"Mas nanya serius. Apa rencana kamu setelah ini?" Aga yang baru saja kembali dari toilet kini duduk dihalaman rumah di samping Chaca yang repot sendiri karena rok nya yang semakin naik saat dia duduk. Aga meletakan satu bantalan sofa di paha mulus Chaca.
"Nanti nyesel loh ditutupin mas. Nggak bisa liat" meski mulutnya mengatakan demikian. Chaca meletakan bantal yang diberikan Aga di atas pahanya dan mengambil satu bantal lagi untuk menutupi sisi kiri pahanya. Percayalah Chaca nggak se—jablay itu meski ucapannya tak sejalur dengan hatinya.
"Pakai baju yang sopan Cha. Ini Indonesia yang budayanya ke timuran, bukan Jerman"
"Iya tahu. Lagi pula aku juga baru sampai tadi mas. Jadi nggak sempet ganti baju. Tapi ngomong-ngomong—"
Aga melirik sebentar ke arah Chaca yang kini menunjukkan sederet gigi putih dan rapi. Dari matanya, Aga sadar ada kilatan aneh dari kedua mata cantik itu.
"Mas nggak kegoda gitu sama aku, ngeliat pakaian aku yang begini? Suaekkksi"
"Mas nggak napsu sama cewek yang modelannya kaya kamu." jawab Aga datar bin tajam. Setajam silet.
Chaca menghela napasnya lalu mengembalikan bantal sofa kepada Aga. Tak lupa bantal yang berada di sisi pahanya juga ia kembalikan ketempat semula. Chaca hanya ingin melihat sekuat apa iman duda beranak satu ini. Namun saat tak ada sedikitpun perubahan ekspresi wajah Aga yang malah kini menatap lurus ke jalan, Chaca berdecak sebal dan kembali menutupi pahanya dengan bantal. Sore ini hujan turun cukup deras. Roknya yang pendek, membuat kakinya terasa lebih dingin daripada suhu badan yang lain.
"Jadi apa rencana kamu setelah ini?" Aga kembali melemparkan pertanyaan yang sama. Masalahnya, jika Chaca kembali, dan dirinya tak memiliki ikatan pernikahan apapun dengan orang lain. Maka janji dirinya dengan ayah Chaca kembali berlaku.
"Nggak tahu. Kalau gagal jadi istri mas, jadi pembantu mas juga nggak masalah. Atau jadi tukang pijet plus plus buat mas Chaca mau banget, tapi dihalalin dulu"
Aga menghela napasnya lelah. Bicara dengan Chaca memang tak ada serius-seriusnya sama sekali. "Mas tanya serius dek"
Ada sebuah senyuman kepuasan yang muncul di raut wajah Chaca sekarang. Puas karena berhasil membuat mas Aga sedikit geram karena candaannya sejak tadi. Keputusan yang baik untuk pulang ke Indonesia, jika tidak maka percayalah mungkin dirinya akan lupa bagaimana rasanya tersenyum sepuas ini.
"Chaca udah sebar lamaran di sini sejak 2 minggu yang lalu. Sambil nunggu dapat kerjaan, Chaca siap untuk menerima lamaran yang lain. Lamaran jadi istri mas contohnya"
Aga hanya melirik sebentar ke arah Chaca sebelum akhirnya tertawa. Ya lebih baik menanggapinya dengan tawa saja seperti dulu daripada ikutan gila. Yerin masih terlalu kecil untuk memiliki ayah yang kehilangan kewarasannya.
Jari-jari Chaca mengepal saking gemasnya melihat tawa pria disampingnya ini. Noh. Liat, ketawa aja ganteng banget, gimana nggak klepek-klepek kaya ikan di tanah ini hati.
"Mas ada posisi kosong buat kamu. Mau?" tanya Aga sambil menoleh ke arah Chaca yang kini menatapnya serius. Tak lupa dengan mata berbinar sarat akan kesalahpahaman. "Di kantor. Bukan di rumah tangga" lanjut Aga.
"Yah.." keluh Chaca.
"Mau nggak?"
"Jadi apa? Jadi sekretaris mas?"
"Mas udah punya sekretaris. Ada bagian yang kosong di departemen keuangan. Cocok sama jurusan kamu"
Chaca menggeser kursinya agar semakin dekat dengan Aga. "Mas tahu nggak?"
"Apa?" dahi Aga berkerut. Melihat ekspresi serius Chaca membuat Aga bingung sendiri antara perlu mempercayai ekspresi itu atau tidak.
"Aku diajarkan sama profesor study bussines ku saat kuliah. Ada jabatan yang paling penting dan pas ditempati oleh lulusan accounting"
Seperti memiliki magnet dengan ekspresi itu. Aga jadi ikut penasaran dan menatap Chaca serius. Kali saja ada kiat-kiat cara mempertahankan bussinesnya, atau mungkin kita-kita untuk mengembangkan bussines yang tengah ia rintis sekarang "Apa?"
"Jabatan yang pas itu. Jadi istri"
Salah sendiri memang karena mempercayai ekspresi Chaca dan menganggap ada hal penting yang disampaikan. Aga menyentil dahi Chaca pelan yang malah dihadiahi dengan tawa menggema gadis ini.
Tawanya yang bak mak lampir itu bergantian dengan hujan yang kini mulai reda. Hanya rintik-rintik air saja yang masih setia menyapa tanah basah di bumi.
"Kapan aku bisa kerja mas?" daripada jadi daging cincang yang dimasak oleh mamihnya lalu dibuang ke kali. Chaca lebih baik menerima tawaran mas Aga. Tak menjadi sekretaris pria ini yang bisa mengekor kemana saja, jadi kacungnya di departemen keuangan juga tak masalah. Lagi pula, Chaca juga butuh cuan untuk membeli make up bulan depan.
"Lusa" setelah menjawab, Aga sadar jika tawarannya barusan jelas salah adanya. Baik di kantor ataupun di rumah, hidupnya pasti akan sangat kacau.
**
"Kamu bilang apa barusan Cha?"
Chaca melirik ngeri mamihnya yang kini tengah duduk di ruang tengah. Tadi Hanum sempat bertanya kapan Chaca akan kembali lagi ke Jerman karena kepulangannya kali ini dianggap cuti oleh sang pa'de. Maka saat Chaca menjawab akan tetap tinggal di Indonesia, tatapan laser mamihnya tercipta seketika.
"Chaca nggak mau balik ke Jerman Mih, kan Chaca sayang sama mamih. Kasihan dimasa tua mamih malah tinggal sendirian" manis banget memang mulut Chaca ini jika menciptakan kalimat bujukan untuk sang mamih.
Hanum memijit kepalanya yang pening. Kenapa ini bocah sulit banget diatur. "Kamu tahu selain ke Jerman. Mamih bisa bahagia kalau kamu nikah. Lah sekarang apa? Ke Jerman nggak mau. Dijodohin sama pa'de kamu biar bisa nikah juga nggak mau"
Kali ini Chaca yang menghela napasnya. Mari jangan petakilan dulu didepan mamihnya sekarang. "Chaca boleh tanya sama mamih?. Mamih nggak suka sama mas Aga?"
"Bukan nggak suka Cha. Mamih sudah anggap Aga sebagai anak mamih. Yerin juga sebagai cucu mamih. Kamu tuh kenapa sih, nempel banget sama Aga?"
"Mas Aga ganteng" jawaban itu tak sepenuhnya diucapkan secara lisan. Hanya dalam hati Chaca seorang.
"Terus kenapa mamih seberusaha itu buat jauhin Chaca dari mas Aga. Chaca tahu, mamih minta Chaca untuk kuliah ke Jerman itu untuk dijauhkan dari mas Aga kan?." tanya Chaca balik. "Dulu Chaca anak remaja mamih, tapi sekarang Chaca anak mamih yang sudah dewasa. Kata papih dulu, kalau Chaca sudah dewasa Chaca bisa menentukan jalan hidup Chaca sendiri kan mih?"
"Kamu curang bawa-bawa papih. Terserah kamu sajalah. Yang jelas mamih nggak setuju sama keinginan kamu sekarang. Alasannya? Kamu nggak perlu tahu!" setelah mengucapkannya, mamih langsung masuk ke kamar meninggalkan Chaca yang masih duduk di ruang tengah dengan pikiran rumit sendiri.
Entah apa yang membuat mamih tak menyetujui jika dirinya dekat dengan Aga lebih dari sebatas tetangga yang dianggap sebagai kakak. Bukan pacar atau gebetan seperti yang sering Chaca ucapkan untuk menggoda Aga. Setiap kali ditanya. Maka jawabannya tetap sama, 'tidak perlu tahu'.
Ponselnya yang berdering membuat senyum dan pribadi Chaca kembali sepenuhnya. Tak butuh lama, ia langsung menggeser tombol hijau dan menampilkan sosok pria berseragam yang dulu memiliki cita-cita sebagai penyanyi itu meski tak terkabul sama sekali.
"Duh duh duh. Ada bang loreng yang ganteng. Apa kabar bang Aaras? dan Arun jeram? Nggak usah ngumpet lo. Gue liat" sapa Chaca pada sahabat SMA yang merintis kegendengan bersama-sama. Tak lupa dengan kakak jadi-jadian sahabatnya yang sama gilanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Is Wanthi
🤦🤦🤦🤦 Chaca maricha ya jurusannya ya minta di jadiin isri
2022-10-26
0
Sulis Cupliez
aseeekk... jadi nostalgia sedikit sma kisah Flora yaa kak❤,, thengkyuuu 😍
2022-10-26
0
Miss Tiya😊
ganti judul terus thor?
2022-10-23
0