang sudah sangat dekat bagaikan saudara.
"Aku senang mendengarnya," ucap mas Agung seraya mengulas senyum.
...🍁🍁🍁...
Di sanggar kembali sibuk sebab, malam ini akan ada pertunjukan lagi di rumah salah seorang warga. Seorang warga yang bisa dibilang lumayan kaya. Ia sedang menikahkan putri semata wayangnya. Hiburannya adalah pertunjukan tari dari sanggar Sekar Arum.
Seperti biasa, semua perlengkapan dibawa ke lokasi acara dan para kru mempersiapkan diri masing-masing. Agung baru selesai mengganti busananya ketika ia melihat salah satu penari tengah membakar dupa. Awalnya, Agung hanya melihatnya sekilas. Lambat laun, ia kian serius memperhatikan. Hal ini dikarenakan, tidak hanya satu penari itu saja yang seolah melakukan ritual. Melainkan semua penari termasuk juga Ganis.
Jika yang lain terlihat begitu jelas, lain halnya dengan Ganis. Andai tidak melihat sendiri dengan sangat teliti maka, tidak akan tahu kalau ia pun melakukan ritual juga. Meski metode ritual yang dilakukan berbeda-beda. Ada yang menyalakan dupa, ada yang meneteskan kemenyan dan ada juga yang mengunyah sekuntum bunga. Bunga melati lebih tepatnya. Sementara Ganis, ia hanya komat-kamit pelan. Tiada suara yang keluar, hanya bibir yang bergerak perlahan.
"Hemm... apa yang Ganis rapalkan ya?" benak Agung di dalam hati.
Tidak hanya itu, ternyata para sinden pun juga melakukan ritual khusus sebelum dimulainya pertunjukan. Agung hanya memperhatikan tanpa berniat untuk menegur atau pun bertanya. Dia hanya akan menanyai Ganis saja karena mereka memang sudah akrab. Agung merasa lebih leluasa dan tidak merasa khawatir akan menyinggung perasaan seseorang.
"Gung, cepat stand by! bentar lagi mulai," pinta pak Wiryo.
"Siap pak!" jawab Agung seraya lekas bersiap pada posisinya.
Acara hari itu pun berjalan dengan lancar. Rasa lelah terbayar lunas dengan hingar-bingar kemeriahan pertunjukan. Pemilik hajat merasa senang. Demikian pula para undangan dan para penonton yang lainnya. Selesai acara, semua perlengkapan dibawa kembali ke sanggar. Barulah setelah itu, semua kru pulang.
"Alhamdulillah! ayo pulang Nis!" ajak Agung.
"Iya Gung, ayo!"
Keduanya pun menyalakan motor masing-masing lalu melaju pulang.
...🍁🍁🍁...
Usai membersihkan diri, Ganis lantas merebahkan diri di ranjang. Meraih ponselnya untuk mengirimkan pesan kepada mas Ari. Ya, mereka memanglah telah semakin dekat. Wajar saja jika Ganis memberinya kabar dan terus berbagi cerita keseharian dengannya.
[ Maaf! tadi tidak hadir di pertunjukanmu ] - Bunyi pesan singkat yang mas Ari kirimkan.
[ Tidak apa-apa mas, mas Ari sedang tidak sehat. Harus lebih banyak istirahat. Bagaimana keadaan mas Ari sekarang? ]
[ Sudah jauh lebih baik Dik (panggilan khusus dari mas Ari untuk Ganis). Besok, kalau memang sudah betul-betul fit, aku akan menemuimu. ]
[ Tidak perlu buru-buru mas. Kesehatan mas Ari lebih penting. Aku juga tidak ke mana-mana. Kita masih bisa ketemu kapan saja. ]
[ Oh baiklah, malam minggu ya? aku mau ajak kamu jalan, boleh? ]
[ Boleh mas. ]
[ Ya sudah kalau begitu, kamu buruan istirahat! sudah malam. ]
[ Iya mas, mas Ari juga ya! ]
[ Iya Dik. ]
Senyum masih tersungging di bibir ketika Ganis meletakkan ponselnya di nakas. Sepertinya, dia telah benar-benar jatuh cinta kepada mas Ari, si anak Lurah. Mas Ari memang lumayan sedap dipandang. Karenanya, tak sedikit juga, para gadis yang menaruh hati padanya. Sungguh suatu kebanggan bagi Ganis jika saat ini, mas Ari begitu dekat dengannya.
Berdasarkan kedekatan keduanya itu lah, Ganis menduga kalau tidak akan lama lagi, mas Ari akan mengutarakan perasaannya. Rasanya, sudah tidak sabar untuk menanti. Namun, seperti inilah seorang gadis. Bukankah ia harus lebih sabar menanti? sebab, tidak terlalu pantas jika ia bertindak lebih dominan. Apa pun itu, Ganis merasa sangat senang.
...🍁 Bersambung... 🍁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
sudah rahasia umum kek nya,, penari tarian tradisional,, sinden, dalang dkk itu biasa melakukan ritual sebelum pertunjukan
2022-10-26
6
Ai Emy Ningrum
ya bgitulah cinta..kaya hukuman mati ..kalo ga ditembak 🔫 ya digantung kek jemuran basah 👚
2022-10-26
6
Rinisa
Next Kak....🤗
2022-10-25
1