5. Trauma Arina

Arshal, lelaki berumur empat puluhan itu menongkrong di warung tegal dekat dengan rumahnya. Ramai orang yang membeli makanannya di sana, padahal tempatnya tak memfasilitasi buat orang-orang yang memandang warung ini bersih.

"Ini gimana lagi?" dirinya memainkan mainan yang berbasis judi online itu, Arshal mengambil gorengan yang maish hangat itu.

Karena sudah lapar tandanya dia harus ke sini dan berjalan sekitar seratus meter dekat dengan jarak rumahnya.

Istrinya nggak bisa masak jadi baiknya ke sini.

"Sialan ini, aduh." umpatnya keras dan dia membanting smartphonenya di tempat aman.

Ia tidak bisa memikirkan ke depannya jika begini apa yang terjadi, yang ada hanya meminta otak gangsar.

Papahnya diperes sampai habis kekayaannya tapi papahnya tak akan habis kekayaannya sampai keturunannya ke tujuh nanti.

Tapi, jika Tuhan berkehendak untuk menarik semuanya mungkin akan sampai di situ saja harta dan kekayaannya.

...***...

Setelah Arina tadi membicarakan dengan kakaknya dan sedikit berbincang.

Ia kembali istirahat ke kamarnya.

Setelah beberapa jam mengurangi maksudnya dia tidur dengan nyenyak.

Arina, perempuan itu masih ingin keluar dari kamarnya setelah mengurung dirinya di kamar.

Ia menghembuskan napasnya pelan dan menatap ruang tamu yang sudah kosong, awalnya tahu jika suaminya akan marah dibandingkan dengan anaknya yang selalu benar itu.

Arina tak membandingkan hanya saja egonya yang terlalu besar dan dia muak dengan perbuatan suaminya yang tiap hari seperti budaknya saja.

Betul jika suaminya itu akan melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga.

Selalu Arina mendapatkan firasat buruk yang menghantuinya.

Ia menatap lurus di perutnya yang tampak bentar lagi akan membuncit.

Arina tidak bisa menolak hak Tuhan, garis takdir Tuhan untuk mempercayai dia sebagai ibu lagi.

Arina mengelus pelan perutnya yang berbalut kain daster panjang dan ia memakai kerudung panjang yang menutupi badannya.

Ia pun melangkah menuju ke dapur, Arina akan membuat makanan untuk mengganjal perutnya yang sejak semula kejadian percekcokan itu dimulai.

Arina menatap isi kulkas yang semakin menipis stok bahan makanan dan minuman, ia harus belanja hari ini tapi melihat cuaca tak mendukung jadi ia urungkan terlebih dahulu.

Arina melangkah gontai membawa baskom serta pisau dan telenannya.

"Kenapa ini nggak sekalian di sayur tadi? Hm, ya sudah lah makan saja." ucap Arin meletakkan barangnya dan ia menatap kangkung yang belum diapa-apakan tadi.

Jadi, alangkah baiknya sekarang ia akan menumisnya.

Arina memotong-motong kecil kangkungnya dan ia menatap jam yang ada di dinding.

Arina mengomel kecil, kenapa suaminya itu nggak pulang-pulang padahal cuaca yang sebentar lagi rintik hujan akan membasahi bumi.

Jemuran juga belum diangkat, Arina pun mengikat dasternya dan mengambil keranjang untuk mengangkat jemurannya yang mulai kering.

Seenggaknya bisa kering.

"Aduh udah hujan aja dia orang belum pulang. Apa aku yang keluar terus cari mereka?" dengan bodoh Arina memikirkan mereka berdua yang nggak tahu tempatnya.

Arina menggedikan bahunya ketika petir menyambar dan segera dia masuk ke dalam rumah, mengunci setiap pintu yang ada di rumah.

Ia menghembuskan napas kasarnya dan melanjutkan pekerjaannya.

Setelah menunggu dua puluh menit kurang lebih, Arina bisa mengerjakan masakannya dengan aroma yang menyeruak menembus rongga hidungnya.

Ia tersenyum lebar dan menyajikan masakannya di dalam mangkuk, ia menunggu tempe gorengnya yang masih berenang di minyak yang di bawahnya api membara.

"Udah jadi." Arina pun mengecek nasinya, apakah sudah matang atau belum dan pas saja nasinya matang.

Arina lagi-lagi senang hatinya, ia pun mengambil secentong nasi dan mengambil lauknya.

Setelah semuanya siap, Arina memakan makanannya dengan menikmati rasa masakannya.

Cuma tumis kangkus sama tempe hangat yang disajikan serasa makanan bintang lima, Arina bersyukur bisa memakan makanan itu.

Sudah diberi makanan ya dimakan bukan di siakan.

Kayak mantan aja.

Arina setelah beberapa menit menyelesaikan makannya itu pun mengamati setiap ruangan yang semakin deras hujannya, ia di rumah sendiri.

Percaya saja tidak ada siapa-siapa.

Arina meletakkan piring bekas makannya itu di bak tempat cuci itu dan mencuci setiap alat yang ia gunakan masak tadi.

Beberapa alat memang ia gunakan namun dengan lihai ia mencuci dan menyelesaikannya.

"Sudah selesai."

Setelah selesai, ia pun mengelap tangannya menggunakan tisu yang ada di kotak tisu di atas meja makan dan ia menutup makanannya dengan tudung saji.

Semuanya akan terkendali sekarang, waktunya Arina mengistirahatkan badannya.

Ia beranjak dan melangkah menuju ke dalam kamarnya, tak jauh dengan letak dapur. Kamar itu sungguh membuat dirinya nyaman dengan kamarnya, ia tidak akan mengizinkan suaminya untuk masuk sedikitpun ke kamarnya.

Karena mengundang privasi dirinya.

Mereka suami istri, kok nggak boleh.

Lantaran mereka sudah berjanji ini agar sehidup semati, mereka tidak akan membatasi setiap pergerakan.

Tapi, kalau masalah kamar.

Itu terserah! Yang penting bisa urus diri sendiri saja.

"Belum pulang juga." Arina khawatir dengan Gibran yang tiap kali sedikit kena rintik hujan saja dia sudah gampang terserang demam ataupun flu.

Ia membelakangi posisi jendela karena takut dengan putih petir yang mengkilat dan Arina menutup matanya.

"Subhanallah... Kenapa nggak ada yang bisa nemenin Arina gitu," tatapannya takut dan Arina menutupnya menggunakan selimut.

Segera Arina mengucapkan subhanallah dan Arina ketakutan dengan bergetar dia menyerukan nama Allah.

Sementara Gibran, lelaki itu yang nekat untuk pulang ke rumah dengan taksi yang ia tumpangi membelah jalanan yang begitu ditemani derasnya rintik hujan di sepanjang jalanan.

Gibran risau dengan ibunya yang mempunyai trauma dengan petir.

Tak habis pikir, dia menyalahkan dirinya sendiri dan mengapa ia tak di rumah saja tadi jika cuacanya saja mendung tadi.

Terdengar suara keras petir yang menggelegar dan Gibran menguntaikan do'a-do'a yang dikirimkan untuk ibunya agar tidak berteriak ketika ada petir.

Setelah melewati beberapa rintangan, taksi itu pun berhenti tepat di depan rumahnya. Untung saja taksi itu mau menghantarkan dirinya di depan rumah kalau nggak dia bisa sakit.

"Terima kasih pak,"

"Iya, monggo." Taksi itu pulang dan Gibran menunggu taksinya untuk keluar dari gerbang dulu.

Ia segera masuk ke dalam sebelum ibunya benar-benar mengamuk dan Gibran melepaskan tas yang ada di punggungnya.

Sebenarnya tak mengkhawatirkan dengan keadaan adeknya karena ia yakin segera keguguran juga nggak papa bakal menjadi berita hangat buat dirinya.

Sambil menyeruput kopi dan ditemani pisang goreng.

Gibran tergesa menuju ke kamar ibunya yang dekat dengan dapur.

Ia memutar knop pintu kamar ibunya, ia pun masuk ke dalam kamar dan menghembuskan napas pelan ketika Gibran berbalik.

Ia mendekati ibunya yang meringkuk dan ia takut dengan keadaan ibunya.

Gibran menarik selimutnya, sama saja ibunya mau bunuh diri jika begini.

Lantas Arina yang merapatkan matanya itu pun membuka matanya dan bulir-bulir keringat membasahi dahinya itu membuat Gibran merasa iba.

Arina segera memeluk anak pertamanya ini, Gibran merasa kaku tubuhnya. Sedikit terhuyung ke belakang, namun ia tahan.

Gibran mengelus punggung ibunya setelah semuanya mereda, ibunya kini menatap lekat Gibran. Gibran mengalihkan pandangannya ke ujung dinding yang ada foto dirinya dengan keluarga besar ibunya.

"Nak..." Seolah membuyarkan lamunannya, ia pun menatap manik indah ibunya.

"Iya bu, ibu nggak papa 'kan?"

"Nggak tapi ibu takut nak. Kamu nekat begini?" Terlihat sorot mata penuh tanda tanya dan Gibran mengelus tengkuk belakang.

"Iya bu, maaf."

"Terus kalau kamu sakit gimana?" Menatap garang anaknya dan tangannya sudah melayang untuk menjewer telinga anaknya.

Ia juga butuh kesehatan yang lebih, seharusnya nggak begini juga tapi kalau nggak gini ibunya nggak bakal tenang di rumah.

 

**Gimana?

hahaha iya maaf nggak up beberapa hari minggu ditelan kecempring terus keluar nggak bisa makan basreng 😂

Oke. see you buat kalian yang udah baca...

tungguin ya bab selanjutnya 🤗**

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!