"Kamu kenapa Gib?" tanya ibunya yang sedang memasak bubur ayam kesukaannya Gibran.
Gibran yang ditanyai itu memang sedang melanglang buana pikirannya, di depannya ada layar laptop dan matanya entah kemana.
Pandangannya tidak ke laptop melainkan ke arah dinding dapur.
"Udah diperiksa sama dokter belum, bu? Ibu sakit apa sehat?" seolah ia mengalihkan pembicaraan ibunya tadi dan ibunya mengerutkan dahinya.
"Nggak apa-apa kalau ibu, soalnya ibu selalu sehat Gib. Emangnya kenapa Gib?" Ia lantas bingung saja dengan pertanyaan Gibran yang malah menanyakan ibunya bukannya adek dia sendiri..
Maklumi saja, Arina mengetahui apa isi hati Gibran.
"Iya nak, nggak papa kok."
"Ya allhamdulilah lah bu, nggak terlalu mikir juga nantinya!" sindir Gibran dan Arina melangkah untuk menuju meja makan.
Dia meletakkan bubur ayam itu yang sudah ia buat dengan kasih cinta.
"Enak nih baunya." Tiba-tiba datang seorang laki-laki dengan gaya jalannya saja sudah ditebak.
"Loh inget rumah ternyata?" dengan di akhir kekehan ayahnya semakin kuat sehingga Gibran tidak mampu mengingat memori dua tahu yang lalu.
Apakah trauma nya akan kambuh dan bisa kah untuk menolong dirinya.
Apalagi Gibran tidak membawa pelindung.
"Maaf Bu, aku ke kamar dulu."
"I-ya nak, kamu ke kamar aja." jawab ibunya cepat dan Arina memandang nanar, nasi tlah menjadi bubur seperti pribahasa tapi ini memang sudah ada di nyata.
Suaminya, Arshal melongokkan kepalanya ke kamar Gibran.
"Mengapa?" tanya Arshal dengan duduk di kursi dan Arshal menggeser mangkuk yang berisi kuah itu. Ia tidak terlalu suka, sukanya cuman bubur doang ya udah.
"Kok dia udah pulang?"
"Iya, dia tiba-tiba aja pulang. Apa nggak cocok di sana?" tanya suaminya dengan begini Arina bisa membuat kan nasi untuk bubur.
Biasanya saja memakai nasi di luar apa nggak yang penting berbau luar, sebisa mungkin makanan harus nendang di mulut
"Iya, mungkin saja Gibran lagi nggak itu cocok."
Arshal kemudian berdehem, menandakan setelah ini tidak baik-baik saja dia seperti sudah tidak ingin bermasalah, tapi ada aja permasalahannya.
"Kamu tidak bekerja hari ini, seharusnya kerja dong apalagi ini hari senin. Awal berangkat harus semangat untuk ke depannya." protes Arshal, lelaki itu tampak semangat sekali buat menyoraki dirinya.
Arina, dia mengelus dada dan Arshal yang memainkan perasaan seorang wanita seharusnya sadar diri.
"Terus saja begitu! Nggak ada gunanya kali, sekali izinin ibu buat istirahat yah. Nggak sekali dua kali ayah begitu, sebaiknya ayah kerja bukannya di rumah!" balas Gibran yang datang sewot begitu saja, ia tidak mempermasalahkan bayinya namun ibunya yang terlihat capek sekali.
Arshal yang tidak terima, sebisa mungkin Arshal tidak memainkan tenaga emosinya sekarang ini.
Kenapa?
Dia dinyatakan divonis darah tinggi oleh dokter, kemarin malam memang dia sudah datang ke dokter. Kenapa dia mendadak sakit begitu saja.
Arina mengode sama Gibran untuk tidak memancing emosi yang akan meledak jika Gibran menantang lagi.
"Makan dulu mas, nak! Berantem dalam lisan nggak baik."
"Sok pinter kamu, tahu apa?" Menantang begitulah jawaban Arshal, sebagai suami dia tidak seharusnya tidak menerima aspirasi dari setiap anggota keluarganya.
Makanya mereka di anggota keluarga Arshal tak ada yang berani mendekati bila ada masalah.
Dibanting, hancur sekalian!
Bila marah satu keluarga akan kena remuk redamnya.
Gibran yang hanya mampu mengalahkan ayahnya sendiri walau ujungnya, Gibran mempunyai sifat yang menuruni warisan ayahnya. Dia sudah tahu jika masalah beginian tapi ia menegakan salah satu rumah tangga ibu serta ayahnya untuk bertahan.
Sebenarnya dari dulu dia mendengar ibunya menangis, ia sakit hati dan mau saja dia mengatakan buat apa mempertahankan rumah tangga mu yah?
Kalau akhirnya ayah sama ibu berantem terus.
Jadi, anak broken home nggak enak.
Gibran mencoba mengalihkan semua masa lalunya untuk mengejar masa depannya.
Wajar jika Gibran marah, sebagai anak harus melindungi keduanya dari setiap permasalahan rumah tangga.
Apalagi jika kakek serta neneknya tahu, mungkin dari dulu mereka sudah memisahkan antara ayah dengan ibunya (kakek-nenek : orang tua dari Arina).
"Mau ke kampus sekarang?" Ketika Arina tadi melihat ada beberapa kertas yang di tangan anaknya. Sekarang sudah tidak ada dan Gibran menenteng tasnya di punggung.
Gibran menggeleng, "Aku mau minta duit ayah. Sebelumnya aku belum merasakan ini!" Ia menunjukkan kertas spp yang berupa lembaran jumlah pembayaran buat dia kuliah.
Arshal tampak melihat, melirik saja rasanya berat tapi mau gimana.
Ia menatap tajam mata Gibran yang juga sama-sama serius dalam pembicaraan kali ini.
Arina seolah raganya melayang kemana, dia diam di tempat sampai tak mampu buat menengahi mereka.
Takutnya ia dan anak yang ada di kandungannya akan terjadi apa-apa.
"Mas, tolonglah kalian itu udah sama-sama dewasa. Lelah saya tiap hari nggak anak sama bapak, sama-sama keras kepala!" Karena tak ada respon dari keduanya, Arina sepatutnya dia tidak menengahi malah adu bacok saja.
Ketimbang depresi dan prustasi.
"Iya oke sih, kalau kalian mau kerangkeng silahkan... Monggo saya nggak ngelarang,"
Arina lebih dulu pergi dari dapur dan dua orang itu saling tatap menajam.
Gibran mengetatkan rahangnya sebisa mungkin dia tidak tersulut emosi sementara ayahnya yang tampak tenang dan menetralkan napasnya.
"Saya tidak akan mentransfer uang itu untuk kuliah kamu! Itu semua tanggung jawab ibu kamu!" Bentak Arshal dan Gibran mencebik, itu pasti sudah jawaban terakhir ayahnya.
"Seenggaknya kalau nggak bisa nafkahin nggak usah dibentak yaoloh."
Gibran sesekali tertawa memegang perutnya, dia akan menertawakan kegiatan Ayahnya yang tidak jelas itu.
Gibran menyidir dalam arti, dia tidak akan pernah berubah jika masalah ini. Ia akan melawan rasa ketakutan yang ada di hatinya.
"Jangan ngomong gitu! Kalau kamu nggak dapet pekerjaan percuma juga jika kuliah hanya membuang uang!" sama-sama saling membantah dari segi sisi dan keras kepalanya benar-benar keras.
Gibran lantas keluar dari ruang makan itu dan Arshal yang di sana menggenggam tangannya hingga uratnya di tangan membentuk.
"Nggak ada yang nggak guna kalau ada ilmu pasti berguna sepanjang masa." Teriaknya dari pintu utama dan ia melangkah menuju pintu utama.
Ketika Gibran ingin keluar ia menabrak seseorang entah siapa, dia terkesiap dan menolong orang yang ditabraknya dengan badan besar dan bisa tinggi juga Gibran.
Sekitar seratus delapan puluh centi meter dan pastinya bisa dikatakan tinggi.
Gibran menerima tangan yang dia tabrak, ternyata sepupunya yang sama-sama umurnya hampir, tapi lebih tua dari sepupunya dan sekarang memang sudah menjadi Ceo di perusahaannya sendiri.
Ponakan Arina ini sudah umurnya dua puluh satu tahun kurang lebih dan Gibran tidak menyangka jadinya Gibran bertekad untuk mengejar cita-citanya.
Membangun perusahaan kecil dibantu oleh orang lain yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri.
Mengapa?
Karena orang yang sudah dipercayai oleh Gibran itu benar-benar menginginkan anak seperti Gibran.
"Haiii..." ucapnya dengan lembut dan tersenyum lebar sementara Gibran menanggapi dengan muka cuek serta datar.
Anak itu memang sangat humoris dan ramah.
Jadi baiknya memang di situ.
Terkenal di semua kalangan dan anak itu tampak berwibawa ketika menggunakan jasa kantornya.
Lelaki jenis kelaminnya.
"Ada apa kamu ke sini?"
"Abang maunya ini apa ke sini buat ngasihkan ini buat ibu kamu." Memang anak itu membawa barang yang ada di kantung plastik, entah apa yang ia bawa.
"Susu hamil sama buah-buahan." sambung anak itu dan Gibran mengangguk.
"Temui lah ibu ku di dalam." jawabnya dingin dan Gibran sekarang posisinya akan ke kampus, ada jadwal kelas hari ini memang jadwalnya siang tapi katanya dosen nggak masuk dan ia hanya berbohong buat menghindari ayahnya yang ngamuk-ngamuk di dalam.
"Iya. Kamu mau kemana?" tanyanya sambil menatap pakaian Gibran yang terlihat kusut berantakan.
"Hm .... Mau ke kampus, ada kelas hari ini." Memang sangatlah canggung ketika ingin mengobrol begini.
"Oke lah aku masuk dulu ya ke dalam. Apa mau sekalian aku anterin ke kampus?" tawaran anak tampan ramah itu seolah menggugah selera apalagi dirinya hanya naik taksi tiap harinya.
Memang mereka dari keluarga selebihnya kurang mampu untuk membeli kendaraan pribadi, adanya sepeda di garasi dan motor beat yang tahunnya sudah lama.
Menyicil kata ibunya.
Yang penting bisa makan sama bisa hidup juga bersyukur.
"Iya saya tunggu di sini!" kaku sekali mau menjawab saja, memang dulu sering berantem dengan anak ini cuman merebutkan perhatian kakeknya ke dirinya.
Pencemburu dan sangatlah terobsesi buat di perhatikan.
---
**Woy iya jangan lupa follow i g othor
@dindafitriani0911**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments